Sang Indigo

1080 Words
Arunika memakai seragam putih abu-abu, memeluk tasnya erat-erat ketika beberapa anak lelaki mendekatinya.  "Kamu indigo kan? Bisa lihat hantu?" Tanya mereka dengan nada mengejek.  "Aku nggak bisa lihat hantu. Sudah! Aku mau lewat!"  Rupanya mereka tidak percaya. Mereka bertanya berulang kali. Dan Aru tetap menjawab tidak.  Kemudian mereka meninggalkan Aru sendirian ketika Juni datang dan mengusir mereka.  "Kalian mau kulaporkan ke guru karena bullying?" Juni mengancam.  "Bullying apaan? Kami tuh cuma bertanya aja. Ya kan Ru?"  Arunika memandang mereka sinis.  Tetapi kejadian itu tidak hanya sekali. Namun setiap hari mereka datang dan menanyakan nomor togel pada Aru. Bertanya apakah di kelas  ada hantunya tidak.  Gangguan itu tidak hanya datang dari satu kelas, tetapi hampir seluruh siswa di sekolah itu tertarik dengan alisnya.  Ketika Juni ada di dekatnya dia bisa melindungi Arunika, tetapi tidak setiap saat mereka bersama. Seperti hari itu.  Di luar kelas sedang hujan dan guru pun belum datang. Semua siswa sibuk dengan kegiatan masing - masing. Ada yang bermain bola di dalam kelas, ada yang menggosipkan kakak kelas. Sedangkan Aru sibuk membaca buku tebal.  Seorang anak perempuan berambut panjang dan berponi mendekati Aru. Mulanya dia hanya meminta Aru untuk membantunya mendapatkan kakak kelas yang diincarnya. Tetapi karena Aru menolak, dia mulai memaksa Aru. "Kamu kan indigo, tahu donk apa aja yang disukai Roy?"  Aru menggeleng. "Aku bukan dukun!"  "Kamu tinggal tanya aja sama hantu hantu, mereka pasti tahu!" "Harus berapa kali kubilang? Aku nggak bisa lihat hantu!"  "Tapi setan, bisa ya?"  Arunika diam. Gadis di depannya sangat mengintimidasi. Bahkan dia melangkah maju dan mengelus alis tipis Aru.  "Kamu cuma mau menghindar kan? Atau kamu juga suka sama Roy?"  Arunika mendengus. "Aku nggak kenal dia." "Oh gitu. Jadi untuk itu, tugas kamu. Cari tahu tentang dia. Apa kesukaannya, hobinya. Terus kasih tahu aku. Ngerti kan?"  Arunika menatap gadis itu dengan kesal. Gadis ini berlagak pintar dengan membodohi Aru. Cih, Aru nggak Sudi.  "Nggak mau! Mending kamu balik ke kelasnya sana."  Gadis itu marah. Dia mendorong Aru pelan. Melihat Aru melotot, gadis itu merasa tertantang. Tangannya terangkat dan mendorong  Aru pelan. Aru seperti disetrum. Belum hilang rasa kagetnya, Aru dicekik.  Di mata Aru, gadis itu nampak bukan lagi manusia. Aru melihat gadis itu diselimuti kabut tebal. Matanya yang hitam berubah warna menjadi merah. Kuku-kuku cantik yang menyentuh lehernya berubah panjang dan berwarna hitam  mulai menggores leher Aru.  Aru berusaha meminta tolong, tetapi orang orang di sekitarnya malah tersenyum menyaksikan Aru kesakitan. Nafasnya mulai tersengal.  Gadis itu tertawa kencang. Suaranya nyaring melengking membuat telinga Aru berdengung.  Ketika kesadarannya mulai menurun, dia masih bisa melihat, baju gadis itu bukan lagi seragam. Melainkan jubah putih panjang.  Plak!  "Hey, diajak ngomong malah melamun!"  Aru mengelus pipi yang ditampar. Dia mengerjapkan mata beberapa kali. Menatap gadis di depannya. Aru Menyentuh wajah dan memegang jemarinya.  Gadis itu menepis tangan Aru merasa risih. "Apaan sih nih anak!"  Aru menarik-narik daun telinganya sendiri. Dia berusaha memahami apa yang dilihatnya tadi.  " Eng, tadi kamu mau mencekik aku kan?"  Gadis itu bengong. "Cekik? lu? Nggak waras ya?"  Aru menanyakan hal yang sama pada teman lainnya. Dan semua temannya menjawab tidak. Gadis di depannya hanya mendorong Aru, tidak mencekik.  Tenggorokan Aru mulai terasa kering. Dadanya terasa sesak. Nafasnya mulai tersengal. Lantai yang dipijak terasa berputar putar. Seseorang memeluk dari belakang. Tangannya melingkar di bahunya. Dan Aru pun ambruk. Semua anak di kelas berteriak histeris.  "Aru kesurupan!"  Di hadapannya berdiri sosok yang menyeramkan. Aru mencoba berteriak, tetapi suaranya tidak keluar. Dia mencoba lari, kakinya kaku. Tidak bisa digerakkan. Sosok itu berwujud perempuan yang mencekiknya tadi.  Aru tercekat. Sosok itu berjalan menghampirinya dengan tenang. Kukunya yang panjang menggapai Aru.  Seseorang menarik Aru menjauh. Kemudian Aru seperti terlempar ke tempat yang lain. Semuanya gelap. Aru memincingkan matanya berusaha mencari cahaya. Sekilas dia melihat sinar terbang melewatinya. Sekitarnya berubah menjadi remang-remang. Aru melihat sosok setan itu lagi.  Mati aku, batin Aru.  Sosok itu sedang menikmati sesuatu. Bau anyir menyergap hidung Aru. Tidak hanya itu, suara suara tangis bayi bersahutan. Aru berada di kumpulan bayi-bayi. Mereka berlumuran darah. Aru menutup hidung tidak percaya. Kakinya gemetar ketakutan. Dia ingin pergi dari sana. Dia menolak percaya asumsi apa yang dimakan setan itu. Dia terlalu takut untuk percaya.  Sosok itu sama sekali tidak memperhatikan Aru. Dia terlalu asyik dengan buruannya. Dan Aru menutup mata dan telinganya. Kemudian ada yang menariknya lagi.  Kali ini dia ada di tempat yang sangat terang. Di sampingnya ada sosok peri. Atau dia menyebutnya demikian. Dengan wajah sangat terang dan auranya menenangkan. Aru ingin bertanya. Tetapi peri itu memberikan isyarat untuk menutup mulut. Peri itu menggandeng tangan Aru dan mengajaknya berlari menuju tempat yang lain. Di ujung terang ada sebuah bus berwarna hitam. Peri itu menunjuk bus kemudian mendorong Aru menaikinya.  Bus itu berbeda dengan bus lainnya. Tidak ada penumpang ataupun supir. Aru duduk sambil melihat ke jendela. Memastikan peri itu ada di sana. Ternyata peri itu sudah tidak ada. Bus pun melaju dengan kencang, sampai Aru harus berpegangan erat. Bus itu melaju seperti angin. Aru tidak mampu untuk melihat apa yang ada di depannya.  Sayup-sayup Aru mendengar suara perempuan.  "Tarik nafas dalam-dalam. Pelan pelan saja Aru. Pelan pelan saja!"  Entah kenapa Aru mengikuti instruksinya. Jantungnya berdebar keras. Aru terus berusaha bernafas. Setidaknya dia ingin hidup lebih lama. Dia ingin makan es krim sepuasnya. Dan juga dia belum menonton di bioskop. Apa dia harus mati seperti ini?  Perlahan jantung Aru mulai berdetak normal. Tetapi pikiran Aru kacau. Dia tidak tahu ada dipelukan siapa. Aru tidak mengenalnya. Dari tubuh perempuan ini tidak tercium parfum dan keringat. Aneh sekali.  "Aru? Sudah sadar?" Perempuan itu meletakkan tangannya di dahi Aru. Bibir mungilnya membuka menutup mengucapkan sesuatu. Aru belum bisa mendengarnya. Tangan perempuan itu awalnya dingin kemudian berubah hangat. Perlahan dia bisa mendengar dengan jelas ucapan perempuan itu.  "Aru... Coba buka matanya!"  Aru membuka matanya perlahan. Kepalanya yang sakit mereda.  "Kamu sadar kita ada di mana?"  Pertanyaan itu menyadarkan Aru. Dia masih di dalam kelas. Gadis yang membuatnya tadi sudah hilang. Teman temannya berkerumun di sekelilingnya. Raut wajah mereka antara cemas dan penasaran.  Aru menatap wajah di atasnya. Gadis yang cantik. Dengan kulit kuning dan alis tebal, hidung mancung. Tipe banyak idaman laki-laki. Tapi nampak seperti malaikat. Aru berdeham. Memeriksa apakah dia bisa bicara. Ternyata semua tubuhnya masih normal.  "Iya. Aku sudah sadar. Kamu siapa?" Bukannya menjawab, gadis itu menarik tangan Aru untuk berdiri.  "Daripada itu, apakah kamu mengingat sesuatu tadi?" Aru menggeleng lemah. Perempuan muda itu tersenyum. "Baguslah! Sekarang kuajarkan kamu caranya berperang!" Kemudian dia membisikkan sesuatu di telinga Aru. "Ada tiga cara untuk menghadapi orang-orang brengsek…"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD