Hati Yang Kecewa

1143 Words
“Ayah… jangan bilang kalau Ayah menjualku pada pria itu!” Mata Bily melirik ke arah sang anak, lalu menghela nafas. Ia pun menggeleng sambil melambaikan tangan, tanda ucapan Tiffany ta benar. Ia pun berdiri menghampiri sang anak. “Tentu saja tidak! Mana mungkin Ayah tega menjual anak baik sepertimu? Ayah hanya menerima uangnya, karena dia memang hanya ingin bertemu denganmu. Kalau Ayah menjualmu, pasti ada perjanjian jual-beli, kan? Ini berbeda, Tiffany.” Dada Tiffany terasa sesak. “Ayah… apa Ayah tahu apa yang harus kulakukan demi uang ini? Ayah tahu aku hampir dipermalukan di hadapan pria itu?” “Tiffany…” sang ayah menghela napas panjang, lalu menatap anaknya dengan wajah serius. “Sudahlah, jangan banyak protes. Turuti saja. Anggap saja balas budi. Kalau kamu melawan, kita akan kehilangan segalanya. Ingat, dia satu-satunya yang bisa membantu kita sekarang.” Bily pun melangkah dengan membawa gepokan uang di tangannya. “Berikan uang itu padaku, Yah,” ucap Tiffany menghentikan langkah Bram. “Kenapa Aku harus memberikan uang ini padamu?” “Aku akan mengembalikannya. Aku yakin dia punya alasan dibalik niatnya menolong kita. Dan aku tidak mau mempersulit hidupku, dengan menambah masalah yang berhubungan dengannya,” jelas Tiffany. Billy justru terkekeh. “Kamu ini lucu, Fan. Dia ngasih uang hanya dengan syarat yang mudah, tapi kamu malah ingin mengembalikannya. Itu nggak akan mungkin ayah berikan,” sahut Billy, lalu ia kembali melangkah ke kamarnya. “Ayah! Aku bilang berikan uang itu padaku!” Suara Tiffany meninggi, lalu dengan cepat ia menghampiri sang ayah dan merebut uang tersebut. Namun Billy langsung menepis tangan Tiffany, bahkan ia marah saat Tiffany berusaha merebutnya. Ia pun mendorong Tiffany hingga ia terhuyung ke belakang. “Anak durhaka kamu, Fany! Berani kamu melawan ayahmu, hah?!” “Aku sudah berusaha menyelamatkan Ayah! Seharusnya Ayah tidak memanfaatkanku seperti ini!” “Siapa yang memanfaatkanmu, hah?! siapa?! Jika kamu tidak mau menurut, maka pergi dari rumah ini. Aku tidak sudi punya anak durhaka sepertimu!” Bentak Billy. Ia melangkah ke kamarnya dan membanting pintu dengan kasar. Tiffany tidak habis pikir dengan ayahnya. ‘Andai saja membiarkanmu mati tak menjadi dosa bagiku, maka sudah biarkan para rentenir itu membunuhmu. Setidaknya bebanku berkurang,’ batin tiffany, lalu ia menghela nafas, dan masuk ke dalam kamarnya. >>>>>>>> Esok harinya saat pulang kerja, Tiffany kembali menghela nafas lelahnya, saat ia melihat Devon yang benar-benar datang menjemputnya. Mobil hitam yang dikendarai Devon berhenti tepat di depan rumahnya, ia yang belum sempat masuk rumah pun menghampiri. Devon langsung membuka pintu mobil. “Naiklah, Nona,” ucapnya singkat, dengan nada suaranya yang datar. “Aku bahkan belum masuk rumah.” “Anda tahu konsekuensi jika datang terlambat, bukan?” Tiffany menarik napas dalam, lalu masuk ke mobil tanpa komplain lagi. Tentu saja ia ingin menolak, tapi itu tidak mungkin bisa ia lakukan. Hingga mau tak mau ia harus menurut. “Kenapa Brian memintaku datang ke apartemen? Apa yang dia inginkan dariku?” tanya Tiffany membuka obrolan, dengan penuh rasa ingin tahu sekaligus cemas. Devon tidak langsung menjawab. Pandangannya tetap lurus menatap jalan. “Nanti anda akan tahu sendiri, Nona Tiffany. Tugas anda hanya datang menemui tuan Brian tepat waktu.” Jawaban itu membuat Tiffany makin gelisah. Ia menggenggam erat tangannya sendiri, berharap yang akan terjadi tidak seburuk bayangannya. Sesampainya di apartemen, Devon meninggalkan Tiffany setelah membuka pintu untuknya. Tiffany melangkah masuk ke apartemen itu, dan seketika aroma khas ruangan ber-AC bercampur dengan wangi parfum maskulin menyergap inderanya. Apartemen di kawasan elit ini begitu mewah, setiap sudutnya memancarkan kesan mahal. Lantai marmer mengkilap, lampu gantung kristal, sofa kulit yang tampak baru, serta jendela besar dengan tirai tebal yang menjulang tinggi. Namun bagi Tiffany, kemewahan itu tidak membuatnya kagum sedikit pun. Justru rasa asing dan dingin menelusup ke dalam dadanya. Ruangan yang terlalu rapi, terlalu sempurna, seakan tidak menyisakan ruang untuk kehangatan. Matanya berkeliling, meneliti setiap detail, dan semakin lama ia berada di sana, perasaan jijik mulai muncul. Seolah setiap barang mahal yang ada hanyalah topeng untuk menutupi kebusukan pemiliknya. ‘Benar-benar tipikal Brian,’ gumam Tiffany dalam hati, bibirnya terkatup rapat dengan senyum miring penuh sinis. Tidak ada foto keluarga, tidak ada benda personal yang menunjukkan sisi manusiawi. Semua hanyalah pameran kesombongan. Baginya, semewah apapun, ruangan ini tetap saja terasa hampa. Kosong, sama seperti hati pemiliknya. Tiffany melangkah ke jendela, menyingkap sedikit tirai untuk melihat pemandangan di bawah sana. Tak lama kemudian, pintu kembali terbuka membuat Tiffany refleks menoleh. Brian masuk… bersama seorang wanita berpenampilan seksi. Gaun mini hitam membalut tubuhnya, parfumnya menyengat, dan sikapnya begitu menggoda. Lebih mengejutkan lagi, di depan matanya sendiri, Brian bersikap mesra pada wanita itu. Tangan pria itu melingkar di pinggang si wanita, perlahan tangan Brian menaikan gaun mini hingga pangkal paha si wanita. Dan…, bibir mereka bertemu tanpa ragu. Tiffany hanya bisa terdiam, jantungnya berdegup kencang, matanya membelalak tak percaya dengan apa yang dilihatnya. ‘Apa dia tidak melihatku ada di sini?’ pikirnya. Ia pun akhirnya berdehem, berusaha memberitahu dua manusia laknat itu akan keberadaanya. Namun Brian justru sengaja melanjutkan adegan menjijikkan itu, ia semakin menaikan gaun itu seakan ingin menantang Tiffany. Dengan tawa dingin, ia membawa wanita tersebut masuk ke dalam kamar. Dan… seakan semua belum cukup, pintu kamar dibiarkan sedikit terbuka, membuat setiap desahan dan erangan terdengar jelas hingga ke ruang tamu. Tiffany melangkah ke arah pintu apartemen, tapi ia tak bisa membuka pintu itu. Akhirnya mau tak mau ia terpaksa tetap ada di ruang tamu. Ia menutup telinganya dengan kedua tangan, namun suara itu tetap menusuk masuk. Dadanya terasa mual, saat suara tubuh yang menyatu terdengar jelas. ‘Dasar laki-laki model teh celup. Apa dia sengaja memintaku datang hanya agar bisa jadi penontonnya? Aih, kenapa aku jadi mual begini? Nggak bisa bayangin gimana apesnya yang jadi istrinya nanti, dapat barang yang sudah di celup sana sini,’ pikirnya sambil bergidik jijik. Waktu terasa berjalan begitu lambat, hingga akhirnya wanita itu keluar kamar. Ia melirik sekilas ke arah Tiffany, masih dengan senyum puas seakan tak punya dosa. Lalu meninggalkan apartemen tanpa menoleh lagi. Brian keluar tak lama kemudian, mengenakan kemeja yang sebagian kancingnya terbuka. Dan Tiffany pun langsung membuang pandangannya begitu melihat Brian. Brian mendekat, lalu berdiri dihadapan tiffany dengan tatapannya menusuk, dingin sekaligus penuh kuasa. “Bagaimana pertunjukan tadi?” tanya Brian membuat Tiffany langsung menatap ke arahnya. “Menjijikan,” jawab Tiffany singkat dan penuh keberanian. Brian menyipitkan matanya, tanda tak suka akan jawaban tersebut. ia melangkah, lalu mengambil sebuah map coklat di atas meja. Map yang sejak tadi Tiffany lihat, tapi ia tak ingin tahu apa yang ada di dalamnya. “Aku sudah menebus hutang ayahmu, meminta para rentenir itu tidak mengusikmu, dan juga tambahan seratus juta untuk kebutuhan ayahmu selama kamu bekerja padaku. Dan tugasmu sekarang, hanya menandatangani isi surat ini,” ucap Brian sambil mengulurkan map itu pada Tiffany. “Apa ini?” Brian tak menjawab, dan membiarkan Tiffany membukanya. Dan saat Tiffany membaca isi map itu, ia pun….
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD