Bab 1

1806 Words
Aku menguap sekali lagi—mungkin sudah kali kelimanya dalam sepuluh menit belakangan. Ruang ini masih ramai menandakan rapat belum dimulai. Pak Lurah tadi berpesan kalau beliau terlambat 15 menit pagi ini. Kepalaku terasa berat, ingin bergelung dengan kasur empuk di kamar. Sebuah cangkir kertas diletakkan di depan wajahku yang bersandar di meja rapat, kulirik keatas sekilas, wajah berseri Rama yang menjadi pemandanganku. Aku benci melihatnya! “Begadang bro?” tanyanya selagi menarik kursi kosong di sebelahku. Aku mengangkat kepala, menyeduh sekilas kopi yang dibawakannya. Rasa pahit kopi dan panas langsung membakar lidahku—membuat kesadaranku meningkat. Buru-buru kujulurkan lidah, kebakaran! Rama yang sigap langsung membantuku, ia meletakkan kopi yang ada ditanganku di meja. “Udah tau panas nggak ditiup dulu, gimana sih, nyet?!” omelnya. Aku meringis mengacuhkan omelannya. Jelas-jelas dia yang nggak bilang kalau kopi ini panas! Harusnya dia bilang dulu dong, Sab, awas kopinya panas, kek! Ih dasar menyebalkan. Aku hanya bersungut-sungut tidak berniat untuk membalas. Karena kurang tidur, energiku berkurang. Kalau kupakai untuk bersilat lidah dengan Rama bisa-bisa energiku habis sebelum aku mengantarkan Mbak Ine ke dokter nanti. Melihatku yang masih kebakaran lidah, ia meniupi kopiku sekilas. Aku memberenggut kesal, setelah sesaat ia memberikan kopiku lagi. Ku seduh lagi, tidak terlalu panas, “thanks.” “Lagian ngapain begadang? Nonton bola?” Aku menyeduh lagi kopiku, kali ini agak banyak. Aku membutuhkan aliran kafein untuk meningkatkan kesadaranku. Paling tidak aku harus sadar kan meskipun tidak berenergi. “Nonton drakor.” “Yailah, masih ada waktu ya. Kenapa nggak buat istirahat sih Neng?” Aku memutar bola mataku. “Nyebelin ya, udah tau kalau si Fahmi rewel kemarin, masih tanya nonton apa.” sungutku. Rama yang tadinya kesal seolah hendak memarahiku mendadak merubah air wajahnya. “Oh, bilang dong. Udah berapa hari sih nggak tidur? Kenapa nggak dibawa ke dokter aja?” “Ya emang, baru mau. Nanti habis rapat ini.” jawabku. Rama mengangguk sekilas. Ku dengar derap langkah memasuki ruangan. Tanpa menoleh aku sudah hafal dengan suara langkahnya, Pak Lurah sudah tiba. Kuperbaiki rambutku sekilas, lalu memperbaiki posisi. Rama juga sama. Ia duduk di sebelahku dengan notesnya yang sudah tersedia. “Assalamualaikum, selamat pagi semuanya. Mohon maaf karena saya terlambat hari ini.” tanpa aba-aba, Pak Lurah segera membuka rapat. Ruangan berukuran 3 x 8 meter persegi ini mendadak senyap. Kulihat satu persatu anggota rapat pagi ini. Semuanya tampak lesu, tentu saja, ini Hari Sabtu, waktunya istirahat. Aku tersenyum lemah. Seharusnya sebagai jiwa-jiwa muda yang membentuk birokrasi ini, aku lah paling semangat diantara manusia paruh baya itu. Tidak banyak staf yang berusia 20an seperti kami, aku dan Rama. Setidaknya hanya 5, termasuk Pak Lurah yang baru memasuki usia awal 30 an. Lainnya berusia lebih dari empat puluh tahun. “Mohon dibacakan agenda yang akan kita bahas pagi ini,” bisa kudengar lagi suara Pak Lurah memberikan instruksi. Segera kubacakan agenda yang sudah tertulis di jurnalku, dan rapatpun dimulai. *** Rapat selesai saat jam dinding menunjukkan pukul 11.30 WIB. Tepat waktu istirahat—pulang. Kulihat Rama berjalan menyamai langkahku yang bergerak menuju ruangan. Setelah ini aku masih harus membuat laporan seputar rapat pagi ini, dan menyerahkannya pada Pak Lurah. Aku juga mengatur beberapa agenda untuk Hari Senin. Kami harus melakukan kunjungan ke Puskesmas setempat. Membayangkannya saja membuatku lelah. “Habis ini mau langsung balik?” tanya Rama yang mengekoriku sampai ruangan. Aku menarik kursi, duduk di mejaku. Segera kunyalakan komputer. Setelah layar itu menyala, tanganku bergerak cepat untuk merangkum rapat dan membuat agenda senin besok. Jariku masih bergerak diatas tuts keyboard saat kudengar lagi Rama bersuara. “Cang kacang, kacang murah....” Aku memutar bola mataku, “Ya iya lah, Ram. Kan mau anterin Mbak Ine.” Rama menarik kursinya mendekati tempatku. Fokusku masih ada dilayar komputer, tapi aku bisa merasakan ia ada disebelahku. “Temenin makan siang dong.” ajaknya dengan suara melas. “No way! ” jawabku singkat. Rama kini menggoyangkan kursi putarku, mengganggu konsentrasi. “Ram, stop it!” keluhku. Tapi bukannya berhenti, malah seperti disuruh. Rama semakin senang menggodaku. Akhirnya kualihkan fokusku, menatap wajahnya yang mirip anak kecil minta diperhatikan. Aku mengerutkan alis, tidak senang. “Ram, aku capek. Belum tidur, belum sarapan, masih mau anterin Mbak Ine panas-panasan, antri di rumah sakit. Please, kamu jangan bikin nambah beban dong.” keluhku. Tapi sepertinya ucapanku nggak masuk telinganya, karena bukannya simpati, ia malah mengerling. Seolah ada lampu dikepalanya, ia langsung mengerling, ia tersenyum, “Aha. Gimana kalau aku anterin kamu ke RS, tapi selagi nunggu, kamu temenin aku makan? Hm? Ya? Ya? Katanya juga belum makan kan?” “Aku bisa makan di rumah Ram.” “Ayolah, Sab. Please, ya? I just wanna lunch with you.” Kali itu aku melihat nada suaranya yang berubah. Aku memandangnya, dan benar, sorot matanya meredup. Sepertinya sesuatu terjadi lagi, padanya, dan wanita itu. Aku menghela nafas berat. “Oke.” Dan secepat itu fokusku kembali karena kulihat Rama yang gembira segera mengemasi barangnya. *** Siang ini rumah sakit tidak begitu ramai. Hanya tinggal beberapa orang yang duduk di kursi tunggu. Tadi sebelum ke rumah sakit, aku membawa Rama yang rewel ini ke warung bakso di dekat kantor, aku tidak bisa membiarkan Mbak Ine sendirian masuk ruang periksa kan? Dan seperti dugaanku, Rama bercerita tentang ‘one of another woman in his life’ padaku. Aku bahkan tidak bisa mengingat siapa namanya, terakhir kali mantan ke 6 yang dia ceritakan padaku, Elsa seorang guru Biologi di sekolah swasta dekat rumahnya, setelah itu aku menyerah menghitungnya atau mengingat namanya. Pertemanan kami bisa dibilang sudah terjalin sangat lama—sejak SMA. Kami berada di SMA yang sama sebelum dia pindah rumah, tetap wilayah Surabaya, hanya saja sedikit ke utara. Dia menetap tinggal disana sekarang. Kami bahkan berada di jurusan yang sama sewaktu kuliah di salah satu universitas negeri. Aku tidak pernah menyangka kalau ‘jodoh’ kami sampai ke tempat kerja ini. Saat aku diterima sebagai CPNS dan langsung ditempatkan di kantor kelurahan—yang untungnya masih dekat rumah, Rama menyusulku setahun setelahnya. Bisa dibilang, dia juniorku di tempat kerja. Letak kantor kelurahan yang berada di wilayah selatan, membuat Rama harus bermigrasi melawan arus setiap harinya. Rama hampir mengetahui segala seluk beluk kehidupanku, pun aku tentangnya. Aku bahkan hafal merk celana dalam yang dia gunakan. Meskipun tidak mau mengakuinya, tapi ia bahkan tidak pernah merasa malu mengajakku sekadar untuk berbelanja kebutuhan primernya. Orang lain akan mengira kami pacaran, atau sejenisnya. Rama tidak bercerita kehidupan cintanya pada orang lain, sekalipun teman kantor kecuali aku. Yang mereka tau, Rama dan Sabrina adalah paket ‘one plus one’ yang selalu bersama-sama dimanapun. Kembali lagi, singkatnya, ia bercerita tentang ‘who's know her name’ itu, yang mencampakkannya karena menganggap Rama sebagai anak Mami yang nggak bisa diajak clubbing. Aku ingin menertawakannya, tapi juga kasihan. Jelas sekali, meski bergonta ganti wanita—memanfaatkan wajah gantengnya—Rama ini tipe anak indihome. Kalau nggak di rumah main game, ya ke kantor. Dia bukan tipe ‘neko-neko’ dan tidak bisa diajak menjadi tipe itu. Selain Maminya yang asli Solo, kalem dan pakem, yang menuntut ia agar menjadi anak yang baik sebagai contoh adik-adiknya, Rama ini memang tergolong ‘geek’ sejak SMA. Jadi tidak aneh jika ia sendiri tidak tertarik dengan hal seperti itu. Lihat saja, disodori semangkuk bakso urat dengan segelas es degan saja bisa langsung membuat segala keluh kesahnya ambyar seperti banjir yang menerjang kala hujan. Rama menawari kami tumpangan ke rumah sakit, meski sedikit pertimbangan, akhirnya aku menerimanya. Itung-itung gratis ongkos jalan. Setelah berhenti di halaman depan lobby, ia menanyakan apakah ia perlu menunggu kami. “Nggak usah deh, Ram. Ntar bisa pesen grabcar kok. Lagian deket.” Ia melirik jam tangannya, seolah menimbang. “Kayaknya masih sempet deh kalau nungguin kamu. Lagian kasihan juga si Fahmi rewel terus kan, nggak tega.” Selagi Mbak Ine berpamitan duluan untuk turun, aku berdiskusi di mobil dengan Rama. “Ya terserah deh, senyamannya kamu gimana. Aku turun dulu ya,” “Ok. Aku mau parkir. Habis itu nyusul.” Aku ikut turun, menyusul Mbak Ine yang memasuki lobby terlebih dulu. Aku mengambil antrian untuk menuju dokter spesialis anak langganan Mbak Ine. Tapi sayang sekali sepertinya dokter itu sedang mengambil cuti. Mbak Ine yang sedikit kecewa, akhirnya mau untuk dialihkan pada dokter baru—yang menggantikan dokter itu. “Baik. Hanya tinggal 2 antrian saja untuk Dokter Kafa. Mari saya antarkan ke ruang periksanya.” kata perawat selagi mengantarkan kami memasuki lorong rumah sakit. Aku mengikuti Mbak Ine yang masih menggendong Fahmi, sedang aku membawa perlengkapan bayinya. Ruangan itu terlihat sepi dari luar. Pintunya tertutup, kami menunggu di ruang tunggu. Aku mengetikkan pesan agar Rama menyusulku. Kupandangi ruangan itu, disamping pintu tertera nama sekaligus gelar sang dokter yang tiba-tiba membuatku teringat sesuatu. dr. Kafa Wafda Wardhana, Sp. A. Aku membacanya berulang-ulang seolah mengorek kembali memori yang berceceran dikepala. Aku tidak sadar kalau terhanyut dalam pikiran saat Mbak Ine menyenggol lenganku. “Udah waktunya masuk, ayo Sab.” ajaknya. Aku melihat Rama yang berjalan kearah kami, aku memberinya sinyal kalau kami hendak masuk. Ia tampak paham memilih menunggu diluar. Ruangan itu terlihat luas tapi penuh. Berbeda dengan ruang dokter pada umumnya yang rapi dan terkesan dingin, ruangan ini malah terasa hangat. Dindingnya tampak terang dengan wallpaper warna warni khas anak-anak, di pintu dan jendela tampak banyak gantungan, bahkan ada beberapa tumpukan mainan di sudut ruangan. Kalau saja tidak membaca nama ruangannya, aku pasti salah mengira kalau sedang masuk ruang kelas TK. Yeah, dia tampak profesional, dia memang dokter anak, kan? Fokusku tidak langsung menuju dokternya, aku masih sibuk mengamati ruangan. Bahkan meja sofa ditata sedemikian rupa agar membentuk seperti ruangan bermain anak. Dimeja dokter aku bisa melihat deretan kotak berisi snack jajanan dan pulpen yang didesain untuk anak-anak. Hei, aku benar tidak salah masuk ruang kelas TK kan? “Sab...” Mbak Ine menyenggol menarik pergelangan tanganku. Buru-buru kusudahi penelusuran ini. Aku tau, sepertinya pemindaianku tadi membuat siapapun tak nyaman. Ayolah aku hanya takjub, boleh kan? Aku berdeham, tersenyum pada perawat yang berdiri dibelakang dokter, sedang laki-laki itu masih bersembunyi dari balik layar komputernya yang lebar. Mbak Ine menyuruhku duduk dikursi sebelahnya. “Dengan Ibu Ine Prastiwi, ya. Ananda Fahmi Dinata, ya?” Tiba-tiba sesuatu dalam kepalaku berbunyi ‘klik’. Mataku membulat sempurna. Suara itu adalah fakta yang menjelaskan segala keanehan sebelum ini. Aku tidak sempat berkelit saat manik mataku menemukan dirinya, keluar dari balik layar yang menyembunyikannya tadi. “Bu Ine sebelumnya pasien Dokter Rasti ya. Karena Dokter Rasti sedang cuti, jadi saya yang menggantikan. Untuk itu tidak masalah, kan?” tanyanya dengan ramah. Senyuman itu, melihat senyuman itu membuat telingaku berdenging. Aku tidak mendengar lagi apa percakapan antara Mbak Ine dan dokter itu, kepalaku sedikit berdenyut nyeri. Otakku sibuk memutar kembali pecahan-pecahan kenangan yang telah lalu. Aku kira aku sudah melupakannya, tanpa disangka ingatan itu bisa kembali dalam bentuk utuh. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD