4.HANDUK MELOROT

1709 Words
Vera langsung meraih tangan Aldi, menatap kakaknya dengan wajah tersinggung. “Kak! Kok ngomong gitu sih? Aldi tuh orang baik. Aku kenal dia, aku tahu dia jujur sama aku.” Talia menoleh pelan, pandangannya menusuk. “Orang baik? Orang jujur? Baru kenal beberapa bulan aja kamu sudah yakin? Jangan buta, Ver. Hati-hati sama laki-laki yang manis di depan tapi pahit di belakang.” Vera mendengus, suaranya meninggi. “Kak! Kamu nggak kenal Aldi. Kamu nggak berhak nge-judge dia kayak gitu. Selama ini dia selalu ada buat aku. Dia beda sama cowok-cowok lain.” Aldi cepat-cepat ikut menengahi, memasang wajah penuh kesabaran. “Sudahlah, Sayang... jangan marah. Mungkin Kak Talia hanya khawatir. Wajar seorang kakak melindungi adiknya.” Ia menatap Talia dengan senyum hambar. “Saya bisa pastikan, Bu... saya tidak pernah beristri. Saya hanya ingin serius sama Vera.” Talia menahan napas, hampir tak percaya dengan kepiawaian Aldi berbohong. Laki-laki ini... berani sekali berdiri di depanku sambil menyembunyikan fakta bahwa dia suamiku sendiri... Mama Maya yang sedari tadi diam akhirnya bicara. “Talia, jangan terlalu keras sama Vera. Dia sudah dewasa, bisa pilih jalannya sendiri. Kalau dia yakin dengan Aldi, Mama juga akan dukung.” Talia menoleh, matanya memerah. “Jadi Mama lebih percaya sama orang baru ketimbang kata-kata anak sendiri?” Maya terdiam, tak mampu menjawab. Bima berusaha menenangkan. Ia menggenggam tangan istrinya. “Sayang... sudah. Jangan emosi. Kamu masih sakit. Jangan mikirin hal yang bikin kamu stres. Percayalah, kalau memang ada yang disembunyikan, nanti pasti terbuka juga.” Vera kembali menatap Talia, suaranya lirih tapi penuh luka. “Kak, tolong... sekali ini aja dukung aku. Jangan selalu bikin aku ragu sama pilihan aku.” Talia hanya terdiam, hatinya berkecamuk. Pandangannya bergantian ke arah Vera dan Aldi, lalu menunduk. Kalau aku buka rahasia ini sekarang... dunia Vera pasti runtuh. Tapi kalau aku diam... aku sama aja mengkhianati diriku sendiri. Bima meraih tangan istrinya, berusaha menenangkan. “Sayang, sudah jangan keras kepala begitu. Aldi ini orang baik, aku yakin dia sungguh-sungguh sama Vera.” Talia mendelik sekilas ke arah Aldi lalu kembali menunduk. Orang baik? Kalau mereka tahu siapa dia sebenarnya... Mama Maya ikut bicara, menepuk bahu Talia. “Udah, jangan diperpanjang. Wajar kalau kamu belum kenal Aldi, jadi berpikir macam-macam. Tapi lama-lama kamu juga akan lihat sendiri kebaikan dia.” Aldi menunduk penuh kepura-puraan. “Iya, Tante... saya paham kok. Mungkin Bu Talia cuma khawatir sama adiknya. Itu wajar.” Talia menahan senyum sinis, matanya menyipit. Paham, katanya? Tunggu saja, Aldi. Aku akan balas semua pengkhianatanmu. Aku pastikan kamu menyesal sampai nangis darah di depan makamku nanti. Bima membelai rambut Talia lembut. “Sayang, kamu jangan pikirin yang aneh-aneh. Fokus sembuh dulu, ya? Aku nggak mau kamu drop lagi.” Talia menarik napas panjang. “Mas... aku nggak mau di rumah sakit lagi. Aku mau pulang.” Bima menghela napas, menatap istrinya penuh khawatir. “Tapi kamu baru selesai operasi. Dokter bilang kamu butuh pengawasan.” “Aku nggak apa-apa. Aku bisa rawat jalan.” Talia bersikeras, suaranya tegas. Vera menatap heran. “Kak, yakin? Bukannya lebih aman kalau dirawat di sini dulu?” Talia menoleh dingin. “Justru aku nggak tenang di sini. Aku mau pulang.” Bima akhirnya mengangguk, mengalah. “Baiklah... kalau itu mau kamu, aku panggil dokter dulu. Biar dia yang kasih izin.” Ia berdiri dan melangkah ke pintu. “Sus, tolong panggilkan dokter yang menangani istri saya. Katanya dia ingin pulang.” Perawat mengangguk dan segera berjalan pergi. Sementara itu, Talia bersandar di bantal, matanya menatap Aldi yang pura-pura sibuk merapikan jasnya. Kamu boleh bohong di depan semua orang, Di. Tapi aku masih hidup. Dan aku akan pastikan rahasiamu terbongkar. Pintu kamar terbuka, seorang dokter masuk ditemani perawat. “Selamat sore, Bu Talia. Saya dengar Anda ingin pulang?” Talia menegakkan tubuhnya. “Iya, Dok. Saya nggak nyaman dirawat di sini. Saya merasa lebih baik kalau pulang.” Dokter menatap Talia serius sambil membuka map rekam medis. “Bu, kondisi Anda pasca operasi masih rentan. Kalau dipaksakan pulang sekarang, risiko komplikasi bisa lebih tinggi.” Bima langsung menimpali, wajahnya tegang. “Itu juga yang saya khawatirkan, Dok. Tapi istri saya keras kepala sekali.” Talia mendengus pelan. “Mas, aku yang sakit, aku yang tahu tubuhku. Aku sanggup.” Dokter menutup map, lalu mendekat. “Saya mengerti perasaan Ibu. Tapi keguguran bukan hanya soal fisik, ada trauma psikis juga. Apalagi Anda baru saja mengalami kecelakaan.” Talia menunduk, jemarinya meremas selimut. Trauma itu bukan cuma karena kecelakaan, Dok... tapi karena orang-orang munafik di sekitarku. Vera mendekat, suaranya lembut. “Kak, coba pikir lagi. Aku takut kalau kamu kenapa-kenapa di rumah...” Tatapan Talia tajam menembus Vera. “Justru aku nggak bisa tenang kalau tetap di sini.” Aldi yang sejak tadi diam, akhirnya bersuara penuh kepura-puraan. “Kalau memang itu keputusan Bu Talia, mungkin bisa disiapkan rawat jalan, Dok. Lagipula ada Mas Bima yang bisa jaga.” Talia melirik Aldi, menahan amarah. Beraninya kamu ikut campur, Di. Tenang saja, waktumu akan datang. Dokter menghela napas. “Baiklah, kalau Ibu memang bersikeras. Tapi saya harus buatkan surat pernyataan. Risiko jadi tanggung jawab keluarga.” Bima menoleh pada Talia. “Sayang, yakin betul? Kalau ada apa-apa di rumah, aku yang panik nanti.” “Aku sudah putuskan, Mas. Aku mau pulang,” jawab Talia mantap. Dokter akhirnya menandatangani berkas. “Baik, nanti perawat akan siapkan obat dan instruksi perawatan di rumah. Tolong pastikan Ibu banyak istirahat.” Perawat mengangguk, lalu keluar menyiapkan dokumen. Saat suasana hening, Talia melirik Aldi sekali lagi. Kalian semua pikir aku lemah. Tapi aku masih hidup. Dan aku akan buka semua kebusukanmu, Aldi. Bima menggenggam tangan Talia erat saat mereka menunggu di ruang administrasi. “Sayang, nanti di rumah sudah aku siapkan pesawat pribadi kalau kamu butuh ke luar kota untuk pemulihan. Apa pun untuk kamu.” Talia menoleh dengan mata berkaca. “Mas... makasih banget. Aku beruntung punya kamu.” Mama Maya datang menghampiri sambil membawa map berkas. “Semua administrasi sudah beres, tinggal keluar saja. Dokter juga sudah kasih obat-obatannya.” Bima tersenyum tipis. “Bagus, Ma. Ayo, kita pulang.” Ia memapah Talia perlahan keluar dari IGD. Talia berusaha tegar meski langkahnya masih lemah. Akhirnya aku bisa keluar dari tempat ini... tapi bebanku belum selesai. Begitu sampai di lobby, mobil Alphard hitam sudah menunggu. Pak Budi, sang sopir, segera turun membukakan pintu. “Silakan, Pak, Bu.” Bima membantu Talia duduk di kursi tengah dengan hati-hati. “Jalan, Pak Budi,” perintah Bima setelah ikut duduk di samping istrinya. Mesin mobil menyala halus, Alphard perlahan meninggalkan area rumah sakit. Talia bersandar di bahu Bima. “Mas, mama ikut pulang sama kita?” Bima menggeleng pelan. “Enggak, sayang. Mama nanti bareng sama Aldi dan Vera. Mereka tadi bilang mau ikut anter mama.” Mendengar nama itu, Talia langsung menggenggam ujung rok erat-erat. Aldi lagi... selalu muncul di lingkaran hidupku. Kapan aku bisa bebas dari bayanganmu? Bima mengusap kepala Talia lembut. “Jangan dipikirin dulu yang lain. Fokus sembuh ya, baby.” Talia hanya mengangguk kecil, menatap keluar jendela. Jalanan kota tampak ramai, tapi di hatinya hanya ada badai yang tak terlihat siapa pun. Mobil Alphard berhenti di depan rumah mewah milik Bima. Lampu-lampu taman berkelip indah, udara malam terasa dingin. “Ayo sayang, turun pelan-pelan ya,” ucap Bima lembut sambil memapah Talia. “Iya, Mas...” Talia menunduk, tubuhnya masih lemah. Mereka masuk ke dalam rumah, menapaki tangga menuju lantai dua. Bima membukakan pintu kamar utama, lalu mendudukkan istrinya di tepi ranjang. “Kamu istirahat dulu ya. Nanti Mbok Jum datang bantuin kamu waslap sama ganti baju. Mas mandi sebentar.” “Hmm... iya, Mas.” Talia tersenyum tipis. Bima masuk ke kamar mandi, terdengar suara shower menyala. Talia baru hendak merebahkan diri ketika ponselnya bergetar. Nama kontak aneh terpampang: “Tukang Galon”. Dengan ragu, ia angkat telepon. “Halo...?” Suara laki-laki di seberang terdengar akrab. “Halo sayang, gimana kondisi kamu sekarang?” Talia langsung mengernyit. “Kamu siapa?” “Loh, kamu lupa? Kecelakaan tadi bikin kamu amnesia, ya? Kita ini pacaran, Tal.” Deg. Talia membeku. “Pacaran...?” “Iya, masa lupa sih. Anak kita gimana? Selamat, kan?” Jantung Talia serasa berhenti berdetak. “Anak... anak ini... anak kamu? Bukan anak Mas Bima?” Tawa sinis terdengar dari ujung sana. “Ya jelas bukan lah! Kamu kan sudah hamil duluan sebelum nikah sama si kanebo kering itu. Malam pertama cuma jebakan kamu biar dia tanggung jawab. Ingat, anak itu darah dagingku. Dan setelah lahir nanti, kita bisa kuasai semua harta suamimu!” Wajah Talia pucat. Tangannya bergetar. “Anak itu... sudah keguguran.” Sebelah sana hening sebentar, lalu suara itu terdengar santai. “Tenang aja, kita bisa bikin lagi, honne. Kamu jangan pura-pura sok suci lah—” “Cukup!!” Talia memutus telepon dengan tangan gemetar. Nafasnya terengah. Astaga... gila! Jadi benar dugaanku. Ternyata si Tania sama bejatnya dengan Aldi. Dua-duanya tukang selingkuh, najis! Aku muak! Pintu kamar mandi terbuka. Bima keluar hanya dengan lilitan handuk di pinggang. Rambutnya basah, tetesan air turun di d**a bidangnya. “Sayang... kamu kenapa? Kok pucat begitu?” Bima mendekat. Talia buru-buru menyeka wajahnya. “Enggak, Mas. Aku... aku baik-baik aja kok.” Tiba-tiba, seekor kecoak melintas di lantai dekat kaki Bima. “Mas!! Kecoak!!” Talia spontan berteriak, menutupi wajah dengan selimut. Bima kaget, refleks mundur. Lilitan handuknya terlepas jatuh ke lantai. “Astaga...” Talia yang tadinya bersembunyi, malah sempat melirik sedikit. Matanya langsung melotot. Ya Tuhan... buset... segede itu? Ia buru-buru menutup mata dengan jari, tapi diam-diam membuka celah kecil. Astaga, panjang banget, berurat pula. Jauh beda sama Aldi... kecil, loyo, durasinya kurang lama lagi. Ini... ini beneran rezeki nomplok! Kayaknya durasinya juga lama deh... Bima cepat-cepat meraih handuknya kembali. “Sayang... kamu ngapain ngintip begitu? Seakan-akan kamu belum pernah lihat aja.” Talia salah tingkah, wajahnya merah padam. “Eh... aku... aku nggak ngapa-ngapain kok...” Dalam hati ia mendesis. Talia bego banget kalau sampai milih selingkuh sama Aldi. Barang bagus begini malah disia-siain. Sumpah, matanya tuh rabun, hatinya pun buta! Bima menatap istrinya dengan senyum nakal. “Aku nggak keberatan kok kalau kamu mau,tapi tunggu kamu pulih dulu ya.” “Dasar Mas... kamu m***m banget!” Talia langsung membenamkan wajah di bantal, malu setengah mati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD