01. Tahun Ajaran Baru

1082 Words
            Tahun ajaran baru selalu terasa menyenangkan sekaligus memusingkan bagi para siswa dan siswi Sekolah Menengah Atas. Rasa menyenangkannya datang karena mereka akhirnya telah berhasil naik ke satu tingkat lebih tinggi dan kemungkinan besar mereka akan bertemu dengan teman-teman baru jika di sekolahnya menerapkan sistemasi ‘acak kelas’ ketika kenaikan kelas terjadi. Namun, mereka juga mau tak mau harus merasa pusing karena ketika berada pada tingkatan yang lebih tinggi berarti mereka harus siap menerima segala konsekuensi yang ada pada tingkatan tersebut, contohnya; akan ada lebih banyak pekerjaan rumah yang harus mereka kerjakan, materi baru akan terasa lebih berat daripada sebelumnya, belum lagi untuk para siswa dan siswi ambisius yang pastinya akan semakin gencar bersaing untuk mendapatkan peringkat yang mereka inginkan.             Beberapa hal di atas juga dirasakan oleh salah satu siswa bernama Kelana Abimanyu.             Abima— begitu dirinya kerap di sapa oleh teman-temannya, merupakan siswa yang baru saja naik ke kelas sebelas sejak dua bulan lalu. Sekolahnya tidak menerapkan sistem acak kelas sehingga di tahun ke-dua dia bersekolah teman-temannya masih yang itu-itu saja. Tetapi walaupun begitu Abima tidak merasa bosan sedikit pun karena dia sudah merasa nyaman dengan anak-anak kelasnya sekarang. Abima mendapatkan peringkat tiga ketika kenaikan kelas kemarin, siapa pun yang sering memperhatikannya pastilah sadar bahwa Abima memang siswa yang pintar dan juga rajin. Tetapi Abima tidak pernah berniat untuk mengejar peringkat tertinggi, dia hanya ingin menjalankan masa sekolah sebisanya saja.             Jika peringkatnya semakin naik maka dia akan sangat bersyukur, tapi kalau pun ada anak lain yang nantinya membalap peringkatnya maka Abima tidak akan mempermasalahkan hal itu. Sebab Abima tetap melakukan segala sesuatu dengan semampunya, namun jika dia masih kurang berarti dia masih perlu belajar, seperti itu saja siklusnya.             “Bim, nanti mau ikut nongkrong dulu nggak? Gue sama yang lain mau kumpul dulu nih.”             Abima menoleh pada Galih yang merupakan teman sebangkunya sejak kelas sepuluh, laki-laki itu menggeleng kecil tanda menolak. “Gue harus pergi ke suatu tempat hari ini, jadi nggak bisa,” tolaknya begitu saja.             “Yah, lo mah gitu, nggak asik.” Galih langsung cemberut.             Abima tertawa. “Ini kan bukan penolakan pertama gue sih, santai aja lah kalian main bareng sana, nanti kapan-kapan kalo udah ada waktu gue ikutan ngumpul deh.”             “Ya justru karena itu!” ujar Galih menggebu-gebu.             “Galih! Pelankan suara kamu, pelajaran masih berlangsung!”             Baik Galih maupun Abima langsung menunduk seraya tertawa kecil, menertawakan kebodohan mereka yang bisa-bisanya mengobrol santai ketika Ibu Gia— guru matematika mereka, masih menjelaskan materi di depan sana.             “Lo sih berisik,” omel Abima masih dengan tawanya.             “Lo yang ngeselin,” balas Galih tak mau disalahkan. Tapi alih-alih menghentikan pembicaraan laki-laki itu malah melanjutkan perkataannya yang sempat tertunda berkat teguran gurunya. “Ayo sih Bim, ikut kumpul bareng sama gue, kalo lo nggak ikut nanti guenya enggak punya temen.”             Abima mendesah lelah, pasalnya bukannya dia tidak mau menemani Galih untuk berkumpul dengan teman-temannya yang lain, tetapi memang ada suatu hal yang harus dia lakukan di hari ini dan tidak bisa ditunda ke hari-hari berikutnya lagi.             “Gue mau tanya deh, nanti waktu kumpul sama yang lain lo bakal ngapain?” tanya Abima pada Galih, sebenarnya dia sudah tau jawabannya hanya saja ingin memastikan langsung dari mulut sahabatnya itu.             “Ya, enggak tau juga, tinggal di liat aja nanti. Tapi tuh yang penting gue udah datang ke sana jadi seenggaknya gue nggak bakalan di bilang sombong sama mereka.”             Benar kan dugaan Abima.             Acara nongkrong yang Galih sebutkan tadi sebenarnya hanya sebatas pencitraan saja agar mereka tidak dikucilkan dari siswa laki-laki kelas sebelas yang lain, yang katanya sih punya kedudukan lebih tinggi sebab mereka berteman baik dengan para kakak kelas yang ditakuti oleh seantero sekolah. Abima pernah beberapa kali ikut berkumpul ketika kelas sepuluh, itu pun Galih yang mengajaknya, namun begitu dia menyadari bahwa lingkar pertemanan tersebut tidak akan membawa pengaruh baik untuknya maka sebisa mungkin Abima menjauh dari mereka.             Masalahnya Galih ini susah sekali diberitahu, kepalanya sekeras batu sehingga sulit bagi Abima untuk membujuknya keluar dari perkumpulan tersebut. Susah juga sih, sebab Galih sendiri punya obsesi untuk jadi terkenal di kalangan sekolah, Galih pernah berkata pada Abima bahwa di kelas dua belas nanti dia ingin menjadi salah satu kakak kelas yang disegani oleh seluruh siswa dan siswi di sekolah.             Tapi alasan paling utama tentang mengapa Galih ingin bergabung dalam kelompok itu adalah karena dia ingin agenda tebar pesonanya lebih dipermudah, dan dia tidak perlu takut kena labrak sama senior-senior yang lain.             Memang ada-ada saja tingkahnya, tapi anehnya Abima masih betah-betah saja berteman dengan laki-laki itu.             Padahal kalau dipikir-pikir masih ada banyak cara yang bisa dilakukan selain dengan tebar pesona yang ingin Galih lakukan, dia bisa masuk ke beberapa ekstrakulikuler keren yang mana akan lebih mudah menarik perhatian para siswi baru nantinya, atau Galih bisa juga lebih giat belajar agar namanya sering terpampang di papan pengumuman sekolah yang menyatakan ada berapa banyak lomba yang berhasil dia menangkan.             Ada terlalu banyak cara hanya untuk mencari perhatian, namun Galih malah terjerumus dalam cara yang salah.               Abima mulai memutar otak, memikirkan bagaimana caranya membungkam mulut Galih agar tidak lagi merengek untuk memintanya ikut bersamanya. Lalu ide ini tercetus secara tiba-tiba. “Lo mau ikut gue nggak?” tanya Abima tiba-tiba, menawarkan kegiatan yang lebih bermanfaat daripada sekadar berkumpul tidak jelas dengan teman-temannya yang lain.             “Memangnya lo mau ke mana?” tanya Galih penasaran.             “Pulang ke Bandung,” jawab Abima santai, sebelum Galih sempat menyela karena Abima sudah melihat temannya itu melebarkan kedua matanya secara berlebihan, akhirnya dia melanjutkan, “besok peringatan ke-enam tahun sejak kecelakaan waktu itu, gue mau nengokin orangtua gue, Gal. Besok juga kan hari sabtu tuh nanti kita bisa nginep satu hari di rumah lama gue kalo memang lo mau ikut, minggu sorenya baru deh kita balik ke Jakarta.”             Galih terdiam tampak sedang berpikir dan menimang sesuatu, lalu kemudian dia bertanya. “Lo ke sana cuma mau nengokin orangtua lo aja? Nanti hari minggunya kita ngapain?” Abima langsung tersenyum, sudah menyadari bahwa Galih akan mengajukan pertanyaan tersebut.             “Hari minggunya kita bakal hunting foto sekalian jalan-jalan, gue ajak jalan-jalan lo di Bandung.”             Tanpa perlu berpikir lagi, Galih langsung mengangguk cepat seraya berseru dengan penuh semangat. “Oke! Gue ikut!”             “Galih! Saya sudah bilang untuk jangan berisik!”             Abima mengulum senyum sembari pura-pura memperhatikan ke depan, padahal sedari tadi Galih mengobrol dengannya, tetapi sepertinya Abima beruntung karena hanya Galih yang sedari tadi mendapatkan teguran.             Jadi, seperti itu lah hari Jumat Abima dalam bulan ke-dua di tahun ajaran barunya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD