Tiga Cara

1244 Words
"Ibu! Aku berangkat sekolah!" Aru keluar kamar berseragam rapi. Dia mencari cari uang koin di sekitar televisi untuk membayar angkutan kota. Tentu saja dia memiliki uang saku, tetapi dia memang lebih suka dengan uang koin. Tidak perlu menunggu kembalian dari sopir.  "Ibu! Uang koinnya kuambil buat ongkos angkot ya!" Ibunya tidak menjawab. Tangannya memegang remot dan matanya tidak lepas dari layar televisi.  "Duh Ibu, masih nonton serial itu? Kan sudah pernah tayang! Itu cuma ulangan saja!" Aru geleng geleng kepala.  "Sudah ya, Aru berangkat!"  Aru langsung bergegas menuju sekolah. Tetapi kini hatinya lebih tenang. Dia sudah memutuskan sesuatu. Sesuatu yang bakal menepuk perlakuan mereka seperti menepuk lalat.  Begitu kakinya memasuki gerbang sekolah, anak-anak mulai memperhatikannya. Ada yang berbisik bisik sambil menunjuk dirinya.  Aru terus melangkah. Dia akan menghadapi siapapun sekarang ini.  Begitu berbelok ke lorong kelas, sudah ada tiga kakak kelas yang dulu pernah mengganggunya. Mau apalagi mereka, pikir Aru.  Aru tidak tahu nama mereka. Tetapi Aru hafal sosok mereka. Satu bertubuh gendut, satu berkepala gundul, dan satunya lagi berwajah lumayan tetapi bermulut pedas.  "Ru, katanya kemarin kamu kesurupan? Berarti kamu bohong donk kalau nggak bisa lihat hantu!"  Kata lelaki bermulut pedas.  "Bakal muncul nomer berapa Ru? Ntar gue persenin kalau tembus!" Si gundul maniak togel.  Sedangkan si gendut lebih menikmati cemilan di tangannya.  Aru menatap mereka dengan senyum. Ini saatnya beraksi.  "Hmmm… semalam aku bermimpi melihat kodok kawin!"  Begitu mendengar jawaban Aru, salah satu dari mereka bertiga. Anak lelaki dengan kepala gundul mengeluarkan buku dari saku celananya.  "Min, buku apa itu?" Tanya temannya.  "Tafsir mimpi Bro." Matanya kemudian memeriksa gambar yang ada dalam buku itu.  Aru mendelik. Aku kan cuma ngawur, masa dipercaya, batin Aru.  Anak lelaki yang bertubuh ceking mengabaikan dua temannya yang sedang membolak-balik buku tersebut. Dia lebih tertarik pada Aru.  "Wah Aru, sekarang sudah bisa jadi dukun ya! Bisa dipanggil Mbah Aru!" Dia tertawa terbahak-bahak membayangkan Aru beruban.  "Iya ya, bisalah kamu anggap begitu. Kan kamu nggak punya Mbah!" Jawab Aru ketus.  Anak itu berhenti tertawa dan menyipitkan mata. "Kamu kok tau kalau mbahku sudah meninggal semua?" Aru cuma nyengir. Kebetulan.  "Abis kesurupan jadi dukun beneran dia! Cabut yuk!"  Lelaki ceking itu meninggalkan dua temannya. Si kepala gundul tertinggal. Dia memasukkan buku tafsir mimpi ke saku celananya dulu. Sebelum pergi dia akan memberi persenan kalau nomer yang diberikan Aru itu tembus.  Aru tidak peduli. Dia langsung masuk ke kelasnya. Dia melihat gadis yang menolongnya. Gadis peri.  "Hei, terima kasih untuk kemarin," kata Aru mengulurkan tangannya.  Bukannya menjabat tangan Aru, gadis itu malah emeluk Aru.  "Kamu anak yang kuat Aru. Mulai sekarang aku akan di sampingmu."  Aru menaikkan dua alisnya. Dia tidak mengerti apa maksud gadis itu.  "Ehm namamu?"  "Kamu bisa panggil aku Dewa… err… Dewanti. Jadi kamu akan memakai cara yang mana?" Gadis itu tersenyum cerah.  Aru mengacungkan dua jari, telunjuk dan jari tengah.  Dewanti tersenyum dan memberikan jempol.  Aru mengangguk angguk. "Aku baru melihatmu hari ini. Anak pindahan ya?"  Dewanti menggeleng. "Aku selalu di sini. Tetapi kamu tidak... eh belum bisa melihatku. Baru kemarin bisa."  "Maksudnya bagaimana?" Setiap kata yang keluar dari gadis cantik ini membuat Aru bingung.  "Aru, kamu percaya dunia pararel?"  Lagi-lagi gadis itu tidak mengabaikan pertanyaan Aru dan malah mengajukan pertanyaan yang  lain  Gadis aneh. "Dunia paralel itu apa?" Dewanti memasang muka kaget. Mulutnya membuka. Kemudian dia berteriak. "Aru! Berhenti membaca buku sejarah! Baca buku pengetahuan yang lebih penting."  "Kamu kok tahu?"  Tanpa sungkan gadis itu mengeluarkan buku-buku yang ada di tas Aru. "Tuh kan bener! Semua buku yang kamu baca tentang sejarah. Ada revolusi industri Inggris, terus..." Aru merebut semua buku dari tangan Dewanti. "Biarin!" "Aku selalu gemas melihatmu dengan gaya kuno seperti itu. Cuma kamu anak di sini yang memakai rok sepuluh cm di bawah lutut!" "Peraturan kan memang begitu." "Nggak semua peraturan perlu ditaati. Apalagi kalau yang bikin aja suka seenaknya sendiri!"  Dewanti memonyongkan bibirnya mengarah ke samping. Rupanya kepala sekolah berjalan melewati kelas mereka. Setelan atasnya sopan, cuma roknya sedikit di atas lutut.  "Masih sopan kok!"  "Sopan dari Hongkong! Yang belakang tuh belahannya tinggi. Membelah gunung!"  Aru tertawa. Sudah lama dia tidak tertawa dengan bebas. Aru bersyukur bisa mengenal Dewanti. Dewanti anak yang ceria, tapi kadang juga terkesan dingin. Celoteh celoteh spontannya membuat pandangan Aru berbeda terhadap hal hal di sekitar.  "Pertanyaan ini sudah keberapa kali ya dalam sehari ini?"  "Oh ya? Tidak apa. Tapi aku meyakinkan kamu, bahwa dunia paralel itu ada. Ada dunia lain di luar sana."  Aru menyimpan telinganya dengan headset ketika Dewanti mulai mengoceh tentang konsep dunia paralel.  Seseorang mendatangi tempat duduk Aru. Aru berdiri. Dewanti juga.  "Enak ya jadi artis. Terkenal dimana mana." Tanpa basa basi gadis dengan nama tag Kiandra menyindirnya.  Dia mendekati Aru dan hendak mengelus alis Aru. Tapi ditahan oleh Dewanti.  "Cukup!"  "Punya bodyguard sekarang ya?! Dasar Cemen!" "Apa masalahmu?"  "Nggak usah sok lemah. Harus ya, pacarku mendatangi kamu terus-terusan?"  Aru berpikir. Siapa pacar anak ini. Cuma tiga sekawan, salah satunya berambut gundul dan penyuka togel itu yang selalu mendatangi Aru.  Apa maniak togel itu pacarnya? Ya ampun. Kasian amat.  "Pacarmu yang mana?" "Lu tahu kalau semua Mbahnya nggak ada. Padahal aku aja nggak tahu."  "Ah! Yang itu!"  "Nggak usah sok ngartis. Dukun jadul aja belagu!"  Aru menghela nafas. Kemudian dia menunduk. Membuat seluruh rambut pendeknya menutupi wajahnya.  Gadis itu mundur.  "Oh mau nakutin aku ya?" Pakai cara begini!" "Pacarmu itu sering boncengan sama adik kelas."  Kiandra mengernyit. "Bohong!" Aru berdentam, suara ya berubah menjadi lebih serak.  "Iya, sudah sering seperti itu. Mereka juga bergandeng tangan di parkiran."  Wajah angkuh Kiandra berubah pucat. Tangannya bergetar saat menunjuk Aru.  "Awas kalau bohong!"  Kemudian dia pergi.  Dewanti bertepuk tangan. "Keren sekali aktingmu, Nak!"  Aru merapikan rambutnya dan menghela nafas. "Sungguh menyenangkan mengerjai mereka!"  "Pilihan yang bijak. Sudah bosen dengan nomer tiga?"  "Hayati lelah!" Aru meletakkan punggung tangannya di dahinya. Dewanti terbahak. "Iya, berikutnya kita hadapi bersama."  "Baiklah! Ibu, aku butuh sandaran!" "Tembok tuh nganggur!" "Cih!"  *** "Aru!"  Aru mendengar seseorang memanggilnya saat dia sudah keluar dari gerbang sekolah. Aru berhenti.  "Kenapa?" Tanya Dewanti.  "Ada yang manggil aku," jawab Aru.  Mereka berdua celingukan mencari siapa yang memanggil Aru. Ternyata si gundul. Dia melambaikan tangan dari kejauhan dan berlari mendekati mereka.  "Ada apa lagi?" Tanya Aru. Sebenarnya dia sudah malas meladeni tiga sekawan ini. Tetapi melihat si gundul berlari menyusulnya. Mungkin ada yang penting, pikir Aru.  "Nih," Si gundul menyerahkan sejumlah uang kepada Aru.  Aru melihat ada tiga lembar uang seratus ribuan. "Uang apa ini?"  "Nomerku tembus. Seperti janjiku kemarin." Si gundul berkata berseri-seri.  Kodok kawin yang dikarang Aru ternyata jitu. Kebetulan.  "Nggak usah. Buat kamu saja!" Aru berbalik pergi.  Si gundul tidak menyerah. "Kutraktir es krim saja gimana? Dewanti juga ikut."  Aru dan Dewanti berpandangan. Aru menaikkan bahunya. Dewanti mengangguk angguk.  "Ayo! Kamu ingin makan es krim. Enak nih ada yang traktir!"  "Kamu kok tahu?"  Dewanti tidak menjawab dan menggandeng tangan Aru menuju toko fotokopi di samping sekolah. Mereka bertiga memilih es krim sibuk memilih es krim masing-masing.  Kemudian terdengar suara keributan.  Aru melihat Kiandra berteriak sambil menuding -nuding seseorang. Si mulut pedas.  "Sepertinya dia ketahuan kalau selingkuh. Syukurin!" Ujar si gundul kalem.  "Bilang aja iri. Jomblo sih!" Sindir Dewanti.  "Ya udah biar gak jomblo, kamu jadi pacarku ya?"  Aru mengabaikan dua temannya. Dia termenung. Memikirkan ucapan ngawurnya menjadi kenyataan. Dan tentang Kiandra bukan yang pertama.  "Apa artinya ini?" Tanya Aru.  "Artinya kamu harus nonton bioskop bersamaku besok," kata Juni sudah berada di sampingnya.  "Hah?" Aru melongo.  "Iya, pergilah! Naik bus Cosmos. Bus itu akan membawamu menuju dunia paralel yang sebenarnya," sahut Dewanti sambil tersenyum penuh arti. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD