BAB 5 - Larasati, Wanita Bisu Yang Diinginkan Anakku

1988 Words
“Papa nggak bisa diharapkan. Serius!” Liam menekuk ekspresi sambil menggendong tas setelah jam pelajaran berakhir. Dia sudah menunggu dua minggu lebih agar sang ayah membawa Larasati, tetapi sampai detik ini tidak ada kemajuan apa pun. Bocah lelaki itu kemudian beranjak meninggalkan kelas dengan perasaan kesal dan langsung menuju area penjemputan. Dari jarak yang tidak begitu jauh, Liam menghela napas saat melihat sedan hitam terparkir. Itu bukan mobil ayahnya, melainkan sang bibi yang sangat cerewet dan mementingkan diri sendiri. Liam memasuki mobil tersebut dan disambut hangat oleh Risa Ayudia, bibinya yang tengah memoles lipstik padahal bibirnya masih terlihat merah merona. “Halo keponakan tante yang imut!” Liam mencibir sambil memakai sabuk pengaman. “Tante persis kayak badut!” Risa menghentikan gerakan tangannya begitu saja dan membuat lipstik sedikit berantakan. Dia kemudian memejamkan mata, menghela napas dan menyimpan benda seukuran jari tersebut ke dalam tas lalu menoleh dan tersenyum ke arah sang keponakan yang menyebalkan. “Liam sayang, kalau aja papamu nggak ngasih tante uang, tante nggak bakalan mau jemput anak kayak kamu.” Risa menekankan ucapannya dan mulai menyalakan mesin mobil dengan perasaan jengkel. “Antar aku ke tempat lain dulu.” Risa mencengkram setir mobil erat-erat, melampiaskan kekesalan pada bocah yang 19 tahun lebih muda darinya itu. Andai saja Liam tidak memegang rahasia yang paling rahasia miliknya, dia tidak akan sudi menjadi antek seperti itu. “Memang, buah nggak jatuh dari pohonnya jauh-jauh.” “Buah jatuh nggak jauh dari pohonnya, Tante ….” Gadis berusia 25 tahun itu mendengkus tak acuh, menginjak pedal gas dan memacu mobil dalam kecepatan tinggi agar segera tiba di tempat yang Liam inginkan. Lima belas menit berlalu, mereka tiba di sebuah sekolah luar biasa. “Ada urusan apa anak kecil kayak kamu datang ke sini?” tanya Risa sambil melepas sabuk pengaman. Kedua matanya masih memperhatikan plang nama sekolah yang jelas-jelas diperuntukkan anak-anak bisu dan tuli. “Tante nggak perlu tahu.” Liam kemudian turun dari mobil. Risa mengikuti di belakang. Dia tidak mungkin membiarkan anak kecil itu berkeliaran sendiri kalau tidak ingin sesuatu terjadi, apalagi jika ujung-ujungnya dia yang bakal kena marah si kakak j*****m. “Kenapa juga harus tempat seperti ini?” Risa berdecak kesal sambil menarik bajunya ke bawah, berusaha menutupi bagian perutnya yang sedikit terbuka. Ini bukan pertama kalinya Liam datang ke tempat ini. Risa yakin betul karena anak itu terlihat sangat santai dan tidak ragu sedikit pun. Tidak sampai di situ, langkahnya mengikuti sang keponakan justru berakhir di ruang kepala sekolah. “Wah anak ini beneran jelmaan Mahesa!” Risa geleng-geleng kepala tak percaya saat Liam menyapa seorang wanita gemuk di depannya yang kini melempar tatapan ke arahnya. “Ah, saya tante Liam.” “Oh, begitu? Mari, silakan duduk!” Marni mempersilakan keduanya duduk. “Omong-omong ada apa kalian datang? Apa Pak Mahesa ikut?” Risa yang tidak tahu apa-apa hanya mengangkat kedua alis. Dia penasaran ada hubungan apa antara kepala sekolah dan kakaknya. Namun, Liam menjelaskan maksud kedatangan mereka yang sebenarnya. “Papa tidak ikut, Bu! Aku datang ke sini untuk bertemu Bu Larasati! Apa dia ada?” Ekspresi Mirna tampak kelabakan dan Risa menyadarinya. “Bagaimana ini? Apa yang harus aku katakan pada anak kecil ini kalau Larasati sudah tidak mengajar di sini,” batin Mirna diikuti helaan napas panjang. Liam yang mendengar isi hati Mirna pun terbelalak lebar. “Kenapa Bu Larasati nggak mengajar di sini lagi, Bu? Terus sekarang ada di mana?” Mirna terkejut bukan main mendengar pertanyaan Liam yang seharusnya tidak tahu apa-apa soal itu. “Kamu tahu dari mana–” “Anu, Bu Kepala Sekolah.” Risa menyela dan mencoba membuyarkan prasangka Mirna. “Sepertinya keponakan saya mendengarnya dari orang lain, jadi … kira-kira di mana Bu Larasati itu?” “Aku tidak tahu apakah Larasati sudah datang ke tempat kursus Pak Danu Atmawijaya atau belum …,” batin Mirna bingung. “Bu Kepala Sekolah?” Risa membuyarkan lamunan Mirna, tetapi tiba-tiba Liam beranjak pergi begitu saja sebelum mendengar jawaban yang ditunggu-tunggu. “Hei, bocah! Aduh, saya permisi, Bu Kepala Sekolah!” Gadis berambut pirang itu menarik tasnya dan berlari begitu saja mengejar Liam padahal saat ini dia memakai sepatu hak tinggi karena setelah ini dia harus pergi bertemu teman-temannya di sebuah kafe. “Sialan anak ini! Liaaaaamm …!” Setelah pergi dari sekolah luar biasa, kini Risa harus mengantar Liam ke sebuah tempat dan karena berlari tadi, penampilannya benar-benar kacau sekarang padahal hampir dua jam dia bersiap-siap. “Gara-gara kamu dandanan tante jadi berantakan!” Risa mengerang kesal sambil tangan kirinya bergerak meremas udara di dekat kepala Liam, seolah-olah meremas kepala bocah itu. “Tante tahu kita mau ke mana?” tanya Liam dengan nada sombong, persis seperti Mahesa. “Tempat kursus Om Danu.” “Apa?!” Kekesalan gadis itu mendadak hilang. Ekspresinya yang ditekuk berubah menjadi semangat. “Kenapa kamu nggak bilang dari tadi.” Senyum Risa mengembang begitu saja dan dia kembali melajukan mobil dengan kencang. Saat berhenti di lampu merah, gadis itu membetulkan riasan lagi karena setelah ini dia akan berhadapan dengan seorang pria yang sudah menarik hatinya sejak SMA dulu. “Aku sudah lebih dewasa daripada kemarin, jadi pasti dia bakal nyerah, ‘kan?” Beberapa menit berlalu, akhirnya mereka tiba di sebuah gedung bertingkat yang salah satunya menjadi tempat kursus bahasa isyarat milik Profesor Danu Atmawijaya. Liam berjalan menuju lantai empat diikuti Risa yang terlihat antusias. Dari kejauhan, Liam melihat siluet seorang wanita pergi ke arah sama. Dia segera berteriak, “Bu Larasati! Bu Larasati!” Sayangnya, Larasati tidak mendengar apa pun dan sempat membuat Risa terpancing amarah. “Orang sombong mana lagi yang harus aku hadapi hari ini?” Larasati yang membawa beberapa buku segera berhenti ketika rekan kerjanya menepuk pundak dan memberitahu jika seseorang tengah memanggil namanya. Dia lantas berbalik badan dan menemukan sosok Liam yang berlari ke arahnya. Wanita itu terlihat terkejut sekaligus senang melihat anak laki-laki bermata indah tersebut. Dia segera menyambut Liam yang berhambur memeluk kedua kakinya dan bertanya-tanya bagaimana anak itu ada di tempat tersebut. “Aku datang ke sekolah, tapi ternyata Bu Larasati nggak ada di sana! Kenapa Ibu ada di sini?” Larasati tersenyum. Dia tidak mungkin mengatakan kondisinya yang dituduh melakukan pelecehan, jadi dia cukup menjawab dengan bahasa isyarat jika dirinya butuh pekerjaan baru yang bisa menghasilkan lebih banyak uang. “Kalau butuh banyak uang, kenapa nggak terima tawaran Ayah aja? Aku mau Bu Larasati jadi tutorku!” Tak jauh dari mereka, Risa mencangah melihat wanita yang dipeluk kedua kakinya oleh Liam. “Dia tidak bisa bicara, tapi bisa mendengar? Atau mungkin dia bisa baca gerak bibir?” Selagi gadis itu memperhatikan keduanya, seorang pria tiba-tiba datang dari arah belakang dan melewatinya begitu saja. Namun, aroma parfum fan postur tubuhnya benar-benar melekat di ingatan Risa hingga dia menyusul dan berjalan di samping pria tersebut. “Halo, Kak Danu! Lama nggak bertemu!” Danu berhenti dan menolehkan kepala, menatap gadis yang meskipun telah berubah menjadi lebih dewasa, tetapi wajahnya masih sama. Dia terpaku sedikit lebih lama dan ekspresinya terlihat membingungkan. “Risa? Kamu sudah pulang dari Kanada?” Beberapa hari berlalu, Larasati sangat menikmati tempat kerjanya yang baru karena jam kerja yang lebih fleksibel, dia juga tidak terbebani karena murid-muridnya adalah anak-anak berusia belasan tahun. Sejujurnya wanita itu sedikit trauma menghadapi anak kecil setelah kejadian yang lalu itu. Larasati merasa was-was jika suatu saat nanti orang tua murid lagi-lagi menuduhnya melakukan tindakan pelecehan seksual seperti dulu. Sekitar pukul sembilan malam Larasati baru selesai mandi karena hari ini dia mengajar dari sore hingga malam. Sebelum pergi tidur, terlebih dulu dia memastikan pintu dan jendela terkunci agar Malik tidak menerobos masuk dan melakukan hal buruk lagi. Aku harus pergi pagi besok, jadi lebih baik tidur lebih awal. Mematikan lampu meja, Larasati menarik selimut dan mulai berusaha tidur. Malam semakin larut, Larasati jatuh pada ketidaksadaran dan tidur dengan pulas. Lalu tiba-tiba saja gagang pintu bergerak turun dan detik setelahnya terbuka saat Malik mendorongnya. Pria itu menyeringai dan mengendap-endap masuk, tak lupa menutup pintu lalu menaiki ranjang kakak iparnya yang tertidur pulas. Setelah berada di ranjang yang sama dengan Larasati, tatapan mata buasnya Malik menjelajah setiap tubuh yang ada di depannya, membawa jari-jarinya membelai lekuk tubuh sang kakak ipar dan mulai mengendus bagian lehernya seperti anjing. Larasati mulai resah dan otaknya begitu saja sadar untuk segera pergi dari tempatnya. Rasa waspada membuatnya memiliki refleks yang cepat dan ternyata memang benar jika Malik lagi-lagi berada di dalam kamarnya. “Datang sini, Laras! Jangan bikin aku marah! Cepat ke sini sebelum Nurmala bangun!” Larasati menggeleng lalu mengambil langkah cepat untuk segera keluar dari kamar, tetapi Malik bergerak cepat dan mencekal pergelangan tangannya, kemudian menarik dan melemparkannya hingga terbentur sudut meja keropos hingga membuat pelipisnya berdarah. “Sudah kubilang jangan ngelawan!” bentak pria itu sambil melepas kancing celana. Larasati yang tidak ingin melihat apa pun segera menutup mata, sementara tangannya bergerak ke atas meja mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk melindungi diri. Begitu menemukan benda di atas meja, dia segera mencengkram kuat-kuat lalu menusuk kaki Malik tanpa ragu. Malik menahan teriakan merasakan tikaman benda yang ternyata adalah pena dan Larasati menggunakan kesempatan tersebut untuk kabur sekuat mungkin setelah menggapai ponselnya untuk memanggil bantuan. Wanita itu terus berlari di antara lampu-lampu kuning di jalan, mencoba menghubungi seseorang yang mungkin bisa menolongnya. Dia sesekali menoleh ke belakang untuk memastikan apakah Malik mengejarnya, tetapi Larasati pikir tidak. Berhenti sebentar untuk menenangkan diri, Larasati hendak memanggil polisi. Namun, dia mengurungkan niat begitu ingat kejadian dua tahun lalu saat laporannya berakhir begitu saja karena Malik dan ibu mertuanya menyogok oknum kepolisian. Siapa yang harus kuhubungi? “Laras!” Larasati tersentak dan jantungnya sudah agak tenang, kini berpacu lebih cepat lagi. Dia sama sekali tidak menyangka jika Malik akan mengejarnya dengan kaki berdarah-darah seperti itu. Lantas, dibawanya lari kedua kaki itu sambil berpikir siapa yang sekiranya akan segera datang saat mendengar tangisannya yang menjijikkan. Saat itu Mahesa baru kembali di kamar kecil di sebuah tempat pengisian bahan bakar bersama Danu yang teler sehabis minum-minum di bar bersama teman-temannya yang lain. Dia kembali melajukan mobil dan tak berselang lama setelah itu, ada sebuah panggilan masuk di ponsel Danu. Mahesa merogoh kantong celana temannya itu dan melihat bahwa Larasati menghubungi larut malam seperti ini. Dia tertawa tidak percaya. “Dia benar-benar wanita murahan.” Panggilan berhenti begitu saja dan ketika Mahesa hendak mengembalikan ponsel tersebut, lagi-lagi Larasati menelpon. Lantas diangkatnya panggilan tersebut untuk melihat apa yang akan wanita itu lakukan malam-malam begini. “Ha–” Ucapan Mahesa terhenti begitu mendengar napas terengah-engah di seberang sana. Dia juga mendengar Larasati merintih, atau menangis atau apa pun itu. “Apa yang terjadi padamu?” Larasati menangis dan meminta agar pria yang mengangkat teleponnya segera datang, tetapi dia hanya bisa mengeluarkan suara tak jelas yang pastinya tidak dapat dimengerti oleh siapa pun. Malik makin mendekat dan kedua kaki Larasati sudah tak sanggup berlari lebih cepat. Dia juga tidak bisa berhenti dan meminta pertolongan orang-orang karena mereka tidak akan peduli pada wanita cacat seperti dirinya. “Laras, berhenti di sana!” Mahesa tersentak saat telinganya samar-samar mendengar seorang pria berteriak. Dia segera mempercepat laju mobil dan mengubah panggilan suara menjadi video agar dia tahu persis di mana posisi Larasati. Larasati yang cepat tanggap akhirnya menerima permintaan tersebut dan sekarang dia tahu siapa yang menerima panggilannya. Dia menatap Mahesa sambil berlari, berharap pria itu datang menyelamatkannya lagi. “Tunjukkan tempat di sekitarmu agar aku bisa datang!” Mahesa berteriak dan memutar jari agar Larasati mengerti ucapannya. Wanita itu mengangguk dengan air mata berderai-derai, lalu membalikkan kamera agar Mahesa bisa melihat ke mana dia pergi. Beruntungnya, tempat di mana Larasati pergi dekat dengan posisi Mahesa. Pria itu segera pergi ke lokasi dan bersumpah akan menghajar habis-habis adik ipar tidak punya otak tersebut. Bagi Mahesa, tingkat kenakalan seorang lelaki adalah cukup sampai pada perkelahian antar sesama. Jika sampai bertindak lebih jauh, menyakiti seorang wanita secara fisik misalnya, itu tidak termaafkan. “Pria b******n seperti itu tidak bisa dibiarkan!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD