bc

Ketika CEO Jatuh Cinta

book_age18+
8.3K
FOLLOW
66.7K
READ
billionaire
possessive
powerful
CEO
bxg
office/work place
realistic earth
betrayal
childhood crush
like
intro-logo
Blurb

Semua berawal dari permainan Truth or Dare yang dilakukannya bersama teman-temannya di sebuah klub, Alaina Clarissa wanita berusia 25 tahun ditantang untuk mencium secara acak pria yang ada di tempat itu dengan mata tertutup. Itu adalah kesialan baginya yang sudah memiliki tunangan.

Langit Permana Bierhoff, seorang CEO tampan berusia 30 tahun secara tidak sengaja berciuman dengan seorang wanita dengan mata tertutup sapu tangan dan dia menyukainya. Keberuntungan berpihak padanya ketika diketahui bahwa wanita itu adalah salah satu karyawan baru di perusahaannya. Dan Langit tidak menyia-nyiakan hal itu. Dia ingin wanita itu membayar kelakuannya yang membuat dirinya tidak bisa tidur setiap malam.

Bagaimana nasib Alaina? Rencana apa yang akan dilakukan Langit untuk Alaina?

(Rating 18+)

sampul cerita : Instagram @leonidas_design69

chap-preview
Free preview
Perpisahan
Mobil minivan itu dipenuhi dua kepala keluarga yang terdiri dari dua orang pria, dua orang wanita dan dua orang anak kecil—anak lelaki berusia 10 tahun dan anak perempuan berusia 5 tahun. Mereka sedang dalam perjalanan menuju suatu tempat. “Alan, harusnya kalian enggak perlu repot antar kami ke Bandara.” Ucap pria berwajah Indo yang duduk di kursi penumpang di sebelah temannya yang bernama Alan yang sedang menyetir. Alan tertawa. “Enggak apa-apa, Permana,” kemudian matanya tertuju pada kaca penumpang. Istrinya dan istrinya Permana sedang berbicara dan anak mereka diapit oleh keduanya. “Ina tuh semalam bilang katanya mau antar anakmu ke bandara.” Permana tertawa. Dia menoleh dan mendapati putranya sedang menonton sebuah video bersama dengan Ina. Putranya itu merangkul Ina. Separuh badan Ina duduk di pangkuannya. Permana menggeleng pelan. Alan yang tahu terkekeh. “Makanya, buat anak lagi.”  Ledeknya kemudian tertawa. “Biar anakmu ada teman main di rumah.” Permana berdehem. “Kami sudah berusaha tapi belum dapat.” “Usahanya yang keras.” Kata Alan masih terbahak dengan ucapannya itu. pikirannya mulai melantur yang membuat Permana menggeleng pelan. Mereka sering mendapati putranya Permana memeluk Ina bahkan menggendong Ina dipunggung. Pernah suatu kali Permana menanyakan pada putranya mengapa memperlakukan Ina seperti itu? dengan entengnya putranya menjawab bahwa dia menyayangi Ina. Permana berpikir bahwa sayang putranya pada Ina sebagai adik dan kakak. Mereka memaklumi hal itu. Langit memeluk Ina. Dia sebenarnya tidak ingin berpisah dengan Ina. Dia akhirnya mendudukkan Ina di pangkuannya sedangkan gadis kecil itu sibuk menonton kartun Tom And Jerry kesukaannya melalui ponsel milik Langit. Ibunya dan Ibunya Ina sedang sibuk mengobrol begitu juga Ayahnya dan Ayah Ina. Beberapa hari lalu Ayahnya diminta Kakek untuk pulang ke Los Angeles karena kesehatan Kakek yang menurun. Kata Ayahnya, Kakek meminta mereka menetap di Los Angeles. Ada beberapa hal yang harus Ayahnya urus di Long Angeles terkait bisnis mereka.   Pikiran Langit lalu tertuju pada Ina. Gadis imut nan lucu yang sudah menarik perhatiannya. Dia mengenal Ina sejak Ina berusia beberapa hari atau dapat dikatakan sejak Ina lahir. Ayahnya dan Ayahnya Ina adalah sahabat karib. Mereka sering berkunjung saat akhir pekan tiba, mengajak jalan-jalan keluarga ke pusat hiburan  atau sekedar pesta kebun di halaman belakang rumah. “Ina,” bisik Langit yang ditanggapi gadis kecil itu dengan lirikan. “Ina enggak kangen kalau aku pergi?” “Enggak.” Jawab Ina lugu. Alis Langit bertaut mendengar kata itu. “Kenapa?” Mata Ina masih fokus pada layar ponsel sembari berkata, “kan Kakak balik lagi.” Langit menelan ludah mendengar itu. Ina masih kecil, batinnya. Ina tidak tahu bahwa dia tidak akan pulang lagi ke rumah itu. Dia akan menetap di luar negeri. Rumah itu sudah kosong karena barang-barang sudah dikirim terlebih dahulu menggunakan pengiriman khusus ke Los Angeles. Demi merayu Langit agar mau pindah, kedua orang tuanya melakukan liburan ke Paris lalu setelah itu ke Los Angeles. Langit hanya mengangguk. Kedua orang tuanya adalah pebisnis dan dia mesti mengikuti ke manapun mereka pergi. Langit baru berusia 10 tahun namun pikirannya melebihi usianya. Saat anak seusianya masih senang bermain layang-layang, kelereng atau bermain playstation, Langit menghabiskan waktunya membaca buku. Buku yang ada di perpustakaan mini Ayahnya menjadi sasarannya. Semua buku Ayahnya dibacanya. Permana dengan senang hati mendampingi Langit membaca, jika suatu waktu putranya itu tidak tahu apa makna sebuah kalimat atau kata yang dibaca, dia akan memberitahukannya. Langit menunduk lalu menghirup aroma rambut Ina. Wangi stroberi. Dia menyayangi Ina. Sebelumnya dia membayangkan akan tumbuh besar bersama Ina dan ketika mereka sama-sama dewasa, dia akan melamar Ina dan menikahinya. Pikiran itu muncul ketika dia membaca dongeng klasik mengenai pangeran dan putri. Dia senang akhir yang bahagia. Langit tidak mengatakan apapun lagi. Dia tidak ingin memberitahukan pada Ina bahwa dia tidak akan kembali. Dia tidak ingin Ina kecewa atau lebih parahnya menangis. Atau mungkin Ina tidak peduli? Pikiran terakhir itu membuat Langit cemberut. Jalan pikiran Ina tidak mudah ditebak. Langit menghela nafas pelan. Ina masih sangat kecil, jadi mungkin jalan pikirannya memang seperti itu. Batinnya. “Mama,” Ina memanggil Mamanya. Mamanya yang sedang menerima telepon hanya bisa menunduk. Bertanya melalui mata. “Lapar.” Sambung Ina. “Oke, sebentar …” Mamanya Ina berkata pada si penelepon kemudian dia menjauhkan telepon lalu berkata pada anaknya, “tadi Mama buatkan Ina roti lapis. Coba Langit, ambil di tas itu. Mama terima telepon dulu.” Mamanya Ina menunjuk tas kecil yang ada di ujung kakinya Langit lalu kembali menelepon. Langit mengangguk. Dia berusaha mengulurkan tangannya sementara Ina masih ada dipangkuannya sedang cemberut. Tangan langit tidak dapat menjangkau tas tersebut karena terhalang oleh Ina dipangkuannya. Sedangkan dia tidak ingin Ina duduk sendiri dan terhimpit mereka berempat. Dia melirik Mamanya, “Ma, tolong, Ma.” Mamanya yang sedang mengetik sesuatu di ponselnya mengalihkan pandangan pada anaknya. “Kenapa, Nak?” Langit menunjuk tas merah muda bergambar boneka Barbie. “Ambil tas Barbie.” Jawab Langit menunjuk tas Ina. “Oke.” Kata Mamanya. Dia mengambil tas tersebut lalu membuka isinya. “Langit mau ambil apa?” “Roti, Ma. Ada ‘kan?” Mamanya mengangguk. Dia mengeluarkan kotak berwarna merah muda kemudian membukanya. Matanya memerhatikan Ina yang sudah siap membuka mulutnya lebar. “Ina lapar?” Tanya Mamanya Langit. Ina mengangguk. Mamanya Langit hendak menyuapkan Ina roti tetapi dicegah Langit. “Aku saja, Ma.” Katanya lalu mengambil roti tersebut. Dia memerhatikan putranya yang dengan telaten menyuapkan Ina roti lapis blueberry. Alisnya berkerut melihat perlakukan Langit pada Ina. Perlahan, dia menepuk bahu Permana dari belakang. Pria itu menoleh lalu dia melihat istrinya memberikan kode untuk melihat putranya. Permana dapat melihat betapa Langit sangat memuja Ina. Ketika dia hendak membuka suara, istrinya menggeleng. akhirnya dia hanya menghela nafas kembali memusatkan perhatiannya pada jalan. Mamanya Langit mengulurkan tangannya lalu mengusap kepala Ina dan langit bergantian. Dia tahu bahwa Langit menaruh hati pada Ina. Itu adalah hal yang wajar menurutnya. Dia yakin, saat dewasa, putranya akan melupakan semua hal ini. Mereka akan tinggal jauh dan Langit akan mendapatkan teman baru. Pada saat itu, dia yakin Langit sudah lupa pada Ina. *** Langit duduk di samping Ina. Mereka berenam ada di bandara. Di tempat tunggu. Mata Ina menatap takjub bandara itu. Besar dan banyak sekali orang berlalu lalang. “Ada pesawatnya?” Tanya Ina yang diangguki Langit. “Besar.” Langit mengatakan itu dengan merentangkan tangan kirinya ke samping. Teringat sesuatu, Langit mengeluarkan sesuatu dari dalam kantungnya. Sebuah gelang terbuat dari benang yang dianyam menjadi satu berwarna merah muda dengan  inisial nama L&I terbuat dari perak sebagai bandulnya. Langit berdiri kemudian berjongkok di hadapan Ina yang masih duduk di kursi. Kaki kecil Ina bergoyang maju-mundur. “Buat Ina.” Ucap Langit mengulurkan benda itu pada Ina. Langit hanya berharap, Ina mau menerimanya sebagai kenang-kenangan. Ina anak yang sulit ditebak menurut Langit. Ina masih kecil, pikirnya mengihubur hatinya yang sepertinya sedang  tidak baik-baik saja. Bibir Ina mengembang melihat benda yang ada ditelapak tangan Langit. Warna merah muda yang menyala itu membuat Ina suka. Ina meraih gelang itu lalu diperhatikannya. “Ini apa?” tanyanya bingung. Langit mengambil pelan gelang itu dari tangan Ina lalu meraih pergelangan tangan Ina yang mungil. “Ini gelang. Ini cara pakainya.” Ucapnya lalu menyematkan gelang itu di pergelangan tangan kanan Ina. Kulit Ina yang putih begitu cocok dengan gelang merah muda tersebut. Langit mengangguk bangga pada hasil karyanya. “Yeay!” Ina berseru senang. Dia memerhatikan gelang itu lalu menggoyangkannya. Langit senang melihat Ina memakai gelang itu. “Jangan Ina buang, ya. Aku susah buatnya.” Ucap Langit mengingatkan Ina. Ina hanya mengangguk masih memerhatikan gelang merah muda itu. Tanpa Langit sadari, para orang tua memerhatikan mereka berdua. Mereka berpikir sama yaitu: ‘pertemanan mereka tidak wajar.’ Tetapi para Ayah hanya diam. Tidak dengan para Mama. Mamanya Langit mengeluarkan ponselnya lalu mengetikkan sesuatu di ponsel. Kia, Setelah kami pergi, tolong lepas gelang itu dari tangan Ina. Mamanya Ina yang merasa ponselnya bergetar dari tas tangannya segera mengeluarkan ponselnya. Dia membaca pesan dari Mamanya Langit. Matanya kemudian menatap sahabatnya itu  bingung. Segera dia membalas pesan itu. Aku enggak tega, Rani. Ina suka gelangnya. Benar, dia tidak tega melihat Ina yang begitu senang mendapatkan gelang dari Langit. Dia kemudian menatap sahabatnya tersebut. Dia dan Rani—Mamanya Langit—adalah sahabat sejak duduk di bangku sekolah menengah atas. Mereka bertemu Alan dan Permana saat kuliah. Sejak saat itu, mereka berempat seperti sahabat bukan seperti pasangan pada umumnya. Dia tahu bahwa Rani khawatir pada perkembangan putranya yang dewasa belum waktunya. Perlahan dia menghela nafas lalu tersenyum. Dia mengetik pesan lagi. Akan aku usahakan, Ran. Aku enggak janji. Ya, dia tidak bisa berjanji mengenai suatu hal. Dia hanya bisa berusaha untuk menepati janji tersebut. Dia akan melakukan caranya nanti. Pemberitahuan melalui pengeras suara bahwa pesawat menuju Paris sudah siap membuat mereka menghentikan aktifitas masing-masing. Permana memeluk Alan. Membisikkan kata terima kasih. Alan mengangguk. Dia hanya menepuk bahu Permana berulang kali.  Rani menghampiri Kia lalu memeluknya juga. “Hati-Hati, Ran.” Bisik Kia pada sahabatnya itu. Rani tertawa. Dia membendung tangisnya. Mereka seperti saudara yang tidak dapat terpisahkan namun akhirnya harus berpisah. “Aku merasa kita enggak akan bisa lagi ketemu.” Bisik Rani. Kia mempererat pelukannya. Dia pun merasakan hal itu. “Masih ada panggilan vidio. Masih bisa telepon.” Dia menghibur Rani. Rani hanya mengangguk. Langit menatap Ina yang sibuk pada gelang barunya. Langit masih berjongkok di hadapan Ina. Tangannya terulur lalu mengusap kepala Ina. “Kalau Kakak bilang Kakak enggak balik lagi, Ina marah?” Mendengar itu Ina mendongak. “Enggak boleh.” Ina cemberut. Matanya sudah mulai berkaca-kaca. Langit merentangkan tangannya. “Kakak mau peluk Ina, boleh?” Ina mengangguk lalu memeluk Langit. Hari ini, sudah beberapa kali dia memeluk Ina. Hari ini adalah pertama kalinya dia berani melakukan itu di hadapan kedua orangtuanya. Berani memangku Ina pula. Sebelumnya, dia hanya menggendong Ina di punggung atau menggandeng tangan Ina saat mereka berjalan-jalan di sekitar perumahan berdua atau bersama teman-teman tetangganya. “Kakak janji, Kakak pulang lagi jemput Ina. Terus kita jalan-jalan ke Amerika naik pesawat. Ina jangan lupakan Kakak, ya?” Ina masih kecil, pikir Langit. Hari ini pun dia mengucapkan kalimat itu berulang kali pula. Ina terkikik geli dalam pelukan Langit. Langit tertawa pelan. Dia menepuk punggung kecil Ina. Langit tidak dapat berkata lagi. “Langit, ayo, Nak.” Panggilan dari Mamanya membuat Langit mau tidak mau melepaskan diri dari pelukan itu. Dia tersenyum menatap Ina yang tersenyum lebar. Langit paham, Ina tidak akan mengingat siapa dia kelak. Dia hanya berdoa, dia tidak melupakan Ina. Dia berjanji dalam hati bahwa dia akan kembali lagi ke Indonesia untuk menemui Ina. Saat itu tiba, yang dia lakukan adalah giat belajar agar dapat memiliki uang banyak. ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dosen Killer itu Suamiku

read
311.1K
bc

Mendadak Jadi Istri CEO

read
1.6M
bc

My Hot Boss (Indonesia)

read
660.9K
bc

My Husband My Step Brother

read
54.8K
bc

Penjara Hati Sang CEO

read
7.1M
bc

Beautiful Madness (Indonesia)

read
221.3K
bc

Pengantin Pengganti

read
1.4M

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook