Surat Wasiat

1518 Words
"Kamu yakin?!" tanya Monica dengan nada tinggi. Mata bulatnya melotot seolah apa yang dia dengar barusan bukanlah sesuatu yang nyata. "Sumpah, aku nggak bohong." Risa kembali menyelam ke dalam waktu yang sudah lewat beberapa jam lalu, ketika dirinya berjalan-jalan dan bertemu dengan seorang pria. "Dia sangat tinggi, hidungnya juga mancung," kata Risa mengingat siluet pria itu dari samping. Dia lalu menyangga kepala. "Bulu matanya juga tebal dan lentik, terasa nggak nyata." Meski demikian, sekeras apapun Risa berusaha mengingat wajah pria itu, dia tidak bisa. Walaupun dia masih mengingat bagaimana bentuk mata, hidung dan bibirnya, dia tetap tidak bisa mengingat utuh wajah pria tersebut. "Kayaknya memang nggak nyata. Kamu pasti mimpi. Ciri-cirinya aja bukan kayak cowok lokal." sanggah Monica tegas. Dia tidak habis pikir, menginap semalam di tempat mahal membuat Risa bermimpi indah. "Sumpah, aku nggak bohong." Setelah wawancaranya dengan pemilik penginapan di Krui Selatan, hari berikutnya adalah hari-hari di mana para karyawan dibuat sibuk menyusun topik beserta lampiran foto. Tenggat waktu adalah hari Jumat, mereka harus menyelesaikannya dan meminta persetujuan wakil pemimpin redaksi sebelum dicetak. Setelah kerja keras mereka selama beberapa minggu, majalah edisi bulan Desember diberi stempel merah, lolos untuk dicetak. Monica yang paling mendesah lega, sebab kali ini dia yang memainkan peranan editor utama untuk kali pertama. Meski beberapa kali harus revisi, dia berhasil menunjukkan hasil dari kerja kerasnya selama hampir satu tahun bekerja sebagai editor pemula di perusahaan tersebut. "Kerja bagus, Ca," kata Risa. Dia memberi tepukan di bahu perempuan itu. "Akhirnya aku bisa melewati kehidupan ini ...." Monica menyenderkan sebagian tubuhnya di meja dalam posisi terlungkup, merasa lega setelah beberapa hari ini dibuat lelah. Risa duduk di belakangnya dengan posisi yang sama. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum mengembuskannya pelan-pelan, menikmati rasa lega ketika beban di pundak atau kepalanya terbang bersama dengan embusan napasnya. "Nanti malam nginap di rumahku, ya?" pinta Risa. Dia ingat jika malam ini adiknya tidak pulang. "Sudah malam Sabtu, ya? Sebenarnya Rendi tuh ngapain sih setiap Jumat malam? Dia punya pekerjaan gelap atau gimana?" "Nggak tau. Dia nggak mau cerita apapun padaku. Dia manusia paling banyak rahasia." "Atau kamu yang nggak perhatian?" sindir Monica. Namun, dia juga tau seperti apa pribadi Rendi. Lelaki itu memang tipikal orang yang gampang berteman dan mempunyai sifat positif, tetapi adik Risa itu tertutup soal kehidupannya. Tepat pukul lima, jam kerja mereka berdua habis. Sebelum pulang, mereka mampir di Warung Mbak Manis seperti yang mereka janjikan sebelumnya. Membeli beberapa lauk untuk makan malam berdua di rumah. Seperti biasa Risa memesan lauk kesukaannya, lele goreng ditambah tempe tahu. Sementara Monica, perempuan itu sedang ingin makan enak. Dia memesan dada ayam goreng. Berbeda dari Risa yang berprinsip jangan memanjakan mulut, Monica lebih suka menghadiahi dirinya dengan makanan setelah dikejar-kejar deadline. Sebab bukan hanya otak yang sengsara, melainkan tenaganya juga yang dia gunakan sampai habis. "Dia nggak jawab telepon," kata Risa sembari meletakkan ponselnya di atas meja. Dia sudah mencoba menghubungi Rendi beberapa kali, tetapi lelaki itu tidak merespon. Kurang ajar sekali. "Kamu nggak penasaran? Gimana kalau ternyata dia jualan barang haram?" Monica melantur seraya mengunyah daging ayam goreng. "Jangan ngaco, deh. Kalau dia jualan barang begitu, kayaknya dia nggak bakal mau tinggal di sini," sahut Risa. Tangannya memotong tahu putih goreng, lalu mencoleknya ke sambal terasi buatan mbak Manis. "Iya juga sih." Mengingat bagaimana inginnya Rendi menjadi orang kaya, memang tidak mungkin jika lelaki itu tetap tinggal di rumah sewa meski pekerjaan kotornya membuat dompetnya bengkak. Namun, Risa pikir kegiatan Rendi setiap Jumat malam bukan untuk sesuatu seperti itu, menjual barang-barang terlarang secara ilegal. Risa harus percaya meski dirinya tidak tahu soal itu. Sehabis makan malam, mereka menonton film melalui laptop. Film bergenre romantis dengan balutan kisah yang menyakitkan adalah kesukaan mereka. Selain bisa membuat mereka terbuai dengan kisahnya, adalah karena mereka belum pernah merasakan kisah romantis selama ini. Sulit dipercaya memang, dua perempuan yang tinggal di kota selama beberapa tahun tidak pernah mengalami masa-masa yang romantis seperti orang-orang. Mereka mempunyai banyak hal yang harus dipikirkan, pun dengan keadaan yang membuat mereka tidak terbuka soal hati dan perasaan. Hidup keduanya sudah terbilang rumit, Risa dan Monica tidak ingin mempersulit hidup dengan menambah genre romantis ke kehidupannya. Sekitar pukul satu siang, Risa dikejutkan dengan ketukan pintu yang lumayan keras. Dia melihat jam di dinding yang membuatnya berseru, "Wah, kami tidur seperti orang mati." Semalam, Risa dan Monica bergadang sampai pukul tiga dinihari, menyelesaikan dua judul film yang membuat mata mereka bengkak hingga kini. Saat kenop pintu diputar dan dibuka, seseorang di luar memandang Risa dengan pandangan bingung dan heran. Wanita di depannya sangat tidak terurus. Rambut acak-acakan, ada jejak air liur di pinggir bibirnya. Hidung pria itu juga mencium aroma yang tidak sedap. Dapat dia lihat jika wanita itu tidak memperhatikan kehidupannya dengan baik. "Maaf, ada apa, ya?" Pria itu menepis semua penilaian buruknya, "Apakah ini rumah Risa Ayudia?" "Benar, saya sendiri. Ada perlu apa, ya?" "Begini ...," pria itu menangguhkan ucapannya, merasa kurang pantas membicarakan sesuatu yang penting di depan pintu. Selain itu, dia juga memerlukan banyak waktu. Lantas, pria berkumis tersebut melanjutkan ucapannya, "bisa kita bicarakan di dalam?" Risa mempersilahkan masuk. Kelihatannya pria berjas abu itu mempunyai rundingan penting. Dan benar saja, apa yang dikatakan pria itu sontak membuat mata Risa melotot lebar. "HAH?" Risa tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya, seperti jantungnya hampir copot. Berkas-berkas pembelian tanah berada di atas meja dan terdapat sebuah pena di atasnya. Keberadaan mereka membuat seorang wanita yang belum membasuh wajah di sana terdiam dengan mulut ternganga. Pandangannya mati, pikirannya kosong atas semua yang telah dia dengar. Tiba-tiba saja di siang bolong saat dirinya sedang tidur, seseorang yang mengaku sebagai pengacara datang bertamu. Pria gemuk berkacamata itu menunjukkan berkas-berkas penting yang isinya membuat wanita itu sadar dari rasa kantuk. Risa bertingkah seperti orang bodoh, menginginkan penjelasan tetapi mulutnya tidak bisa berkata. "Anda tidak salah alamat, 'kan? Ini memang namaku, tapi rasanya tidak mungkin," sergahnya sembari mendorong lembaran berkas di depannya. Pengacara itu menggeleng. "Sama sekali tidak salah. Saya yakin, Risa Ayudia yang dimaksud adalah Anda, bukan siapa-siapa." "Semua ini memang menggiurkan, tetapi tolong pikirkan baik-baik. Kakek dan Nenek saya bukan orang kaya, saya yakin. Jadi, tidak mungkin mereka meninggalkan semua itu untuk saya." "Ini bukan dari Kakek dan Nenek anda," ujar pengacara yang mulai memiliki kebotakan di bagian depan tersebut. "Lalu?" "Saya juga tidak tahu," kata pengacara itu dan sontak membuat Risa bertanya-tanya, "tidak ada keterangan soal pemilik tanah dan bangunan tersebut, tetapi tujuan wasiat ini benar-benar ditujukan kepada anda, Risa Ayudia." Risa tertawa terbahak-bahak. Dia mulai merasa lucu atas semua hal yang sangat aneh dan tidak transparan. Mula-mula dia memang merasa ada kesalahan nama, atau kebetulan namanya sama dengan seseorang yang dulunya tinggal di alamat rumah tersebut. Namun, sekarang dia merasa sedang berada di situasi bahaya, penipuan mengatasnamakan wasiat. Mungkin jika Risa menandatangani berkas tersebut, dia diharuskan membayar dengan nominal besar, dan ternyata bangunan tersebut adalah bangunan sitaan bank karena kebangkrutan. Risa tergelak seraya melipat kedua tangan. "Ini penipuan jenis baru, ya? Saya akan menelpon polisi." "Tunggu sebentar," sergah si pengacara. Dia kemudian mengeluarkan map biru dari dalam tas. "Ini adalah wasiat yang asli, silahkan dilihat." Saat membuka map tersebut, Risa membelalakkan mata. Wasiat itu tertulis di atas kertas usang berwarna kecoklatan terbuat dari kulit kayu, terlihat sangat rapuh. Goresan tinta yang digosok menggunakan batu tertulis rapi di permukaannya. Risa mencondongkan tubuhnya,berniat membaca tulisan tersebut. Namun, huruf-huruf di sana adalah sesuatu yang asing, yang belum pernah dia temukan sebelumnya. "Ini ... bahasa dari negara mana?" Wasiat itu adalah sebuah keajaiban yang tidak masuk akal. Pengacara bernama Hasan Dewantara saja sempat dibuat bertanya-tanya dengan rasa takut di antara pikirannya yang modern. Bagaimana tidak, di saat kakek dan neneknya masih hidup hingga orang tuanya meninggal, ruang bawah tanah miliknya tidak bisa dibuka dengan cara apapun. Alat-alat listrik lainnya dikerahkan, tapi tidak bisa membuat pintu kayu tersebut terbuka. Orang-orang bilang rumahnya berhantu, maka Hasan tidak bisa menjual rumahnya meski dengan harga murah. Namun, beberapa bulan yang lalu pintu itu tiba-tiba terbuka. Dengan cara aneh membuat Hasan masuk tanpa memiliki pikiran apapun termasuk rasa takut. Di dalam sana yang lebarnya melebihi ruang tamu di lantai atas, Hasan menemukan selembar kertas usang dengan aksara yang tidak dia mengerti. "Selama lebih dari satu bulan saya mencari orang yang bisa membaca tulisan ini. Beruntung sekali saya menemukan tetua di salah satu desa yang berada di Yogyakarta. Beliau sempat menjadi sekretaris bangsawan, lantas membantu saya menerjemahkan tulisan ini." "Baiklah, katakan saja isinya sama dengan cetakan versi terbaru yang anda beri. Namun, saya benar-benar tidak bisa menerimanya. Bukan, rasanya memang bukan saya yang dimaksud." Hasan mengerti dengan situasi yang Risa hadapi. Dia sendiri pasti akan bersikap sama, menolak sesuatu yang dirinya sendiri tidak tahu asal usulnya. "Baiklah, saya akan meninggalkan dokumen ini dan anda bisa memikirkannya beberapa waktu ke depan," ujar Hasan sembari mendorong berkas-berkas tersebut. "Untuk apa saya memikirkannya? Saya tidak berhak atas semua ini, Pak!" Hasan mengerti apa yang dirasakan Risa, tetapi dia tidak bisa membiarkan perempuan itu menolak wasiat yang dibawanya. Pelipisnya berkedut, Hasan mengingat sesuatu. Dia kemudian duduk dan berkata, "jika anda menolak apa yang sudah tertulis, seumur hidup anda akan mengalami kemalangan." "APA!" teriak Risa dengan embusan napas keras. Itu bukan hanya sekadar wasiat, tetapi kutukan!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD