Tok... Tok...
Suara pintu di ketuk itu pun membuat Naira terbangun, ia tak sengaja tertidur di atas kursi santai yang berada di dalam kamar Devano. Naira memang semalaman menunggu Devano yang tak kunjung selesai meminta Asi kepadanya, Naira pun membuka matanya saat melihat sosok mertua lelaki ya datang untuk menemui cucu kesayangannya.
“Papa,”
“Loh sayang kirain Papa kamu tidur,”
“Enggak Pah, Devano seneng banget minum Asi.”
“Duh cucu Opah ini bentar lagi gemuk kayanya,” ujar Dave, Dave meminta Naira mengalihkan tubuh Devano ke dalam gendongan Dave, Naira pun segera memberikannya.
“Naira, besok Suster Susi akan menemani mu membantu mengurus Devano ya.” ucap Andini.
“Iya Mama,”
“Ya sudah kamu tidur saja, biar Mama saja sama Papa yang bergantian mengurus Devano.”
Naira sempat menolaknya, “Tidak Mama, biarkan Naira menemani Mama. papa kan seharian sudah bekerja, biarkan saja Papa beristirahat.” tolak Naira saat itu.
“Sayang, kamu yang seharusnya banyak istirahat. Asi kamu tidak akan enak jika kamu kurang tidur dan tidak menjaga asupan pola makan dengan baik, ayolah menurut saja apa kata Mama mu.” tutur Dave.
“Aku tidak mau selalu saja merepotkan Mama dan Papa, biarkan aku yang jaga Devano.” tukas Naira.
“Sayang, nanti esok saat Davis pulang kau bisa menjaganya bersama Davis.”
“Ya sudah Mama, aku tidur ya.”
“Iya, lagipula kamar Devano dan kamar kamu kan tinggal buka pintu samping. Jadi kalau ada apa-apa kamu gak usah jauh-jauh,” ucap Andini.
“Makasih ya Mama,”
“Iya Nak, ayo sana tidur.”
“Makasih juga ya Papa,” ucap Naira.
“Iya sayang,” Balas Dave sembari tersenyum, Naira pun berjalan menuju kamar pribadinya. Lalu segera menaiki ranjang miliknya dan menarik selimut hingga mencapai batas d**a, kali ini pikirannya tertuju pada suaminya.
Sebenarnya ia sedang melakukan protes besar terhadap Davis, ia merasa kesal karena Davis memperpanjang masa kerjanya di Surabaya hingga membuat Davis tidak bisa menjemput dan menyambut anak semata wayangnya yang baru saja pulang dari rumah sakit.
Dan saat itu, Davis sempat berjanji akan setiap hari menemui Devano dan nyatanya Davis hanya sekali dalam dua minggu itu menjenguk dan melihat keadaan Devano. Menurut Naira, Davis telah mengecewakan dirinya.
“Ahrrgh.. lagian ngapain sih gw mikirin Davis,” ucap Naira, “Dia aja lebih mentingin kerjaan dibandingkn gw dan Devan.” lanjutnya, ia segera menutup matanya dan perlahan tertidur. Namun ponselnya kembali berdering, sepertinya Davis lah yang sedang berusaha menghubungi dirinya.
Naira terbangun, lalu menatap layar ponsel miliknya. Ia tak menghiraukan panggilan yang di tujukan oleh Davis untuk dirinya, “Aku tidak mau menerima panggilan mu, kau pulang baru aku mau menjawab mu.” gerutu nya dengan kesal, Ia pun kembali tertidur.
Sementara itu, Davis terus menerus mencoba menghubungi istrinya. Ia merasa malu untuk bertanya keadaan istrinya kepada Mama atau Papa nya, ia pun memilih untuk mengakhiri semua panggilannya.
Ia menatap jam yang melingkar di tangannya, suasana kamar hotel pun seakan sepi tanpa gelak tawa Naira. Ia benar-benar merindukan sosok istri kecilnya itu, ia menatap layar ponsel miliknya. Di sana wajah Nair terpampang dengan jelas, perasaannya benar-benar kalut dan andai saja Naira menerima panggilannya, Mungkin setidaknya Davis dapat mendengar suara indah dari Naira.
“Naira, aku benar-benar merindukan mu.” keluh nya sembari menatap layar kaca ponsel miliknya, Davis pun memilih untuk tidur lebih cepat karena merasakan rindu yang teramat berat.
Malam pun mulai berganti menjadi pagi, sengatan matahari terlihat menyinari kamar hotel yang ditempati oleh Davis. Ia segera bangun dan segera membuka matanya, ia mengeliat pelan dan mencoba meregangkan otot-otot kakunya.
Lalu ia membawa ponsel yang tersimpan di atas nakas dan mencoba menghubungi Naira kembali, namun tetap saja Naira enggan menerima panggilan dari suaminya. Davis pun merasa aneh, ia segera menguhubungi assisten pribadinya. Untuk segera memesankan sebuah tiket perjalanan dari Surabaya menuju Jakarta, “Halo, Asna. Tolong pesankan tiket pesawat.”
“Saat ini Pak?”
“Iya,” jawab nya singkat.
“Baik Pak, akan saya segera pesankan.” ucap Assisten pribadi Davis.
Davis pun segera mengemas pakaiannya, hati nya benar-benar memikirkan Naira.
“Ada apa dengan mu Nai?” tanya nya dalam hati sembari berjalan menuju kamar mandi.
Bel kamar hotel terdengar nyaring, ia pun terlihat membuka pintu tanpa menatap orang di balik pintu tersebut. Karena sebelumnya Davis memang memesan sarapan Pagi dan memintanya untuk diantar ke dalam kamar hotel tempatnya menginap dan saat ia membuka pintu, sosok wanita muda bernama Alena sudah berdiri di depan pintu tersebut.
“Halo, Mas Davis.” sapa Alena.
“Ha-halo, kamu?” Mata Davis membelalak karena merasa tak percaya jika Alena ada di hadapannya.
“Untuk apa kau kemari?” Davis terlihat ketus, namun Alena tetap saja tersenyum di hadapannya.
“Mengunjungi mu,” sahutnya dengan singkat.
Davis menggelengkan kepalanya, “Maaf Nona Alena, saya tidak ada waktu untuk bercengkrama dengan anda.” ucapnya kembali.
Alena memberikan sebuah Amplop berwarna merah, “Aku cuma mau anterin ini, semalam Papa terkena serangan jantung dan saat ini Papa sedang terbaring lemah di rumah sakit,” jelasnya membuat Davis semakin merasa tak percaya, ia kembali menggelengkan kepalanya.
Davis pun menarik amplop merah tersebut seraya membawa amplop tersebut dengan kilat dari tangan Alena, “Baiklah terimakasih, nanti saya akan hubungi Ayah mu.” balas Davis kembali dengan nada yang sangat ketus.
Tanpa permisi, Davis pun menutup pintu kamar namun Alena mencoba menahannya.
“Apa seperti ini seorang pria berwawasan tinggi dalam menyambut tamu nya?” tanya Alena.
“Maaf Alena, saya sedang sibuk. Hari ini saya harus segera pulang, karena anak dan istri saya sedang menunggu saya.” tutur Davis dengan pelan.
Alena terlihat berpikir keras, ia tak tahu bagaimana lagi caranya untuk bisa bercengkrama atau sekedang berbincang santai bersama lelaki pujaannya.
“Mas Davis udah punya istri toh?” tanya Alena kembali.
Davis menghela napasnya dengan berat, ia merasa tak nyaman dengan keberadaan Alena di hadapannya.
“Sudah saya katakan, tolong jangan mengganggu waktu saya.” ucap Davis sembari kembali menutup pintu kamar hotel itu, namun lagi dan lagi tangan Alena menahannya.
“Aku bisa temani Mas Davis menuju bandara kok? Supaya tidak terlalu lama, apalagi Mas Davis gak punya assisten pribadi.” ucap Alena kembali.
Keringat mengucur deras dari dahi Davis, ia tak tahu lagi bagaimana caranya meminta Alena untuk segera menyingkir dari hadapannya.
“Nona Alena, mohon maaf saya katakan lagi. Belajar lah bersikap sopan dan tolong segera pergi dari hadapan saya, karena saya tidak bisa berbincang lama dengan anda.” Alena merasa tidak senang dengan kalimat yang diberikan oleh Davis, ia mendengus kesal lalu beringsut pergi dari hadapan Davis.
“Nona Alena,” panggil Davis kembali, Alena pun menoleh.
“Lain kali, suruh Assisten Ayah mu untuk menemui ku. Kau tak usah repot-repot datang untuk mengantarkan berkas, dan satu lagi, aku memiliki assisten pribadi namun saat ini Assisten pribadi ku sedang cuti melahirkan. Jadi kau tak perlu repot-repot memikirkan ku, Terimakasih.”
Alena mengerutkan dahinya, ia menatap kesal kearah Davis. Davis terlihat menutup kembali pintu hotel miliknya dan Alena terlihat mendelikkan matanya lalu berjalan menuju lobby hotel.
Selama dirinya berjalan, ia tak henti menggerutu kesal karena merasa mendapat penghinaan dari Davis.
“Lihat saja, aku akan membuat mu jatuh cinta kepadaku.” ucap Alena, “Kau akan meminta dan menghiba agar aku mau menjadi istrimu, kau akan secepat kilat lupa akan pernikahan mu dengan istri mu Tuan Davis Attalla surya.” ucap Alena kembali.
Ia mendecih saat mengingat wajah Davis, “Suruh siapa memiliki wajah Tampan dan tubuh yang membuat ku tergoda, apalagi kharisma mu, sebuah kharisma yang membuat aku tergoda” ucap Alena kembali, ia tersenyum nakal kala mengingat wajah Davis.