“Bagaimana kalau diberikan pada saya, Bu?” “Asha.” Mas Dion menggenggam sebelah tanganku. Dan, aku menguatkan genggamanku, menatapnya penuh harapan. Deringan ponsel mengintrupsi pembicaraan kami. Bukan dari ponselku atau Mas Dion. Melainkan dari ponsel Bu Denti. Beliau pamit menerima telepon, meninggalkan aku dan Mas Dion. Mas Dion menegak minumannya hingga habis, menarik napas panjang dan menatapku. “Sha, kita sudah janji akan berusaha bersamakan?” “Iya, Mas. Kalau kita tidak memenuhi syarat mengadopsi anak dari panti asuhan. Mungkin ini jalan yang ditunjukkan, Mas. Toh, kita tidak menyerah. Selain menyelamatkan satu nyawa, kita bisa menganggap ini sebaik pemancing datangnya buah hati kita.” “No, make sense, Sha.” “Kalau sang ibu menolak menerima kehadiran sang anak karena depresi

