Bab 3

1198 Words
Entah mengapa tiba-tiba saja Arrion merasa bersalah terhadap Khayra. Ia pun segera pergi untuk menyusul wanita yang telah ia sakiti hatinya. “Ke mana perempuan itu?” ucap Arrion sambil mengelilingi jalan setapak yang biasa dilewati oleh Khayra.  Arrion sama sekali tidak menemukan Khayra. Entahlah, ada sedikit perasaan bersalah yang kini Rion rasakan. “Semoga lo baik-baik saja,” pikir Rion dalam hati. Saat Khayra menyebutkan ibu dan saudara perempuannya, hati Rion terenyuh. Ia jadi ingat akan ibu dan kedua kakak perempuannya. Hingga akhirnya, Rion memutuskan untuk pulang ke rumah. Sedangkan Khayra, ia memutuskan untuk menenangkan dirinya di sebuah bangku taman yang kosong. Ia pun membatalkan niatnya untuk pergi ke perpustakaan, karena saat ini perasaannya benar-benar hancur. Ia tidak menyangka akan mendapatkan sebuah pelecehan dari pria yang sama sekali tidak dikenalnya. “Semoga saja ini pertemuan terakhirku dengan pria itu. Sampai kapan pun, aku tidak mau melihat wajahnya lagi,” ucap Khayra yang akhirnya memilih untuk pulang ke rumah.  *** Keesokan hari pun tiba. Setelah kejadian yang menimpa dirinya, Khayra menjadi sedikit lebih pendiam.  “Khay!” panggil Qidam pada seorang wanita yang telah lama bersemayam dihatinya. “Eh, Kak Qidam. Ada apa, Kak?” “Hmm, bisa kita ngomong sebentar?” “Aduh bagaimana ya, Kak?”  “Sebentar saja Khay, ada yang ingin Kakak tanyakan sama kamu.” Akhirnya Khayra pun menyetujui ajakan Qidam. Saat ini Khayra dan Qidam duduk di salah satu taman yang ada di pesantren.  Mereka duduk saling berjauhan, karena Khayra tidak ingin menimbulkan fitnah bagi siapa saja yang melihatnya.  “Ada apa, Kak?” tanya Khayra yang sebenarnya penasaran dengan apa yang ingin ditanyakan oleh seniornya, sekaligus guru yang mengajar di pesantren, abinya. “Tadi saat di kantor, tanpa sengaja Kakak melihat nama-nama siswa yang mengajukan beasiswa ke Kairo. Lalu, Kakak lihat nama kamu salah satunya. Apa benar, kamu ingin melanjutkan kuliah di sana, Khay?” Khayra pun mengangguk menjawab pertanyaan dari Qidam. “Iya Kak, itu benar,” jawab Khayra sambil menundukkan kepalanya. “Hmm, bukannya dulu kamu pernah bilang, kalau kamu ingin melanjutkan kuliah di universitas tempat Kakak menimba ilmu. Kenapa sekarang kamu berubah pikiran, Khay?” tanya Qidam yang seakan tidak rela jika harus berjauhan dengan wanita yang duduk di sampingnya itu. “Khay Cuma tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan saja, Kak. Dengan tinggal terpisah dari orang tua, Khay ingin belajar hidup mandiri dan Mencari ilmu sebanyak-banyaknya di negeri orang.” “Jadi itu alasan kamu, Khay.” “Iya Kak,” jawab Khayra yang sebenarnya hanya mencari-cari alasan saja. Keputusan utama kenapa Khayra ingin kuliah di Kairo, karena ia tidak ingin bertemu lagi dengan laki-laki yang telah melecehkannya tempo hari. Khayra merasa sedikit trauma. Untuk itu, dia memutuskan untuk pergi, karena ia ingin membuang sebuah kenangan pahit yang telah menimpa dirinya. “Baiklah, Kakak akan mendukungmu, Khay. Kakak harap, kamu jangan melupakan Kakak, karena perasaan Kakak ke kamu tulus Khay, Kakak menyayangimu.” Deg! Khayra pun sangat terkejut ketika mendengar perkataan dari laki-laki itu. “Maaf, kalau Khay belum bisa membalas perasaan Kak Qidam saat ini. Tapi Khay janji, Khay tidak akan melupakan Kakak.” “Makasih ya, Khay.” “Ya sudah, kalau begitu Khay pulang dulu, Kak. Assalamu’alaikum.” “Wa’alaikumsalam.” Khayra pun pergi meninggalkan Qidam, yang kini tengah duduk sendiri di taman.  Setibanya Khayra di rumah. “Assalamu’alaikum Umi,” ucap Khayra sambil mencium tangan uminya. “Wa’alaikumsalam, Sayang. Ya sudah, sekarang kamu ganti baju dulu, terus makan. Ada yang ingin umi dan abimu bicarakan.” “Baiklah Umi,” ucap Khayra dengan sopan. Setelah makan siang, Khayra pun segera menghampiri abi dan uminya yang kini sedang duduk di ruang keluarga. “Duduk Khay,” ucap Abi Ridwan menyuruh putrinya untuk duduk di hadapan ia dan istrinya. “Apa benar, kamu mengajukan beasiswa di Kairo?” “Iya Abi, itu benar,” ucap khayra dengan kepala yang masih menunduk. “Sayang, kenapa keputusanmu sangat mendadak. Bukannya, kamu ingin kuliah di sini saja. Agar bisa menemani Abi dan Umi,” ucap Umi Salma yang sangat terkejut dengan keputusan yang diambil oleh putrinya itu. “Maaf Umi. Khay hanya ingin mandiri dan mencari ilmu sebanyak-banyaknya di negeri orang. Maaf kalau Khay berubah pikiran.” “Khay!” “Umi, biarkan Khay memilih apa yang menjadi jalan hidupnya. Abi setuju, jika niat Khay ke sana ingin mandiri dan mendapatkan ilmu di negeri orang. Abi akan mendukung keputusanmu, Nak.” “Terima kasih Abi, sekali lagi terima kasih. Umi tidak marah kan, dengan keputusan yang sudah Khay ambil?” Umi Salma pun menggeleng menjawab pertanyaan dari putrinya. “Sebenarnya berat bagi Umi melepaskan mu, Nak. Namun, Umi juga tidak ingin melarang keinginanmu untuk mencari ilmu di sana. Pesan Umi, jagalah kepercayaan Umi dan Abi saat kamu di sana. Jangan mengecewakan kami dan pulanglah dengan segudang ilmu yang kamu miliki.” Khayra pun tidak mampu menahan air matanya. “Terima kasih, Umi. Khay janji Khay akan belajar dengan sungguh-sungguh. Khay tidak akan mengecewakan kalian, hiks-hiks.” Kini Khayra pun menangis berada dalam pelukan Uminya. Tujuan Khayra sebenarnya, bukan sekadar mencari ilmu. Khayra ingin melupakan kejadian buruk, yang menimpanya sebulan yang lalu di tanah kelahirannya. *** Tak terasa, lima tahun pun telah berlalu. “Kamu ini! Mengurus masalah ini saja tidak becus! Kalau kamu tidak kompeten, saya persilahkan kamu mengajukan surat pengunduran!” “Sa-saya mohon Pak. Beri kesempatan saya satu kali lagi. Saya akan berusaha semaksimal mungkin untuk memperbaiki laporan yang saya buat.” “Tiga hari! Saya kasih kamu waktu tiga hari. Kalau kamu tidak bisa memberikan laporan yang saya inginkan, silahkan kamu angkat kaki dari perusahaan saya.” “Ba-baik Pak. Terima kasih atas kesempatan yang Anda berikan.” “Silahkan keluar!” Pria itu pun lari dengan ketakutan meninggalkan ruangan Arrion. “Lo kenapa si Yon? Sadis amat sama pegawai lo sendiri. Kalau begini bisa-bisa, tidak ada yang betah kerja sama lo,” ucap Andre yang datang mengunjungi sahabatnya itu. “Memangnya lo pengangguran ya, Ndre? Jam segini lo sudah ada di kantor gue.” “Sabar-sabar,” ucap Andre sambil mengurut dadanya. “Gue sekarang lagi free Yon. Lo sih, yang terlalu serius bekerja, nggak ada liburnya. Kenapa? Masih belum bisa melupakan perempuan berkerudung itu?” “Perasaan bersalah itu terus menghantui gue, Ndre. Gue Cuma ingin minta maaf, karena apa yang gue lakukan dulu sangat keterlaluan.” “Hmm, jadi itu alasannya kenapa lo nggak pernah mau menjalin hubungan dengan perempuan?” “Apaan lo, Ndre?! Mendingan, lo keluar dari kantor gue, sekarang juga!” ucap Arrion yang merasa tidak terima dengan apa yang diucapkan oleh Andre sahabatnya. “Hee, santai Bro. Kalau lo marah, berarti tebakan gue benarkan, hehe.”  “Lo mau keluar sendiri, apa gue panggil satpam buat menyeret, Lo?” Arrion pun semakin emosi melihat kelakuan sahabatnya itu. “Waduh sadis benar, it’s okay gue keluar. Selamat bekerja Bro!” ucap Andre lalu pergi meninggalkan, Arrion. Arrion pun menatap foto yang ada di ponselnya. Foto seorang perempuan yang ia buka paksa hijabnya, lima tahun yang lalu. “Sekarang aku tahu apa itu muhrim, apa itu aurat. Maafkan aku yang sudah berbuat lancang kepadamu. Aku harap, suatu saat kita bisa di pertemukan kembali. Maaf, atas dosa yang telah aku perbuat.”  Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD