Gia menggenggam tangan ayahnya erat-erat. “Pa…” suaranya lirih. “Rasanya semua bebanku hilang di sini.” Farid ikut menatap Ka'bah dengan mata berkaca. “Itu tandanya Allah masih sayang sama kamu, nak. Lepaskan semua yang menyakitkan, biarkan hatimu kosong, biar Allah yang isi.” Gia mengangguk, lalu memejamkan mata. Dalam doanya, ia menyebut nama Romy — bukan dengan amarah, tapi dengan ketulusan. “Ya Allah… jika dia memang bukan jodohku, aku ikhlaskan. Tapi jika Kau masih menyimpan takdir di antara kami, maka pertemukan kami dalam keadaan yang lebih baik.” Hatinya terasa ringan. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Gia merasa damai. Sementara itu, di dunia yang sama namun negara yang berbeda, Romy sedang mendorong gerobak fried chicken miliknya di pinggir jalan. Cuaca panas, keri

