2.Keguguran

1416 Words
Di ruang IGD Rumah Sakit Bakti Persada, aroma obat-obatan masih terasa menusuk. Berlian yang bertrasmigrasi jiwa ke tubuh Talia tiduran di ranjang pasien dengan wajah pucat. Bima menatapnya dengan penuh cemas, lalu menyodorkan segelas air putih. “Sayang, minum dulu ya. Kamu masih syok,” ucapnya lembut. Talia duduk senderan dibantu Bima,meraih gelas itu dengan tangan sedikit gemetar, meneguknya pelan-pelan. “Makasih, Mas,” suaranya serak. Ia terdiam sejenak, lalu menatap Bima. “Aku… mau ke toilet.” Bima segera bangkit, menawarkan tangannya. “Biar Mas temenin. Kamu masih lemes.” Dengan langkah tertatih, Talia berjalan dipapah masuk ke kamar mandi. Begitu pintu tertutup Bima keluar, ia berdiri di depan cermin. Seketika matanya membesar, tubuhnya gemetar hebat. “Ya Tuhan…” gumamnya. “Ini… ini wajah siapa? Cantik… putih… bersih. Astaga, ini bukan aku. Aku yang bulukan, kusam, dekil… sekarang berubah jadi seperti ini?” Tangannya menyentuh pipinya sendiri, memastikan bahwa pantulan itu nyata. Napasnya terengah. Air mata nyaris jatuh, tapi tiba-tiba berganti dengan senyum getir. “Jadi ini Talia?” bisiknya, matanya berkilat. “Kalau begitu… aku harus manfaatin momen ini. Aku harus balas dendam. Mas Aldi… Ibu Yati… kalian harus merasakan apa yang kurasakan selama ini.” Bima yang berdiri di dekat pintu menatap heran. “Sayang… kamu ngomong apa? Kok wajahmu kayak orang lain? Kamu kenapa?” Talia buru-buru menghapus ekspresinya, lalu tersenyum samar. “Eh, nggak, Mas. Aku cuma masih syok aja. Baru bangun rasanya badan ku sakit semua.” Bima mendekat, mengelus lengannya lembut. “Ya wajar. Kamu baru ngalamin kejadian berat. Jangan dipikirin yang aneh-aneh. Mas ada di samping kamu, selalu.” Talia menoleh, menatap mata Bima. Dalam batinnya, ia berkata pelan, “Bima… kamu terlalu polos. Kamu bahkan nggak sadar siapa aku sebenarnya. Dan sekarang… kamu akan jadi bidak pertama dalam permainan balas dendamku.” Senyumnya mengembang tipis. Senyum yang berbeda dari biasanya. Talia mengernyit, tangannya refleks mengelus perut ratanya. Bima menarik napas panjang, matanya sedikit memerah. “Anak kita gak apa-apa ...kamu lebih baik istrahat saja.” “Aku hamil mas? kandungan aku gak apa- apa kan? ” suara Talia bergetar, air matanya mulai jatuh. Bima menunduk, berusaha menahan perasaan ia berbohong. “Kandungan kamu gak apa-apa cuma syok aja...tadi kamu kecelakaan. Mobil kamu ditabrak taksi. Dan... orang yang ada di dalam taksi itu... mereka meninggal. Termasuk supirnya.” Talia terdiam. Pikirannya kacau. Meninggal? Jadi... aku sudah mati? bisiknya dalam hati. Pandangannya kosong ia mengingat wanita yang ada di mobil Sedan bersama seorang pria itu Talia, dan yang di menabrak itu mobil dirinya. tubuhnya jadi lemas seketika. Bima mengusap wajahnya, lalu berusaha tersenyum tipis agar istrinya tidak semakin terpukul. “Kamu jangan mikir yang aneh-aneh dulu, ya. Istrirahat aja. Jangan banyak bergerak.” Ia perlahan membantu Talia kembali berbaring diranjang agar lebih nyaman untuk istirahat. Talia menatap langit-langit ruangan. Rasanya dingin menusuk tulang. “Mas...” suaranya pelan. “Hm?” “Kenapa semua ini harus terjadi?” Bima mengecup keningnya. “Jangan mikir yang aneh-aneh dulu istirahat.” Talia hanya memejamkan mata, menahan tangis. Tak lama, Bima berdiri. “Sayang, aku ke depan sebentar. Mama mau jenguk kamu. Aku jemput di lobi dulu, ya.” Ia kembali menunduk, mengecup kening Talia sekali lagi, lalu melangkah keluar. Saat pintu IGD menutup, Talia menoleh ke arah cermin kecil di meja samping ranjang. Sosok pucat dengan mata sembab menatap balik. Ia menarik napas panjang, lalu bergumam lirih, hampir seperti berbicara pada diri sendiri. “Enak banget jadi Talia... suami,mertuanya sayang banget. Aku? Boro-boro... mereka pasti malah bersyukur aku mati. Semua ini... memang sudah skenario mereka sejak awal.” Air matanya mengalir lagi, namun kali ini disertai senyum getir.tapi ia tersenyum " Seenaknya aku bisa jadi ibu, walaupun ditubuh orang lain. "ucap Talia tangannya mengelus perut ratanya. Ditempat lain Mobil sport Aldi memasuki basement Pondok Indah Mall untuk parkir. Ia melirik ke arah Vera yang duduk manja di sampingnya. “Kamu mau lunch sama apa, Sayang?” tanya Aldi sambil melepas seatbelt. Vera tersenyum, mengelus lengan kekasihnya. “Baby, aku lagi pengen banget makan Duck King.” Aldi mengangguk. “Yaudah, ayo kita naik.” Tiba-tiba ponsel Vera berdering. Nama Bima tertera di layar. “Eh... sebentar, Mas Bima telepon,” ujar Vera sedikit kaget. Aldi menoleh sekilas. “Angkat aja, siapa tahu penting.” Vera menekan tombol hijau. “Halo, Mas... ada apa? Tumben telepon aku.” Suara Bima terdengar panik di seberang. “Vera... Talia kecelakaan. Dia keguguran. Sekarang lagi dirawat di RS Bakti Persada.” Vera langsung duduk tegak. “Apa? Kok bisa, Mas?” “Ada taksi ngebut dari lawan arah. Nabrak mobil kakak iparmu. Supir taksinya meninggal, sama penumpangnya juga. Namanya Berlian, dia lagi hamil muda... ikut keguguran di tempat. Mas gak mungkin nuntut mereka.” Vera terkejut. “Ya Tuhan..Kasihan banget mereka, Mas.” “Kamu cepat ke sini, ya. Mama juga udah otw.” Suara Bima terdengar tegas sekaligus lelah. “Iya, iya Mas. Aku ke sana sekarang.” Vera buru-buru mematikan telepon. Aldi yang sedari tadi memperhatikan langsung bertanya. “Kakak ipar kamu kenapa?” Vera menunduk sebentar, lalu menjawab lirih. “Kecelakaan, Mas... sampai keguguran. Kasihan banget Mas Bima.” Aldi mengernyit. “Terus... siapa yang meninggal tadi katanya?” “Supir taksi sama penumpangnya. Namanya Berlian. Dia juga lagi hamil muda. Kasihan...” suara Vera pelan, matanya berkaca-kaca. Aldi mendengus kecil, menyandarkan kepalanya sebentar ke jok. “Kita juga nggak kenal orangnya. Ya sudah lah... Jadi kita ke rumah sakit atau lunch?” Vera menatapnya tajam. “Mas! Masa mau makan sih? Ke rumah sakit dong! Itu keluarga aku!” Aldi menghela napas panjang, lalu menghidupkan kembali mesin mobilnya. “Oke, oke... kita ke sana sekarang.” Mobil melaju keluar basement. Di balik tatapan dinginnya ke jalan, pikiran Aldi bergejolak. Anakku yang sudah kutunggu 2 tahun beneran keguguran... Aku kira Berlian cuma ngarang cerita. Lia... maafin Mas, sayang. Mas memang mencintai kamu. Tapi uang dan jabatan lebih penting untuk saat ini. Semoga kamu tenang di alam sana... Ia meremas setir lebih kencang, sementara Vera sibuk menatap layar ponselnya, tak menyadari betapa dalamnya rahasia yang Aldi sembunyikan. Mobil sport Aldi berhenti di pelataran RS Bakti Persada. Vera buru-buru turun, langkahnya cepat menuju lobi. Aldi mengikuti di belakang dengan wajah datar. Di ruang tunggu IGD, Bima sudah berdiri. Matanya sembab, wajahnya lelah. Begitu melihat Vera, ia langsung menghampiri. “Vera...” suara Bima bergetar. “Mas Bima...” Vera memeluknya erat. “Aku nggak nyangka, Mas. Talia... gimana keadaannya?” Bima menghela napas, menahan emosi. “Dia masih lemah. Dokter bilang harus banyak istirahat. Aku nggak tahu harus ngomong apa sama dia...Tapi aku sudah memberitahunya bagaimana pun dia harus tau Mah. ” Vera menatap kakaknya iba. “Sabar ya, Mas. Ini cobaan berat...” Aldi menyela, suaranya dingin. “Terus anaknya gimana? Katanya keguguran?” Bima menoleh sekilas, mengangguk pelan. “Iya, anakku... nggak bisa diselamatkan.” Vera menepuk bahu Bima. “Mas, yang sabar. Talia pasti butuh Mas banget sekarang. Jangan biarkan dia merasa sendiri.” Bima mengangguk lagi, matanya kosong. Saat itu, seorang wanita paruh baya dengan penampilan elegan datang tergesa-gesa. Mama mereka. “Bima! Vera! Gimana keadaan Talia?” tanyanya langsung, nafasnya tersengal. Bima memegang tangan mamanya. “Mama... Talia masih lemah. Dia baru sadar, tapi... dia kelihatan hancur banget.” Mama menutup mulutnya, matanya memerah. “Astaga... cucu Mama... cucu Mama...” air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. Vera ikut memeluk mamanya. “Ma, jangan nangis. Kasihan Talia kalau lihat Mama kayak gini. Dia juga pasti lebih sakit.” Mama terisak. “Kenapa harus anak baik kayak dia yang ngalamin ini...” Aldi yang sejak tadi diam akhirnya angkat bicara, nadanya terdengar hambar. “Kalau boleh jujur, sebaiknya Talia jangan dikasih tahu detailnya dulu. Takut dia makin drop. Fokus aja dulu ke kesehatan dia.” Bima menoleh tajam ke arah Aldi. “Kamu pikir aku tega kasih tahu dia begitu saja? Aku aja nggak sanggup ngeliat matanya waktu aku bilang dia keguguran...” Suasana sejenak hening. Hanya suara langkah perawat yang lalu-lalang. “Mas...” Vera menatap Bima hati-hati. “Aku boleh masuk lihat Talia?” Bima menggeleng. “Belum bisa. Dokter minta dia tenang dulu. Kasih waktu. Nanti kalau sudah lebih stabil, baru kalian boleh ketemu.” Mama menghela napas panjang, menatap ke arah pintu IGD dengan mata berkaca-kaca. “Semoga dia kuat... semoga...” Sementara itu, Aldi berdiri kaku, menyembunyikan pikirannya yang bergejolak. Lia... maafkan Mas. Semua ini udah terlambat. Kamu sudah pergi... dan aku harus pura-pura jadi orang asing di hadapan mereka.pasti mama sudah mengurus mayatnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD