5.Mimpi bas4h

1268 Words
Malam semakin larut. Kamar utama itu remang, hanya lampu tidur yang menyala lembut. Talia sudah berbaring, tapi matanya tak mau terpejam. Bayangan suara “tukang galon” itu terus terngiang. Pacaran... anakku bukan anak Bima... menguasai harta... Hatinya berdegup kencang, campur aduk antara takut, marah, dan jijik. Bima keluar dari kamar mandi dengan piyama santai, rambutnya masih sedikit basah. Ia melihat istrinya melamun. “Sayang... kok belum tidur? Bukannya tadi kamu ngotot pulang biar bisa istirahat di rumah?” Talia tersentak. “Eh... iya, Mas. Aku... aku cuma belum ngantuk aja.” Bima mendekat, duduk di sisi ranjang, lalu mengusap lembut pipi istrinya. “Kamu kelihatan murung. Ada yang kamu sembunyiin dari Mas?” Talia menoleh sebentar, lalu cepat-cepat menggeleng. “Enggak kok... nggak ada apa-apa.” Bima menatapnya tajam, seakan ingin menembus isi hati istrinya. “Jangan bohong. Aku kenal kamu, Tal. Matamu selalu cerita banyak hal meski bibirmu diam.” Talia menggigit bibir, terjebak. Kalau aku cerita, Mas Bima pasti sakit hati dan membenci ku. Tapi kalau aku diam, aku juga tersiksa sendiri... “Mas... aku cuma kepikiran kejadian tadi siang. Kecelakaan itu, bayi kita...” suaranya tercekat, mata memerah. Bima langsung memeluknya erat. “Sayang... jangan salahin diri kamu. Itu murni musibah. Kita masih bisa coba lagi. Aku nggak akan ninggalin kamu.” Talia menutup mata, menahan air mata yang hampir jatuh. Mas, kalau kamu tahu semua kebusukan Talia yang sebenarnya... kamu masih bisa bicara kayak gini nggak? Bima mengecup keningnya lembut. “Mulai malam ini, kamu cuma istirahat. Jangan mikir yang berat-berat. Ada aku di sini. Aku janji bakal bikin kamu bahagia lagi.” Talia terdiam, hatinya makin bergejolak. Kenapa justru aku yang merasa bersalah... padahal aku korban semua kebohongan ini... Bima menepuk pelan tangannya. “Ayo coba tidur, ya. Besok kamu butuh tenaga. Mas juga harus rapat pagi, tapi sebelum berangkat Mas mau sarapan bareng kamu.” “Hmm... iya, Mas,” jawab Talia pelan, meski matanya masih penuh keresahan. Pagi buta, matahari baru mengintip dari balik jendela kamar. Talia masih terlelap, kepalanya bersandar di lengan kekar Bima. Dalam tidurnya, ia mengigau, tangannya bergerak liar tanpa sadar. Jari-jarinya menyusuri d**a bidang Bima. “Hmm...” gumamnya setengah tidur, lalu tangannya turun ke perut sixpack yang hangat. Tak berhenti sampai di situ, jemarinya terus merayap ke bawah celana Bima meremasnya. “Ohh sit.. panjang dan berurat banget...” Talia bergumam dalam igauan. Bima tersentak, matanya terbuka. “Sayang... apa yang kamu lakukan?” suaranya serak, setengah kaget setengah menahan tawa. Talia membuka mata pelan, sadar tangannya sedang ‘nyasar’. Ia langsung menarik tangannya buru-buru. “Maaf, Mas... aku... aku nggak sadar...” pipinya langsung merah. Bima mengelus rambutnya lembut. “Sudahlah, nggak apa-apa. Kamu masih sakit, jangan maksain diri.” Ia tersenyum nakal. “Lain kali aja kalau kamu sudah sehat.” “Mas! Ih...” Talia menutupi wajah dengan bantal, malu setengah mati. Bima bangkit dari ranjang, menepuk pelan paha istrinya. “Kamu lanjut tidur aja, Sayang. Mas mau ke kamar mandi dulu, sekalian waslap badan kamu nanti.” Talia mengangguk kecil, masih pura-pura tidur lagi. Bima masuk ke kamar mandi. Ia melepas celana dan berdiri menatap cermin, napasnya berat. “Oh damn... situasi begini kok malah bangun begini...” gumamnya lirih. Tangannya naik turun di pusakanya, mencoba menenangkan diri. “Kenapa kamu bangun di saat nggak tepat, hah? Talia masih sakit... aku harus tahan. Atau...” ia menggigit bibir, bergumam sendiri, “Begini lah nasib ku harus main solo.” Ia menutup mata, imajinasinya langsung melayang. Tubuh Talia, senyumnya, suaranya... makin liar di kepalanya. Sementara itu, di ranjang, Talia mengerjapkan mata. Wajahnya panas, jantungnya berdetak cepat. “Kenapa sih... sampai mimpi aneh begitu...” gumamnya pelan. Ia menutupi wajah dengan selimut. “Mimpi basah pula... dasar Talia bego!” Bima keluar dari kamar mandi dengan tubuh masih basah, hanya berbalut handuk putih di pinggangnya. Ia duduk di tepi ranjang, mencium pipi Talia yang masih berbaring. “Sayang, ayo bangun. Kita waslap dulu, biar badan kamu segar.” Talia mengerjap, membuka matanya perlahan. “Iya, Mas...” ujarnya pelan sambil duduk. Bima berdiri, menuju lemari. Ia mengambil kaos dan celana pendek untuk dirinya, lalu mengambil handuk kecil. Ia kembali ke kamar mandi sebentar, membasahi handuk dengan air hangat. “Sayang, bukan baju kamu yang harus dilepas. Waslap kan harus langsung ke badan.” Bima menoleh dengan senyum tenang. Talia menggigit bibir, ragu. “Mas... aku malu...” Bima mendekat, menatapnya dalam. “Kenapa harus malu sama suamimu sendiri? Aku sering lihat tubuhmu. Nggak ada yang salah, Sayang.” Dengan wajah memerah, Talia akhirnya melepaskan pakaian satu per satu. Bima menahan napas, dalam hatinya bergolak. “Kenapa semenjak Talia kecelakaan... pusaka ini gampang banget bereaksi? Padahal dulu... meski dia tel*njang sekalipun, aku bisa biasa aja. Ada yang beda...” batinnya. Bima mulai mengusap tubuh Talia dengan waslap hangat. Gerakannya lembut, penuh kasih sayang.Membuat pusaknya di bawah sana bereaksi tapi ia tetap fokus. “Terasa enak, Sayang?” bisiknya. “Iya, Mas... hangat.” Setelah selesai, Bima mengambil daster lembut, membantu memakaikan pada istrinya. Talia menunduk. Dalam hati ia bergumam, “Kenapa Talia bisa selingkuh ya? Padahal suaminya baik pol. Kalau bisa tukar jiwa, aku rela punya suami kayak Bima dari pada si Aldi tukang selingkuh. Bodoh banget aku dulu mau nemenin si Aldi dari nol sampai dia selingkuh...” Bima tersenyum hangat. “Kamu mau sarapan di kamar aja, atau di bawah sama yang lain?” “Di bawah aja, Mas. Aku pengen hirup udara segar.” “Oke, tapi Mas yang gendong ya turun tangga. Kamu belum kuat.” “Jangan, Mas... aku berat.” Bima terkekeh, lalu meraih tubuhnya. “Kamu nggak berat sama sekali. Lihat, Mas kuat kok.” Ia menggendong Talia dengan mantap, membawanya keluar kamar menuju tangga. Sesampainya di ruang makan, Vera dan Aldi sudah duduk. “Selamat pagi, Kak... Mas Bima,” sapa Vera ceria. “Pagi, Pak Bima,” Aldi menunduk sopan. Talia langsung melirik sinis ia mengumpat dalam hati. “Ngapain si Aldi di sini numpang makan? Dasar muka tembok.” Bima menarik kursi dan dengan hati-hati menurunkan Talia duduk. “Morning, Mah,” ucap Talia pada Maya. “Morning, Sayang,” balas Maya lembut. “Mas, duduk di sini deh deket aku,” pinta Talia. “Iya, Sayang,” jawab Bima sambil duduk di sampingnya. Vera menoleh ke Bima. “Kak, Mas Aldi mau ngobrolin soal pernikahan kita. Nggak apa-apa kan?” Bima mengangguk. “Nggak apa-apa. Malah semakin cepat semakin baik. Oh iya, Aldi dari rumah jam berapa? Kok jam 6.30 udah sampai sini?” Talia menyipitkan mata, sinis. “Kamu tidur di sini ya, Aldi?” “Talia...” Maya langsung menegur dengan tatapan tajam. Vera berusaha menjelaskan, suaranya meninggi sedikit. “Semalam udah kemaleman, Kak. Jadi Mas Aldi nginep.Maam juga ngizinin .Kak Talia apa-apaan sih ngomong gitu?” Aldi buru-buru menimpali, wajahnya tegang. “Maaf... saya nggak ngapa-ngapain, kok. Cuma numpang tidur, beneran.” Talia mendengus, nada suaranya ketus. “Dosa, tahu? Sekamar padahal belum mahram. Yang ketiga setan ikut. Kamu kok biarin sih, Mas? Adeknya pergaulan bebas gitu. Nanti kalau living together gimana? Kamu nggak baca berita akhir- akhir ini? Banyak cewek dibunuh gara-gara minta tanggung jawab sama pacarnya.” “Uhuk! Uhuk!” Bima sampai tersedak, kaget dengan kata-kata Talia. Maya dan Vera juga ikut terdiam, tersindir. Aldi mengepalkan tangan di bawah meja, menahan emosi. “Kurang ajar... sepertinya Talia benar-benar tidak menyukaiku. Sialan...” Talia menatapnya penuh kebencian, suara dalam hati dingin. “Lihat aja,Mas Aldi. Aku pastikan kamu bakal dipecat dari kantor Mas Bima dan gagal nikah in si Vera.Ini baru permulaan.” Tatapannya menusuk, sinis, penuh ejekan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD