Brayan berdeham pelan, mencoba memecah suasana yang semakin aneh.
“Ehem…”
Alessandro menoleh sekilas lalu dengan suara dingin memperkenalkan, “Perkenalkan… ini—”
Namun Caroline lebih cepat menyela. Dengan senyum penuh percaya diri, ia menegakkan tubuhnya di pangkuan Alessandro.
“Saya istrinya Tuan Alessandro. Senang sekali bisa bertemu dengan Anda, Tuan Brayan.”
Mata Brayan membesar, sorotnya penuh keterkejutan. “Are you serious, Li?”
Caroline menatap balik tanpa ragu, bibirnya tersungging nakal. “Yes. I’m serious.”
Alessandro menambahkan dengan nada berat, dingin namun tegas. “Ku harap kau tidak membocorkannya keluar.”
Brayan menghela napas, lalu mengangkat tangannya seperti menenangkan. “Tenang, bro. Rahasiamu aman denganku. Tapi maaf, aku harus pulang. Banyak urusan menunggu.”
Ia bangkit dari kursinya. Tatapannya sempat melirik Caroline sekali lagi—sebuah lirikan penuh tanda tanya—sebelum akhirnya melangkah keluar. Pintu berat ruangan itu menutup rapat di belakangnya, meninggalkan keheningan yang hanya diisi napas berat Caroline dan Alessandro.
Alessandro menoleh dengan mata menyipit, suaranya rendah penuh tekanan. “Kau sengaja menggoda aku sejak tadi… apa maumu, hmm?”
Caroline tersenyum samar, tubuhnya sedikit maju. “Mauku? Ya kamu…”
Tanpa menunggu reaksi, Caroline menempelkan bibirnya ke bibir Alessandro. Sebuah kecupan cepat. “Cup.”
Alessandro sempat terdiam sepersekian detik, namun darahnya mendidih. Dengan gerakan tiba-tiba, ia membalas ciuman itu. Kali ini bukan sekadar kecupan, melainkan ciuman dalam yang membelit lidah, menjelajahi setiap inci rongga mulut Caroline.
“Mmmhh…” Caroline mendesah tertahan.
Tangannya melingkar erat di leher Alessandro, sementara lelaki itu menekan pinggang rampingnya agar lebih dekat. Ciuman itu semakin panas, semakin dalam, seolah keduanya tenggelam dalam arus hasrat yang tak terbendung.
Caroline terengah, hampir kehabisan napas, namun ia tak ingin melepaskan. Justru ia menekan lebih dalam, menantang.
Alessandro akhirnya menarik diri, bibirnya terpisah dengan suara lembap. Ia terdiam sesaat, menatap wajah Caroline yang merah merona, nafasnya naik turun tak beraturan. Dalam hati Alessandro berteriak, “Bibirnya… sangat seksi. Godaan yang benar-benar bisa menghancurkan imanku.”
Sementara Caroline menunduk, berusaha mengatur napasnya. Dadanya naik turun cepat, tapi senyum kecil tetap menghiasi bibirnya.
“Ayo kita sarapan sekarang.” Suara berat Alessandro memecah keheningan. Ia menepuk paha Caroline, menyuruhnya turun dari pangkuannya.
Caroline buru-buru berdiri. Wajahnya merah seperti tomat busuk, masih panas oleh ciuman tadi. Dengan langkah gugup ia mengikuti Alessandro menuju ruang makan.
Ruangan itu megah, chandelier kristal berkilauan di langit-langit, meja panjang penuh peralatan makan perak yang tertata rapi. Para maid sibuk mondar-mandir, melayani tuan mereka. Alessandro duduk dengan anggun, menyantap scone hangat dengan selai strawberry, khas sarapan bangsawan Inggris.
Caroline menarik kursi di sebelahnya, lalu duduk. Ia tersenyum tipis, berusaha mencairkan suasana. Namun Alessandro menoleh dengan tatapan dingin.
“Caroline, jika kau ingin selamat, jangan ikut campur dalam urusanku. Dan yang terpenting, jangan pernah menggoda aku lagi.”
Caroline menaikkan alisnya, menahan tawa sinis.
“Kenapa memangnya? Atau… jangan-jangan benar kamu itu gay?”
Tatapan Alessandro langsung membeku, suaranya menekan.
“Tutup mulutmu. Atau—”
Caroline cepat menyambar, senyumnya penuh tantangan.
“Atau kau akan menciumku lagi?” godanya sambil menyuapkan potongan scone ke mulut Alessandro.
Ia bahkan sempat mengelap bibir Alessandro dengan tisu, seolah sudah menjadi istri yang manja.
“Tuan, aku ini istrimu. Jadi jangan pernah coba-coba memerintahku sesuka hati.”
Rahangan Alessandro mengeras, matanya menyala.
“Beraninya kau… dasar jalang!”
Caroline tersenyum nakal, membisikkan dengan suara rendah.
“Aku jalang pribadimu, Tuan…” Tangannya diam-diam mengelus paha Alessandro di bawah meja.
Alessandro tersentak, kursinya bergeser keras. Ia berdiri, menahan gejolak.
“Cukup. Kita berangkat sekarang!” serunya.
“Siap, Tuan!” sahut anak buahnya serempak.
Ia melangkah keluar mansion dengan aura dingin, diikuti rombongan bodyguard. Deretan mobil sport mengilap sudah menunggu di halaman. Alessandro masuk ke mobil utamanya, dan konvoi itu pun meluncur keluar.
Caroline hanya menatap kepergian mereka sambil mengernyit.
“Mereka semua berangkat kerja? Tapi… apa sebenarnya pekerjaannya?” tanyanya penasaran.
Salah satu maid menunduk sopan.
“Tuan Alessandro adalah CEO jaringan club malam dan restoran di seluruh Eropa, Nona.”
Mata Caroline berbinar.
“Wah… pantesan kaya raya. Gak rugi lah kawin kontrak sama dia. Udah ganteng, kaya pula.”
Ia melanjutkan sarapannya sambil bersenandung kecil, seolah hidupnya baru saja mendapatkan jackpot.
Alessandro duduk di kursi belakang mobil sportnya, menatap kosong ke luar jendela.
“A, kita ke rumah bordir Mami Elisa,” ucapnya dingin.
“Baik, Tuan.” Jonson, asistennya, segera memberi instruksi pada sopir.
Mobil melaju membelah jalanan Roma hingga berhenti di depan sebuah bangunan megah dengan lampu neon mewah—rumah bordir paling terkenal di Italia.
Alessandro turun dari mobil, langkahnya tenang tapi penuh wibawa. Seorang pelayan segera menyambut di pintu.
“Selamat pagi, Tuan. Ada yang bisa kami bantu?”
“Siapkan jalang terbagus, yang servicenya nomor satu,” Alessandro memerintah datar.
Pelayan itu menunduk hormat.
“Baik, Tuan. Kami rekomendasikan Monalisa. Cantik, seksi, jago di ranjang. Ada harga, ada kualitas.”
Alessandro mengangkat alis. “Mana dia?”
“Silakan ke ruang 88, Tuan. Itu khusus untuk pelanggan VIP seperti Anda. Monalisa sudah menunggu di sana.”
Alessandro menaiki tangga marmer, membuka pintu kamar yang disebutkan. Di dalam, seorang wanita dengan lingerie tipis berpose menggoda di ranjang. Ia melirik Alessandro dengan senyum penuh rayuan.
“Selamat datang, Tuan…” suara Monalisa mendesah lembut. “Saya bisa melakukan apa pun yang Anda mau.”
Alessandro hanya duduk di sofa, menatapnya dengan mata dingin.
“Buktikan.”
Monalisa turun dari ranjang, berjalan meliuk mendekat. Ia duduk di pangkuan Alessandro, tangannya langsung meraba d**a bidang lelaki itu, turun perlahan ke perutnya, lalu mencoba masuk ke celananya.
Namun Alessandro tetap diam, tanpa reaksi sedikit pun.
Monalisa tersentak kecil. “Eh? Kenapa diam saja, Tuan? Biasanya pria langsung tegang kalau disentuh begini.”
Alessandro menahan nafasnya, dalam hati bergemuruh. “Tidak mungkin… Semalam, bahkan tadi pagi, hanya dengan melihat Caroline aku bisa dua kali main solo. Tapi sekarang? Dengan Monalisa yang jelas-jelas cantik… kenapa tidak ada reaksi?”
Monalisa semakin berani. Ia melepas lingerie-nya satu per satu hingga berdiri telanjang di hadapan Alessandro.
“Lihatlah aku, Tuan. Banyak pria rela membayar mahal hanya untuk satu malam denganku.”
Namun Alessandro tetap tak bergerak. Matanya justru terpejam, pikirannya dipenuhi bayangan lain.
“Kenapa… hanya dengan mengingat wajah Caroline, aku langsung bisa †êråñg𝙨åñg? Kenapa pusaka ini hanya berdiri ketika dia ada di dekatku? Sejak kapan aku jadi selemah ini?”
Ia menggertakkan giginya, jari-jarinya mengepal di sofa. “Tidak mungkin… tapi mengapa bayangannya terus menghantui? Mengapa hanya Caroline yang bisa membuatku begini?”
Monalisa menatapnya bingung, lalu tersenyum tipis. “Tuan… apa yang salah? Atau… ada wanita lain yang menguasai pikiran Anda?”