Bab 3

2018 Words
Entah harus mulai dari mana, Hasan pikir apa yang akan dikatakan olehnya tidak akan diterima oleh Risa. Sebab, sesuatu itu bukan tidak lain adalah sebuah paksaan bagi Risa, yang tidak tahu apa-apa tentang kakek buyut pendahulunya. Ditambah adanya ancaman yang sangat konyol dan menyudutkan dirinya, siapa pun akan mengira hal itu adalah kekonyolan yang patut dicurigai. Semua itu berawal semenjak enam ratus tahun lalu, berdasarkan waktu ke waktu keturunan Harjusono, pelayan bangsawan, harus mengabdikan diri kepada keluarga Atmawijaya sampai pada keturunan terakhir, tanpa terkecuali. Mereka memang ditakdirkan untuk melayani Bangsawan Atmawijaya seperti, menjaga rahasia adalah hal mutlak. Ketika Harjusono mengetahui rahasia besar tuannya, dia menjadi bisu, telinganya tidak bisa mendengar, bahkan matanya menjadi buta saat dia berada di dalam maupun di luar kediaman Atmawijaya. Risa hanyalah keturunan kesekian yang tidak tahu menahu soal perjanjian atau kontrak di wasiat tersebut, tetapi dia terikat di dalamnya sebab dia masih satu keturunan dengan pelayan yang disebutkan. "Argh ...!" geram Risa seraya meremas-remas rambutnya. Dia tidak habis pikir mengapa ada sesuatu semacam itu, sesuatu yang tanpa dia sadari telah mengikat hidupnya untuk sebuah pengabdian, kepada keluarga yang tidak Risa ketahui. "Biarkan aku bertemu dengan Mbah Harjusono ...!" Kalau bisa, Risa akan meminta Harjusono mengubah salah satu wasiat yang ada, membiarkan hidupnya menjadi miliknya seorang. Sekarang, kepada siapa Risa harus meminta? Kepada siapa dia harus meminta bantuan untuk bebas dari jerat wasiat terebut? ••• "Kamu gila, ya? Kenapa nggak langsung menandatangani wasiatnya? Ris, kita bisa tinggal di rumah yang lebih layak!" seru seorang laki-laki yang baru saja pulang dari kegiatan rutinnya. "Dasar gila!" geram Monica sembari memukul punggung Rendi. Monica saja tidak bisa berpikir jernih, mengapa ada wasiat semacam itu, tetapi Rendi dengan mudahnya mengatakan hal demikian. Lelaki itu menemukan Risa dalam keadaan kacau, rambut berantakan dan kelaparan. Beruntung dia membeli martabak dan Risa bisa menjelaskan tentang berkas-berkas yang ada di meja ruang tamu. Namun, saat telinganya mendengar jika Risa menolak isi wasiat tersebut, lelaki bernama Rendi Fahrizal itu menjadi jengkel. Bagaimana tidak, mereka bisa pindah ke rumah yang sangat luas alih-alih sebuah kontrakan dengan dua kamar. Di lain sisi, seseorang mendengar obrolan mereka melalui sambungan telepon. Dia duduk di kursi yang terletak di balkon, sementara ponselnya berada dalam genggaman. "Ren, masalahnya aku harus menjadi pelayan! Siapa? Bangsawan Atmawijaya? Aku nggak tahu mereka!" sungut Risa terdengar melalui telepon genggam yang baru saja diletakkan di atas meja. Di dekatnya terdapat secangkir teh hangat yang masih mengepul. Orang itu, Danu menyesap tehnya, masih mendengarkan ocehan Risa yang tidak terima dengan isi wasiat tersebut. "Awas saja. Kalau sampai ketemu orang itu, aku bakal menuntut!" Reaksi berlebihan Risa sudah diperkirakan oleh Danu. Bahkan pria itu yakin jika Risa akan mencoba segala cara untuk menyelamatkan hidupnya. Dia lantas menutup sambungan telepon, membiarkan sisanya untuk diurus oleh dirinya yang lain. Risa marah, dia kesal. Ingin mengamuk kepada Harjusono yang membuat hidupnya bukan menjadi miliknya lagi. Rasa ingin menghancurkan Bangsawan Atmawijaya begitu besar. Di jaman maju seperti sekarang, mereka menginginkan pelayan, bukan pembantu rumah tangga. Gila! Memangnya tahun berapa sekarang ini? Risa adalah pegawai kantoran biasa, dia memegang jabatan sebagai editor di sebuah majalah harian ternama cabang Lampung. Jabatannya sangat tinggi, mengingat perjuangannya selama ini menjadi asisten editor yang sering menderita. Datangnya wasiat konyol kemarin membuat perempuan beralis tebal itu datang dengan wajah cemberut, perasaan buruk dan sensitif. Dia beberapa kali membuat rekan-rekannya kaget, sebab nada bicaranya terdengar ketus, tidak seperti biasanya. "Kamu kenapa sih, Ris? Kayaknya ada sesuatu yang mengganggumu." pria di sebelahnya menyeruput kopi. "Iya, aku sedang pusing. Sangat-sangat pusing!" "Kamu juga marah." "Gimana enggak? Aku tiba-tiba mendapat wasiat bodoh yang mempertaruhkan hidupku di dalamnya!" Suaranya meninggi. Dia tidak bisa menjaga perihal wasiat sebagai rahasia seperti ucapannya sebelum berangkat ke kantor. "Wasiat apa? Orangtuamu udah nggak ada sejak tujuh tahun lalu, kamu baru tahu ada wasiat?" "Nggak segampang itu, Bay." Risa memijat pelipisnya, membuat pria bernama Bayu mengernyitkan kening. Risa tidak tahu apakah menceritakan masalahnya kepada Bayu akan membuahkan hasil, tetapi dia sudah keceplosan sebelumnya dan Bayu adalah seseorang yang cukup penting untuk mengetahui beberapa rahasia yang Risa miliki. "Lalu ... apa kamu menerimanya, Ris?" "Sebisa mungkin aku harus menolaknya, tapi aku nggak tahu gimana caranya." Bayu memandang Risa yang cukup frustrasi di sebelahnya, memberikan tepukan di bahu untuk membuat wanita itu merasa lebih baik. Dia tidak bisa membantu sebab dirinya kurang tahu soal hukum. Dia juga tidak mempunyai kenalan yang bisa membantu Risa untuk mengurus soal wasiat. "Sampai mati aku mengutuk Keluarga Atmawijaya—" di sela-sela Risa mengutuk, dia sontak menatap Bayu saat menyebut nama yang mengingatkannya kepada pria berhidung mancung itu. "Bayu Atmawijaya? Atmawijaya? Jangan-jangan kamu keturunan keluarga yang dimaksud, 'kan?" Bayu menghela napas. "Ris, Jangan bicara yang enggak-enggak. Memangnya orangtuaku kaya?" Risa menggeleng. Dia benar-benar sudah dibuat gila dengan semuanya. Belum cukup hidupnya dibuat miskin, sekarang dia harus mengabdikan hidup kepada orang lain. Mungkin jika itu adalah keinginannya, Risa tidak akan bersikap seperti dirinya akan berakhir menyesal, tetapi apa yang menimpanya sudah tertulis seperti takdir yang tidak bisa diubah. "Masa bodoh dengan ancaman itu. Aku nggak percaya. Aku akan mencari pengacara handal yang bisa membebaskanku dari situasi ini." "Bahkan jika tabunganmu habis?" Risa diam sejenak sebelum menjawab pertanyaan Bayu, memikirkan apakah dia bisa merelakan tabungannya habis untuk membayar pengacara. "Iya. Demi hidupku sendiri." Keesokan harinya, Risa mengambil cuti untuk pertama kali dalam setahun kerja. Dia berencana mengunjungi firma hukum yang terkenal selalu memenangkan kasus. Namun, dia sendiri tidak tahu pastinya kasus seperti apa yang menimpanya. Gedung firma yang terletak di Kota Bandar Lampung menjadi tujuan utama Risa. Atasannya bilang dia akan menemukan pengacara yang bisa membantunya tanpa kendala. Namun, saat dia konsultasi atas masalah yang sedang dihadapinya, pengacara muda itu tampak tidak begitu tertarik dengan kasus Risa. "Permisi, Pak Pengacara," sela Risa setelah tidak mendapati respon dari pengacara di depannya. Dia menghela napas sebelum berkata, "jadi, apakah anda bisa membantu saya?" "Maaf sekali, saya tidak bisa. Bayaran kasus seperti itu sangat murah." jawaban tersebut membuat Risa menganga dan kehilangan kata-kata. Bagaimana bisa pengacara mengatakan sesuatu seperti itu? "Saya akan membayar mahal jika anda bisa membebaskan saya dari wasiat tersebut!" "Tidak bisa," tegasnya lagi. "Lagi pula wasiat itu bukan sesuatu yang merugikan. Rugi sekali jika anda menolaknya." "Jadi, anda tidak bisa membantu saya, begitu?" tanya Risa sekali lagi dan diberi anggukan oleh pengacara tersebut. "Kalau begitu saya permisi." Selama hampir satu jam waktunya terbuang sia-sia. Risa begitu jengkel bertemu dengan pengacara yang tidak kompeten, memilih-milih kasus berdasarkan bayarannya. Sekarang dia bertanya-tanya, apakah semua pengacara memang seperti itu? Firma hukum kedua tidak jauh beda hasilnya. Risa keluar setelah berbincang selama tiga puluh menit. Dengan alasan sama, tidak menerima kasus yang berpendapatan rendah. Si pengacara bahkan menyuruh Risa untuk menerima wasiat itu tanpa melakukan hal-hal aneh. "Sial sekali hari ini. Mereka semua Pengacara yang buruk. Aku heran kenapa Pak Gusti merekomendasikan mereka padaku." Risa duduk di bangku trotoar sembari menyeruput jus jeruk yang barusan dia beli. Sembari mengatur napas, Risa memicingkan mata ke atas seberang jalan. Di ujung penyeberangan, seorang pria berdiri tengah menatapnya dengan sorot tajam. Pria itu memakai pakaian Kanigaran khas Jawa, atasan yang terbuat dari kain beludru hitam dengan hiasan bros berantai yang menggelambir ke samping, sementara kain jarik berwarna coklat menjadi penutup bagian bawah tubuhnya. "Pria dari Keraton mana itu?" gumam Risa heran. Di cuaca sepanas ini, seorang pria memakai pakaian khas Jawa, lengkap dengan blangkon. Warna bajunya amat kontras dengan matahari, sehingga bisa Risa bayangkan betapa panas dan gerahnya pria itu. Tak menghiraukan pria yang masih terpaku padanya, Risa mengalihkan pandangan mencari tujuan selanjutnya. Dia tidak ingin berpikiran buruk tentang pria yang menatapnya dari kejauhan, mungkin saja kebetulan dia sedang menghadap kearahku, 'kan? Dari cara Risa memandangnya, pria itu jelas tahu apa yang sedang dipikirkan Risa. Wanita itu pasti sedang curiga mengapa dirinya terus menerus memandang Risa dari ujung penyeberangan. "Dia berusaha sangat keras," gumam pria tersebut. Namun, sayang sekali. Sekeras apapun usaha wanita itu, dia tidak akan pernah mendapatkan apa yang dia mau. "Kemana lagi, ya? Hari ini aku harus mendapatkan Pengacara." Risa beranjak dari duduknya. Namun, baru selangkah dia maju, seorang anak berlari dan menabraknya hingga terjatuh. Jus jeruk yang tinggal setengah gelas itu tumpah mengenai kemeja putih yang dia pakai. "Ah ... ya ampun! Kenapa sial sekali!" geramnya sembari mengibaskan tangan di bagian baju yang basah. Risa lantas berdiri setelah tak menemukan kemana bocah laki-laki tadi pergi. Anak itu seperti lenyap tanpa jejak, sementara di sekelilingnya tidak ada mobil atau kendaraan lain yang membawa bocah itu. Namun, Risa tidak berpikir lebih jauh, dia kira bocah asing tadi bersembunyi di balik pohon karena takut. Cuti yang Risa ambil rasanya sia-sia. Dua pengacara yang direkomendasikan oleh Pak Gusti tidak bisa membantunya, selain itu dirinya harus terkena sial karena bocah laki-laki dan setengah gelas jus jeruk. "Sepertinya memang benar kamu akan terkena sial jika tidak menerimanya, Ris," celetuk Rendi yang duduk di sebelah Risa seraya menopang dagu. "Jangan sembarangan, Ren." "Bagaimana kalau kamu terima wasiatnya? Toh nggak merugikan juga selama pengabdian yang dimaksud masih berada dalam batas normal." "Memangnya kamu tau apa itu normal?" Rendi mendesah berat. Bagaimanapun, dia ingin Risa menerima wasiat itu dan pindah dari rumah kecil yang sudah mereka tempati selama hampir lima tahun belakangan. "Pokoknya harus diterima. Kamu mau selama sisa hidupmu terus menerus mengalami sial dan tidak adil?" "Ren, mau aku menerimanya atau enggak, dua-duanya nggak adil bagiku! Bayangkan saja, jika aku menerimanya, maka aku harus mengabdikan hidupku. Lantas jika menolaknya, seperti yang kamu bilang, kesialan nggak akan pergi selama aku masih hidup!" "Setidaknya kalau kamu menerima semua itu, kamu nggak akan sial itu yang pertama. Yang kedua, kita bisa tinggal dengan nyaman di sana ...." Rendi tertawa licik setelahnya. Yang dia pikirkan hanya hidup nyaman jika sang kakak mengambil bagian di dalamnya. "Iya, terus saja mengkhayal sampai puas!" seru Risa kemudian membelakangi Rendi yang masih menyeringai. Lelaki itu masih saja membuat Risa jengkel meski beberapa saat yang lalu ucapannya sangat masuk akal. Risa berpeluang memiliki dua keuntungan, yang pertama jaminan hidupnya tidak akan sial, yang kedua dia bisa hidup nyaman di sana. Namun, siapa yang bisa menjamin dia tidak akan kesusahan saat menjadi pelayan nantinya? ••• Malam itu, Risa pikir dia sedang berlibur entah di mana. Dia lupa kapan mengambil cuti dan berangkat berlibur, tiba-tiba saja dia duduk di depan rumah besar yang terletak di atas bukit jauh dari perkotaan, tanpa ingat kapan dia datang ke tempat itu. Halamannya luas dan sepi, terdapat lampu-lampu dengan cahaya kuning di setiap sudutnya. Beberapa pohon tampak berdaun lebat, tetapi rapih dan terawat. Saat Risa perlahan memandang ke arah lain, Risa melihat sosok pria di balkon lantai atas. "Di mana aku pernah melihatnya?" gumamnya pelan dan mencoba mengingat-ingat. Setelah beberapa saat berlalu, pakaian pria tersebut mengingatkannya pada pria yang dia lihat di Bandar Lampung, pria yang berdiri di ujung penyeberangan di siang bolong dengan pakaian adat Jawa-nya. Sekarang, pria bermata kecoklatan itu juga memandangnya seperti kemarin. Tatapannya teduh, tetapi tidak berarti. Tatapan yang membuat orang-orang seperti Risa tidak nyaman. "Permisi! Apakah anda pemilik rumah ini?" tanya Risa dengan suara sedikit lantang. Namun, pria itu tetap bergeming seperti patung. "Permisi, Tuan Muda! Anda mendengar saya, 'kan?" Danu Atmawijaya tetap bergeming pada posisinya, memperhatikan sosok perempuan di bawah sana. Entah darimana dia mendapatkan keyakinan bahwa Risa bisa membantunya atau tidak, Danu menyimpulkan jika Risa akan mengakhiri semua ini. Lantas, di benaknya hanya terpikirkan bahwa Risa yang akan menjadi pisau baginya, dan mengakhiri kehidupan panjang selama ini. Risa melambai-lambaikan tangan, melihat bagaimana reaksi Danu di atas sana yang masih tanpa suara, tanpa balasan. Pria itu hanya mengikuti arah gerakan Risa yang semakin dekat. "Apa-apaan dia? Dia bukan patung, tapi nggak menghiraukan aku. Sombong sekali." Risa berbalik badan hendak pergi. Nggak baik untuk kesehatan jantung jika berurusan dengan orang semacam itu, pikirnya. Akan tetapi baru beberapa langkah Risa ambil, pria di atas berteriak, "Risa Ayudia!" Sesaat setelahnya, tubuh Risa bergerak tanpa dia inginkan. Kakinya melangkah menuju rumah yang beberapa waktu lalu akan dia tinggalkan. Saat matanya memandang ke atas, Danu tersenyum ramah. Bagi Risa melihat senyum ramah miliknya adalah sesuatu yang aneh dan patut dicurigai. "Apa-apaan ini! Aku nggak mau! Berhenti!" teriak Risa dan berusaha bebas, tetapi tubuhnya tetap berjalan masuk setelah pintu rumah itu terbuka dengan sendirinya. "Tidak ...!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD