bc

Duh My Boss!

book_age18+
19.8K
FOLLOW
132.7K
READ
possessive
playboy
arrogant
drama
comedy
sweet
humorous
first love
gorgeous
passionate
like
intro-logo
Blurb

Aku, Rea. Seorang karyawan di salah satu bank swasta yang katanya ternama di Indonesia. Dengan gaji pas-pasan dan tekanan kerja yang begitu kuat, juga harus menghadapi Kepala Cabang baru yang kelakuannya membuat karyawannya ingin pindah ke Mars. Playboy cap teri itu julukannya.

Semuanya bertambah rumit saat dia memilih aku menjadi korbannya.

Cover : Innovel/Dreame

chap-preview
Free preview
1. Hello Bos Baru
Aku melompat turun dari halte busway dengan tergopoh. Jam tanganku sudah menunjukkan pukul setengah delapan pagi. Di hari Senin yang cerah ini, aku harus melawan macetnya jalanan ibukota agar dapat tepat waktu datang ke kantor. Aku bukan karyawan teladan, pernah satu atau dua kali terlambat datang ke kantor, juga pernah memberikan surat sakit palsu agar jatah cuti tidak dipotong. Aku rasa untuk hal yang aku sebutkan tadi, kalian juga pernah melakukannya ya kan? Aku mendorong pintu kaca kantorku dengan sebelah tanganku menjijing paper bag berisi sepatu kerjaku. Seketika aku langsung menegang. Di banking hall, teman-temanku telah berkumpul. Wajah mereka tampak serius. What?! Ini baru jam setengah delapan. Biasanya briefing dimulai saat lima belas menit menuju jam delapan. Apa maksudnya briefing sepagi ini? Jam buka kas saja masih setengah jam lagi. Memangnya ada pejabat dari kantor pusat yang datang? Dengan langkah tergesa aku menuju mesin finger print. Menekan sidik jariku sampai mesin absensi itu mengucapkan terima kasih dengan suara cemprengnya. Aku buru-buru bergabung dengan teman-temanku di banking hall. Mataku berkeliaran memindai satu demi satu teman kantorku, entah kenapa wajah mereka terlihat tertekan. "Kenapa kamu baru datang?" suara berat itu mengagetkanku. Mataku segera mencari sosok yang sedang bicara itu. Seorang lelaki bertumbuh tinggi menatapku dengan wajah berang. Aku menelan ludahku. Siapa lelaki berwajah seperti pembunuh bayaran ini? "Itu...ma...macet Pak," sahutku gugup. "Alasan klise! Peringatan pertama buat kamu!" Aku semakin menundukkan wajahku, tidak berani menatap lelaki itu. Astaga! Jika dia memang benar pejabat dari kantor pusat, bisa dipastikan bulan ini aku tidak akan menerima bonus tahunan. Sebelum briefing dibubarkan, semua karyawan meneriakkan yel-yel penyemangat pagi. Aku mengucapkan yel-yel dalam hati. Suasana hatiku tidak sesemangat yel-yel pagi ini. "Tim marketing ikut saya, kita meeting pagi ini." Kata lelaki itu sambil berlalu dari hadapanku. Meeting?! Apa belum cukup briefing barusan? "Siapa sih?" Aku menyenggol lengan Mbak Lana, Team Leader-ku. "Ssttt...Pak Revano, pimpinan cabang kita yang baru," bisik Mbak Lana. Aku melotot dan menatapnya dengan tatapan tidak percaya. Bukannya Jumat kemarin Pak Awan masih menjadi pimpinan cabang bank ini? "Pak Awan?" tanyaku. "Dimutasi." Suara Mbak Lana masih terdengar pelan. Aku memasang heels-ku dengan terburu-buru dan segera menyusul tim marketing menuju lantai dua. "Blazer lo mana?" Alex menjawil lenganku. Ah persetan dengan grooming ini itu yang nggak penting banget. Suka-suka aku dong mau pakai baju apa buat kerja, yang penting rapi dan pantas sudah cukup. Enggak perlu ditambah ini itu yang buat mumet. Hari Senin harus pakai blazer plus rok, Selasa Rabu office look, Kamis batik, Jumat smart casual. Tuh enggak perlu diingatin juga, aku sudah hafal di luar kepala. "Enggak bawa," jawabku santai. "Gawat!" Alex terlihat panik. "Masa lo lupa hari Senin wajib pakai blazer," katanya lagi. Aku menggerling padanya. Lelaki ini memang suka ribet dengan penampilanku. Kadang aku enggak make up aja dia yang ribut. Dia sudah seperti pengamat fashion-ku. "Bawa kok, tapi masih di loker," kataku sambil tersenyum usil. Alex menarik napas lega. Senang sekali mengusili marketing home loan ini. Aku menghitung tim marketing yang sudah duduk berjejer rapi di ruangan rapat. Dari marketing funding yang bertugas menghimpun dana dan marketing landing si pemberi kredit sudah terkumpul lengkap di sini. Total ada delapan orang tim marketing, lima tim funding dan tiga tim landing. Semuanya berwajah tegang, terkecuali Marsha yang senyum-senyum kegenitan dari tadi. Seperti biasa si genit itu enggak pernah bisa tahan sama lelaki ganteng. Upss, baiklah aku harus jujur jika pimpinan cabang yang baru kali ini memang bisa mencuci mata-mata yang sudah mulai jenuh dengan target. Wajah sangarnya yang ke-Indo-Indoan membuat aura eksotisnya keluar dan juga suara beratnya yang mirip vokalis band favoritku sanggup menyihir siapa saja yang mendengarnya. Aihhh...kok ya otakku jadi kacau gini ya? "Oke, mulai saat ini nggak ada yang namanya kerja mencapai target, tapi harus melampaui target. Saya nggak suka yang kerjanya monoton dan lamban." Dia mengambil spidol dan menuliskan sesuatu di whiteboard. "Kamu, targetmu satu bulan berapa?" Tiba-tiba tangannya menunjuk tepat di wajahku. Aku bengong beberapa saat sebelum Mbak Lana menyenggol lenganku. "Tabungan lima ratus juta, deposito satu Miliar, bancassurance seratus juta, kartu kredit sepuluh aplikasi," jawabku hampir tergagap. "Kalikan dua untuk targetmu bulan ini," katanya penuh penekanan. Aku menelan ludahku yang mendadak terasa pahit. Gila aja! Ini sama aja kayak kerja rodi jaman penjajahan! "Ganteng sih, tapi kok sadis banget ya," bisikku pada Mbak Lana. Dia mendelik padaku, mungkin takut omonganku tedengar oleh bos baru itu. Beberapa saat kemudian dia kembali sibuk mencorat-coret whiteboard. Menuliskan bagan-bagan yang enggak kumengerti. "Namamu siapa?" tanyanya tiba-tiba pada Marsha. Eh enggak adil, tadi sama aku nggak sedikitpun dia tanya namaku. "Marsha Mas eh...Pak," jawabnya genit. "Baik Marsha, saya tantang kamu dan kalian semua yang ada di ruangan ini. Bulan ini semuanya harus A plus, tidak ada dispensasi ataupun negosiasi." Dia mengucapkan kalimat barusan dengan enteng, seperti mendapatkan nilai A plus itu bisa dilakukan dengan menjentikkan tangan. Bagi marketing, mendapatkan nilai A plus itu ibarat berusaha menjadi dewa. Sulitnya bukan main. Nah, bos baru di hadapanku ini tiba-tiba aja seenak udelnya memasang target setinggi langit seperti itu. "Baik, Pak!" Terdengar teriakan penuh semangat. Eh tunggu dulu, kenapa malah pada semangat! "Dan satu lagi, saya paling nggak suka karyawan nggak disiplin kayak kamu." Lagi-lagi telunjuknya mengarah ke wajahku. Aku membesarkan mataku. "Lain kali sebelum ikut meeting, pastikan penampilanmu sudah benar.  Keluar dan pakai blazer-mu!" Perintahnya tak terbantah. Ralat, dia nggak cuma sadis. Tapi nggak berperikemanusiaan! *** Aku menatap layar komputer dengan malas. Beberapa kali aku menyeka mataku yang sepertinya mulai tidak bersahabat. Rasa kantuk yang menggila membuatku tidak bisa berkonsentrasi. Nama-nama nasabah yang tertera di layar komputer terlihat seperti mantra tidur. Hoaaaaam! Aku menguap sebelum kembali mengarang cerita bebas untuk meeting sore nanti. Pak Revano memberi pekerjaan yang berkali-kali lipat lebih berat untuk semua marketing. Dia mewajibkan setiap pagi marketing harus merencanakan nama-nama calon nasabah yang bisa diprospek, menjelaskan potensi-potensi calon nasabah dan kemungkinannya untuk bisa menjalin hubungan dengan bank. Dan di sore hari, dia akan menagih pekerjaan kami. Targetnya seratus persen dari calon nasabah harus bisa menjadi nasabah. Malah kalau bisa dua ratus persen. Seperti yang kubanyangkan, tipe orang seperti Pak Revano ini hanya bisa ngomong koar-koar. Tapi coba deh kalau dia yang terjun langsung jadi marketing, jangankan bisa target, cari calon nasabah baru aja aku jamin pasti nggak bisa dilakukannya. Jam tanganku sudah menunjukan sepuluh menit lagi menuju jam lima sore. Aku mendesah kesal. Kenyataan yang terjadi di lapangan hari ini adalah aku sama sekali tidak mendapatkan satupun calon nasabah baru. Bagiku hal seperti itu sudah biasa. Ibarat orang berdagang, ada harinya sepi dan ada kalanya juga ramai. Nah, pekerjaan sebagai marketing juga seperti itu. Mana ada orang yang tiap hari mau buka tabungan? Taruhan deh, mau pengusaha kaya sekalipun pasti nggak mau uangnya semua disimpan di satu bank. Aku melirik sekelilingku yang mendadak ramai. Biasanya waktu Pak Awan masih menjadi Pimpinan Cabang, jam segini di lantai dua sudah sepi. Anak-anak marketing sudah pulang meninggalkan tim operation yang masih sibuk dengan pekerjaan mereka. Pak Awan orangnya asyik, enggak kaku seperti Pak Revano. Asal target bulanan sudah tercapai, dia nggak masalah jika karyawannya ke kantor cuma buat absen dan setor muka. Aneh, kenapa sih Pak Awan mendadak dimutasi dan ditukar dengan bos baru macam gini? "Laporan lo sudah beres?" Mbak Lana menarik kursi di sebelahku dan menyimpan tasnya di meja. "Hampir," jawabku singkat. "Sini biar rekap jadi satu. Tinggal tunggu Marsha lagi," katanya. "Loh Marsha enggak sama Alex?" tanyaku. "Hari ini Marsa kebagian prospek sama Pak Bos," Mbak Lana berbisik di telingaku. "Ada ya pakai jadwal gitu. Ih malas banget kalau kena giliran," kataku sinis. "Yang lain malah lomba-lomba pengen bareng dia. Kok lo ogah sih." Mbak Lana terkikik. Bagaimana bisa aku berbaik hati menerima bos baru itu. Di hari pertamanya bekerja saja sudah mempermalukan aku berkali-kali. "Tuh yang diomongin datang," bisik Mbak Lana lagi sambil menyalakan komputernya. Aku menarik napas panjang. "Team, lima belas menit lagi kita kumpul di ruangan saya," katanya sambil berlalu dan kemudian masuk ke ruangannya. Marsha yang tadi mengekori langkah Pak Revano kemudian berbelok dan duduk di sebelah Mbak Lana. "Cerah amat wajah lo," sindir Mbak Lana. Marsha nyengir dan mengeluarkan selembar kertas yang berisi laporan hariannya. "Pak Revano tuh bos paling baik yang pernah aku kenal," cetusnya dengan wajah sumringah. Aku mendelik dan menoleh ke arah Mbak Lana. "Baik sih baik, sini cepatan laporan lo. Keburu meeting nih," sahut Mbak Lana. Marketing paling genit di kantor inipun meyerahkan laporannya. Mbak Lana sebagai Team Leader Funding bertugas memastikan pekerjaan bawahannya beres sebelum menyerahkannya kepada Pimpinan Cabang. "Rea, gue nyontek laporan lo." Kepala Alex muncul dari balik kubikel. "Hush! Lo pikir lagi ujian apa?!" hardik Mbak Lana. Aku terkikik dan pura-pura tidak mendengar permintaannya. Lagipula apanya yang mau dicontek, dia  kan, marketing landing. "Sudah jam lima. Buruan kita ke ruangan Pak Bos," perintah Mbak Lana. Selain kaku, Pak Revano juga orang yang sangat tepat waktu. Tidak ada sedetikpun waktu yang akan disia-siakannya. Aku mengekori langkah Mbak Lana menuju ruangan Pak Revano. Hawa ketidaknyamanan mulai merasukiku, apalagi setelah duduk dan bertatapan mata dengannya. "Baik selamat sore semuanya. Kita langsung mulai aja ya. Dimulai dari Lana, gimana pencapaian anak buahmu hari ini?" Tanpa basa-basi dia memulai meeting-nya. Aku meremas-remas rokku, berharap tidak ditanya macam-macam olehnya. "Sore juga Pak. Hari ini pencapaian team funding di atas rata-rata. Hampir semuanya target, kecuali Marsha yang katanya menemani Bapak tadi." "Iya dia menemani saya bertemu pemilik PT Angkasa yang katanya mau payroll dengan kita." Pak Revano memotong pembicaraan Mbak Lana. "Silahkan marketing-nya sendiri yang menjelaskan," lanjutnya sambil matanya menatap ke arahku. Artinya giliranku yang berbicara. "Sore Pak. Seperti yang tadi pagi saya jabarkan, ada sepuluh orang calon nasabah yang saya prospek hari ini. Semuanya memiliki peluang besar di bank kita." Aku berhenti sesaat dan menarik napas panjang. Tatapan tajam mata Pak Revano mau tidak mau membuatku salah tingkah. "Yang pertama pemilik toko bangunan Arta Bangunan. Sebenarnya anak-anaknya sudah menjadi nasabah kita. Tadi dia berminat dengan salah satu produk tabungan yang saya tawarkan dan besok akan datang ke kantor," lanjutku. Aku terus menjelaskan calon nasabah rekaanku sampai pada urutan ke sepuluh. Bola mata Pak Revano sesekali berputar, seperti sedang mencerna perkataaku. Duh, jangan sampai dia sadar kalau aku sedang membohonginya. "Coba ulangi calon nasabah yang terakhir kamu sebutkan," ucapnya tiba-tiba. "Putri pemilik D'Lounge Cafe, Pak. Dia berminat mendepositokan dananya," sahutku dengan berdebar. "Besok atur jadwal bertemu dengannya. Saya temani kamu prospek," ucapnya tegas. Aku menelan ludah dengan susah payah. Sial! Biarpun putri pemilik D'Lounge Cafe yang kumaksud adalah kakak iparku sendiri. Tapi aku seratus persen yakin Mbak Gladys sama sekali nggak  berminat dengan produk perbankan. Seumur aku bekerja di bank, secuilpun dia tidak pernah berminat dengan rayuanku. Aku tidak mendengar dengan cermat lagi pembicaraan di meeting kali ini. Aku hanya mendengar dia menyebutkan nama marketing satu persatu dan meminta menjelaskan hasil prospeknya. Pikiranku bercabang memikirkan nasibku besok. Inilah akibatnya jika kebanyakan bohong. Yang terakhir dia menyebut nama Mas Radit, collection kredit yang kebetulan bisa ikut meeting karena biasanya lebih banyak berada di lapangan. Tunggu...sepertinya ada yang tidak beres di meeting kali ini. Pak Revano bisa dengan mudahnya menyebut nama semua marketing tanpa ada kesalahan nama. Tapi...rasanya dari tadi dia sama sekali tidak menyebut namaku. Apa dia belum tahu namaku? "Meeting sore ini selesai. Jangan lupa persiapkan diri buat besok. Semangat ya, team!" Dia menutup meeting-nya. Aku beranjak dari dudukku dengan buru-buru. Aku harus cepat pulang hari ini. "Eh...kamu!" Aku menoleh mencari sumber suara. Siapa sih yang dipanggil. "Iya, kamu." Suara itu semakin jelas di telingaku. "Ingat, jangan lupa atur jadwalnya!" Pak Revano berdiri tepat di belakangku. "Maaf, apa Bapak nggak tahu nama saya?"(*)

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

THE DISTANCE ( Indonesia )

read
579.8K
bc

Bukan Cinta Pertama

read
52.2K
bc

Kamu Yang Minta (Dokter-CEO)

read
292.7K
bc

Mentari Tak Harus Bersinar (Dokter-Dokter)

read
54.1K
bc

Dua Cincin CEO

read
231.3K
bc

Married By Accident

read
224.1K
bc

FORCED LOVE (INDONESIA)

read
598.7K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook