Satu

1049 Words
Satu  Dunford melempar tempat lilinnya, menatap bagaimana benda kuningan itu menghantam cermin dan membuatnya pecah berkeping-keping. Lucille Dunne, gadis mungil itu, semula ada dalam genggamannya. Gadis itu berpostur mungil, berwajah lugu, dan semula tindakannya sama lugunya dengan penampilannya. Sampai ketika ia menciumnya, lalu gadis itu memberontak dan mencoba melepaskan diri. Refleks Dunford untuk menarik lengannya malah berakhir mengenaskan, membuat lubang robekan besar di bahu gadis itu, membuatnya melarikan diri seperti kelinci ketakutan. Ia gagal membujuk dan merayu gadis itu dengan ciuman. Wallflower biasa seperti Lucille Dunne. Well, gadis itu sebenarnya cukup lumayan. Dengan kekayaan kakaknya dan gelarnya sebagai putri Marquis, ditambah dengan mata birunya yang harus diakui agak menarik, Lucill Dunne adalah wallflower terbaik yang bisa dipilihnya untuk menyelesaikan masalahnya. Tetapi Dunford gagal. Ia pun mulai meragukan dirinya. Dan kemampuannya merayu. Mungkin julukan playboy sudah mulai tidak tepat untuknya. Mungkin dirinya sudah tidak sehebat dulu lagi. Tetapi demi Tuhan, waktu terus berjalan. Kesempatannya untuk menang menipis, dan semuanya terancam lepas dari tangannya. Ia hanya punya waktu tiga hari. Dan hari ini ia gagal. Dunford mengusap wajah frustasi. Leopold besok mungkin akan datang. Untuk menghajar dan membunuhnya, atau mungkin menantangnya berduel, Karena sudah merusak nama baik adiknya. Bukan restu pernikahan yang didapatkannya. Ia gagal. Habis. Kesempatannya musnah. "My Lord," terdengar suara kepala pelayannya, Jenkins, setelah ada ketukan beberapa kali di pintunya. "Seorang lady datang hendak menemui Anda." "Seorang lady?' Dunford menghela nafas. "Apakah ia datang bersama seorang pria dengan luka di matanya, apakah lady itu bermata biru dan kakaknya bernama Leopold, Marquis de Lister?" Hening sejenak, lalu: "Bukan, My Lord." "Dengan satu orang lain, mungkin... dengan Earl of Westfield?" Hening sejenak. "Bukan, My Lord. Lady ini datang sendirian saja." Ada banyak nama yang bisa menjadi salah satu kemungkinan. Biar bagaimanapun, kisahnya sebagai petualang cinta bukan baru satu atau dua hari saja. Apakah ada lady yang menawarkan diri untuk menghiburnya malam ini? Brengsek, Dunford mengeluh dalam hati. Ia tidak butuh hiburan, ia butuh jalan keluar. Percintaan panas hanya akan menambah hebat rasa sakit di kepalanya. "Minta padanya untuk menemuiku besok saja." "Katanya penting, My Lord..." Dunford menghela nafas tidak sabar. "Biarkan dia masuk, kalau begitu. Peringatkan kalau kondisiku tidak dalam keadaan pantas untuk menerima tamu." "Baik, My Lord..." Terdengar keheningan sesaat ketika langkah kaki Jenkins menjauh. Dunford menghela nafas dan menghempaskan tubuhnya kembali ke ranjang. Terdengar desiran kain, langkah-langkah kaki, dan bisikan Jenkins. Pintu berderit membuka, dan di sanalah gadis itu berdiri. Dunford menaikkan sebelah alisnya, menatap gadis di depannya, dan tersenyum. Ia jelas tidak mengenal siapa gadis ini. Kulit putih pucat, anak-anak rambut kecoklatan mengintip dari balik tudung yang dikenakannya, dan mata yang sama coklatnya. Jadi, siapapun dia, seharusnya masih seorang gadis, mungkin wallflower, mungkin... "Siapa kau?" Suara yang keluar dari bibir Dunford terdengar lebih serak dari seharusnya. Dunford berdehem, "Aku tidak merasa mengenalmu. Ada kehormatan apa seorang lady datang ke tempatku?" "Aku ingin mengajukan penawaran." "Aku sedang terlalu malas untuk melakukan tawar-menawar, manis. Besok saja?" "Malam ini, please." Dagu mungil gadis itu terangkat, dan Dunford menyadari tangannya terkepal di samping jubah panjangnya. "Aku akan langsung saja. Aku menyaksikan... apa yang kau lakukan pada Lady Lucille Dunne." Dunford bangkit seketika dari tempat tidurnya, matanya bersinar berbahaya. "Apakah kau sadar dengan apa yang baru saja kau ucapkan?" Gadis itu bergerak mundur, tetapi pandangannya teguh. Ia kemudian melarikan matanya ke samping, sadar dengan kenyataan bahwa Dunford sudah melonggarkan cravatnya, dan beberapa deret kancing kemejanya terbuka, memperlihatkan otot dada yang kuat. "Aku tidak takut sekalipun kau mengancamku karena aku berada di pihak yang benar." Dunford mendengus. Gadis ini dan kenaifannya bisa berakhir buruk di ranjangnya. "Dan aku ingin mengajukan tawaran pernikahan padamu..." Dunford berhenti bergerak. Apa ia salah dengar? Karena gadis naif ini baru saja... menawarkan untuk menyerahkan dirinya ke pelukan Dunford? "Ah," Dunford mendengar bagaimana suaranya sendiri berubah geli, "Bukankah ini menarik?" Gadis itu mundur selangkah lagi, tetapi tangan Dunford menariknya mendekat, membuat tudung yang menutupi rambutnya tersingkap, memperlihatkan gulungan rambut coklat yang ditata seadanya. Tangan Dunford naik menyentuh dagu gadis itu, membawa wajahnya mendekat kearah Dunford. "Siapa namamu, manis?" "Eloise... Turner..." bibir itu bergerak membuka. "Eloise..." senyum Dunford. "Kenapa kau mau menikah denganku?" "Karena kau tampan, kau adalah calon terbaik untuk menghilangkan celaan wallflower dari hidupku. Kau bisa membantuku kabur dari pernikahan yang direncanakan untukku, dan... kau, sama putus asanya denganku." Dunford memandang mata yang balas menatapnya dengan berani. Eloise tidak memiliki kecantikan yang menonjol, tetapi kalau diperhatikan lebih lama, dengan dagu mungil dan bibir merahnya, gadis itu cukup menggoda untuk dihadiahi ciuman. "Bagaimana kau tahu aku putus asa?" "Aku hanya... tahu..." dari sikapnya yang ragu, Dunford tahu Eloise berbohong. Tetapi, ia tidak perlu terlalu lama mengkhawatirkannya. Paling tidak, ia tidak perlu mencari calon pengantin untuk dirinya. Ada satu wanita yang dengan senang hati melemparkan diri masuk pelukannya. Untuk apa menolak tawaran sebagus ini? Belum tentu tawaran berikutnya punya bibir sebagus gadis ini. Selagi Dunford tersenyum, gadis itu berkata dengan gusar. "Kalaupun kau tidak cukup putus asa, aku bisa membuatmu putus asa nanti. Jangan lupa, aku saksi yang melihat bagaimana kau memaksakan dirimu pada Lady Lucille Dunne." Senyuman Dunford menghilang. Gadis di depannya ini pasti cukup bandel sampai mau menolak pernikahan yang disiapkan untuknya. Tambahan lagi, dia berani mengancam Dunford. Apakah ia perlu memikirkan ini lebih jauh? Tetapi gadis ini datang, menawarkan dirinya, dan tidak memberikan jalan bagi Dunford untuk menolak karena kartu truf ada di tangannya. Nama baiknya pasti sudah rusak sekarang. Dan akan lebih rusak lagi kalau gadis ini maju ke depan umum hanya untuk mencelanya. Ia sudah pasti tidak akan bisa mendapatkan calon pengantin bangsawan untuk menjalankan rencananya. "Baiklah," Dunford tersenyum, sadar sepenuhnya bahwa gadis itu tahu ia hanya tersenyum setengah hati. Mata gadis itu membelalak kaget. "Kau akan menikah denganku?" "Apakah kau sudah membawa barangmu untuk kabur denganku malam ini?" Matanya kembali membelalak. "Malam ini?" Dunford mendesah. "Kaukira kau berkata 'malam ini, please', dengan manis hanya untuk mendesakku dan kemudian mundur? Tidak ada yang seindah itu, My Lady." Pipi gadis itu memerah. "Aku sudah membawa barangku di kereta. Aku bermaksud menginap di penginapan tidak jauh dari sini... kukira kau akan menyetujui untuk menikah denganku dalam... seminggu ke depan?" Dunford meletakkan kedua tangannya di bahu gadis itu, memjiat bahu kurus calon istrinya dengan kegembiraan yang dibuat-buat. "Kalau kita berangkat malam ini, manis. Kutebak kau mempersiapkan cukup pakaian untuk pergi ke Gretna Green?" Eloise mengangguk, diam-diam menelan ludah. Ia menatap wajah tampan Dunford yang memberikan cengiran menggoda padanya. Ia akan pergi bersama pria ini ke Gretna Green, dan sepulangnya dari sana... sepulangnya dari sana, ia tidak akan merasa sama lagi. Ketika kembali, ia akan kembali sebagai Countess of Clarendon, istri dari Sebastian Dunford. >>to be continued
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD