TIGA

1021 Words
Sejak mendaftar sekolah dan mulai sekolah satu minggu ini, X selalu terlihat senang dan bahagia. Ia terus memamerkan banyaknya bintang dan pujian yang diberikan gurunya padanya. Tapi hari ini X menjadi pendiam dan sedikit murung. Hal itu membuat Calista tentu saja bertanya-tanya apa yang telah terjadi pada anak itu. "X tadi bagaimana sekolahnya?" "Seru. Ibu guru tadi mengajak bermain tebak-tebakan, X bisa menebak semuanya." Axton menjawabnya dengan nada lesu tidak berapi-api seperti biasanya, Calista tersenyum kecil dan mengusap rambut anak itu. Lalu tatapannya beralih pada Kang Danu yang selalu menjadi supir antar jemput X selama sekolah. "Kang, nanti mampir dikedai es krim biasa ya." "Oke neng." "Karena X sudah hebat bisa menebak tebak-tebakan ibu guru, X harus dapat reward. Mimi traktir es krim kesukaan X ya." Mata Axton menatapnya penuh binar dan mengangguk. Calista yakin ada hal yang membuat X muram, ia akan tanyakan setelah perasaan anak itu lebih baik.  Mereka memesan dua es krim rasa berbeda dan duduk disalah satu tempat yang tersedia dikedai es krim tersebut. Calista tak hentinya tersenyum saat melihat X menyuapkan sendok demi sendok es krim ke mulut kecilnya. "Jadi tadi seharian hanya main tebak-tebakan?" Gerakan tangan itu terhenti, kini wajah X kembali muram. "Ada apa? Ada teman yang menganggu X?" Gelengan itu membuat Calista harus sabar menunggu jawaban dari Axton. "Lalu apa yang membuat X tidak senang? Jika ada masalah, Mimi akan usahakan untuk membantu X." Axton adalah anak kecil tetapi memiliki pemikiran yang begitu berat layaknya orang dewasa. Itu juga kadang membuat Calista harus pintar-pintar membimbing anak ini. "Mimi tidak akan marah atau apapun, X hanya perlu memberitahu Mimi apa yang X pikirkan. Terkadang berpikir bersama lebih baik daripada berpikir sendirian." "X dapat tugas dari Ibu guru." Calista tidak menanggapi, ia masih menunggu X yang terlihat ragu melanjutkan ucapannya. "X disuruh membuat surat ucapan terimakasih untuk Mama dan Papa. Besok juga X disuruh menggambar." "Kenapa X harus merasa terbebani? Mama dan Papa tidak ada tetapi masih ada Oma dan Opa. Oma dan Opa pasti senang diberi surat oleh X. Untuk menggambar besok, X juga bisa menggambar Oma dan Opa. Nanti gambarnya kita tempel dikamar X. Setuju?"  Mata itu berbinar kembali disertai senyum yang merekah. "Setuju." Dengan begitu semangat X menyeru, membuat beberapa orang melihat mereka. Tapi Calista tidak peduli, yang terpenting sekarang Axton sudah tidak sedih lagi. "Ayo habiskan es krimnya, kasihan Kang Danu nunggu didepan." Sepulang dari makan es krim, mood X menjadi lebih baik. Calista membantu bocah itu untuk menulis surat sampai waktunya makan malam. Setelah makan malam dan bermain sebentar, akhirnya X kelelahan dan tertidur. Calista dengan sigap merapikan meja belajar X yang belum sempat rapihkan. Ia juga memasukkan apa saja yang diperlukan X untuk sekolah besok kedalam tas, hingga matanya jatuh pada kertas berwarna pink yang dilipat-lipat hingga membentuk love. Ia ingat jelas jika ini bukan termasuk surat yang ditulis oleh X untuk Oma dan Opanya. Karena penasaran maka ia membukanya. Disana tertulis untuk Mimi. Membaca awalnya saja ia sudah sangat tersentuh. Tulisan anak itu lucu sekali dan membuatnya merasakan perasaan sayangnya makin dalam. To: Mimi Thank you for everything I love you From: Axton Hanya dua kalimat itu, tetapi dapat menurunkan air matanya. Ia menatap wajah lelap Axton yang begitu menggemaskan. Entah sampai kapan ia bisa melihat wajah Axton yang terlelap. Kuliahnya sudah selesai dan tinggal menunggu pengumuman resmi dari kampus, tentu saja Calista tidak ingin menunggu lagi meningkatkan jenjang karirnya dengan pegangan fresh graduate yang banyak tertera di lowongan kerja. Ini kesempatan Calista, lagipula Axton sudah cukup mandiri dan sudah sekolah. Tapi kenapa hatinya begitu tidak rela jika harus meninggalkan Axton? Ketukan pintu menyadarkan Calista dari pikirannya yang terbang jauh. Ia menghilangkan sisa-sisa air matanya sebelum membuka pintu dan menemukan Nyonya Anggita disana dengan senyum lalu berubah kaget melihatnya yang sangat ketara habis menangis. Wanita paruh baya itu melihat Axton yang sudah tertidur lelap. "Ada apa Lis? Kok kamu menangis?" "Engga ada apa-apa bu, saya cuma ngerasa terharu aja." Anggita masih terdiam menatapnya seolah ingin mendengar lebih lanjut. "Axton diberi tugas oleh gurunya untuk menulis surat untuk orangtua. Dia sedih sepulang sekolah karena itu sebelum saya beri saran untuk menulis surat untuk Ibu dan Bapak. Tapi baru saja saya bereskan meja belajar, saya menemukan surat yang Axton tulis untuk saya." Lain dengan Calista yang kembali menahan rasa harunya, Anggita malah tersenyum dan mengusap bahu Calista seolah menenangkan. "X sayang banget sama kamu. Selama ini cuma kamu yang ada untuk dia." Calista tidak mengiyakan juga tidak menolak, ia terus diam mengusap sisa air matanya sampai Anggita lanjut bicara. "Saya, ada hal yang ingin dibicarakan sama kamu." "Saya juga bu." Anggita yang mendengar itu mengangguk dan mengajak Calista untuk mengobrol di teras belakang rumah. "Anak saya, Papanya Axton akan pulang. Sekarang sedang dalam perjalanan." Informasi itu membuka pembicaraan mereka. Lalu terdengar helaan nafas kasar dari Anggita, tatapan mata wanita paruh baya itu jatuh pada air dikolam renang yang bersinar karena pantulan lampu. "Anak saya bercerai dengan istrinya saat Axton berusia empat bulan. Hak asuh jatuh ke tangan anak saya, oleh karena itu Axton ada disini." "Karena keluarga kami punya banyak perusahaan diluar negeri jadi sebagai pewaris utama, anak saya begitu sibuk dan tidak punya waktu mengurus Axton apalagi William tidak mau ikut campur masalah perusahaan. Setidaknya meskipun saya suka bepergian tapi saya selalu pulang kerumah, jadi saya pikir Axton disini adalah pilihan terbaik. Papanya juga tidak peduli dengan anak itu, saya merasa beruntung bisa mengenal kamu yang sudah sangat sayang pada Axton setelah anak itu terus saja bergunta-ganti pengasuh." "Axton anak yang pintar dan tampan, orang akan cepat sayang dengannya begitupun dengan saya." "Saya sejak muda selalu bekerja, kuliah sambil kerja seperti kamu bahkan setelah menikah saya masih bekerja membantu suami saya. Sudah menjadi kebiasaan dan rasanya aneh jika berhenti." Calista mengangguk ia cukup paham dengan pemikiran Anggita. Wanita itu punya banyak uang yang bisa ia gunakan untuk membayar orang menjaga Axton selama ia bekerja selain Axton baik-baik saja dipandangannya, wanita paruh baya itu juga masih bisa melakukan keinginannya untuk terus bekerja. "Sepertinya saya tahu apa yang akan kamu bicarakan dengan saya Lis. Tapi untuk sekarang sepertinya baik saya maupun Axton belum siap membiarkan kamu pergi." Vote and Comment guys!!!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD