bc

LAYLA AL-MADANI

book_age4+
126
FOLLOW
1K
READ
revenge
arrogant
scandal
brave
confident
tragedy
crime
multiple personality
love at the first sight
expirenced
like
intro-logo
Blurb

Tema Cerita tentang “Kasih Sayang Orang Tua, Di Terlantarkan, Penghianatan dan balas dendam serta Ambisius, pertualangan berskala besar….”

“Setting cerita membuat segalanya masuk akal, dan alur cerita yang terentang ribuan tahun menjadi latar belakang penuh warna bagi berbagai kesulitan yang dialami para pelaku utamanya.”

“Pertualangan yang menggairahkan dan menyenangkan menumpas kasus yang akhirnya menyeret kepada kejadian yang tidak terduga, melibatkan beberapa Bangsa dan Kepercayaan dari tiga (3) Agama dalam memperebutkan Tanah Suci dengan Politik Timur Tengah yang suram dan tidak tenang, di selingi dengan kisah romansa cinta sesaat dari pelaku itu sendiri.”

*Komen dan sarannya dikolom komentar dibutuhkan, serta jangan lupa Vote ya…*

By the way, Enjoy it

chap-preview
Free preview
KUIL SUCI - YERUSALEM 70M
*Prolog* Sejumlah kepala berterbangan di atas dinding Kuil di Iriingi desisan, berlusin-lusin banyaknya, seperti sekumpulan burung yang kaku. Mata mereka terbuka, mulut menganga, sulur mereka terkibas kasar memberati leher. Sebagian mereka turun ke Lapangan Perempuan, bergedebuk di atas batu ubin hitam dengan suara laksana drum tak berirama, menyebabkan orang-orang tua dan anak-anak berhamburan lari ketakutan. Yang lain terus terbang melewati Gerbang Nicanor masuk ke dalam Lapangan Israel, lalu mendarat bagai hujan deras ke sekitar Altar holocaust yang agung. Beberapa kepala terus terbang melintasi dinding dan atap mishkan itu sendiri, tempat paling suci di pusat kompleks Kuil, yang tampak merintih dan bergema di bawah serangan, seakan sakit secara fisik. “Keparat!” umpat seorang anak, dengan air mata ketakutan di bola matanya yang sebiru safir. “Romawi kotor sialan!” Dari titik yang menguntungkan di dalam benteng Kuil ia menatap sekumpulan legiun yang menyemut berjalan di bawahnya, dengan senjata dan bedil yang menyala dalam rentetan tembakan penuh amarah. Tangisan mereka memecah kesunyian malam, bercampur desingan mangonel, hantaman genderang, jeritan orang-orang yang hampir mati, dan mengalahkan suara lain dentuman ritmis dan teratur, sehingga bagi bocah laki-laki itu seluruh bumi seperti sedang membelah secara perlahan. “Tuhan, berbaiklah terhadapku,” bisiknya, mengutip kitab mazmur. “Aku sungguh tertekan; mataku perih akibat kepedihan, juga jiwa dan tubuhku.” Selama enam bulan serangan itu mengepung ketat kota, serasa mencekik dan mencabut kehidupan darinya. Dari posisi awal mereka di Gunung Scopus dan Gunung olive, legiun Romawi, empat di antaranya dipenuhi ribuan pasukan asing, telah merangsek masuk, menerobos setiap garis pertahanan, memaksa orang-orang Yahudi mundur dan melesak masuk ke pusat kota. Yang tewas sudah tak terhitung banyaknya, ditumpas saat mereka mencoba melawan para penyerang, atau tersalib di sepanjang dinding kota serta di seluruh Lembah Kidron, tempat sekumpulan burung Herring ramai berkumpul hingga menutup sinar matahari. Bau kematian terasa di mana-mana, bau yang menusuk dan korosif, yang menyusup ke lubang hidung bagai api. Sembilan hari lalu, Benteng Antonia runtuh; enam hari setelah itu halaman luar dan barisan tiang di kompleks Kuil. Kini yang tertinggal hanyalah Kuil Dalam yang terbentengi, dengan populasi kota yang pernah membanggakan berdesakan bagai ikan di dalam gentong, merintih, kelaparan, turun derajat dengan memakan tikus dan kulit, dan meminum air kencingnya sendiri. Begitu sengsaranya mereka. mereka tetap melawan, dengan penuh kepanikan, tanpa harapan, menghujani batu dan kayu yang dibakar ke arah penyerang, kadang-kadang menyerang dengan tiba-tiba sehingga membuat mundur tentara Romawi dari lapangan luar, hanya untuk menarik mereka kembali, dengan kekalahan telak. Dua kakak bocah laki-laki itu telah tewas pada serangan terakhir, gugur saat mereka mencoba menumbangkan mesin penyerang Romawi. Yang dia tahu, potongan kepala keduanya ada di antara mereka yang kini kembali melewati dinding masuk ke dalam Kuil. “Vivat Titus! Vincent Roma! Vivat Titus!” Suara pasukan Romawi membahana dalam gelombang suara yang menyeruak, mengelu-elukan nama jenderal mereka, Titus, putra Kaisar Vespasian. Di sepanjang arena perang, para pejuang yang bertahan mencoba melakukan balasan dengan juga mengelukan nama pemimpin mereka, John dari Gischala dan Simon Bargiora. Jeritan itu melemah karena mulut mereka mengering. Paru-paru mereka melemah, dan terasa sulit sekali mengumpulkan semangat untuk laki-laki yang, menurut rumor, telah membuat kesepakatan dengan Romawi mengenai kehidupan mereka. Mereka tetap seperti itu selama setengah menit hingga perlahan suara mereka pun semakin menghilang. Bocah laki-laki itu mengeluarkan batu kerikil dari saku tuniknya dan mulai mengisapnya, mencoba melupakan betapa haus dirinya. David nama bocah itu, putra Judah, si pembuat minuman anggur. Sebelum pemberontakan besar terjadi, keluarganya mengelola ladang anggur di teras bukit di luar kota Betlehem. Anggur merah delimanya menghasilkan minuman anggur paling manis yang pernah kau cicipi, seperti sinar matahari di pagi hari musim semi, bagai angin sepoi lembut yang menerobos keteduhan pohon asam. Di musim panas, bocah laki-laki ini membantu memanen dan menginjak-injak buah anggur, tertawa karena merasakan buah yang hancur di kakinya dan bagaimana jus itu membuat kakinya berwarna merah darah. Kini tempat pembuatan anggur itu telah dihancurkan, kebun anggur dibakar, keluarganya tewas, semuanya. Ia sebatang kara di dunia ini. Dua belas tahun usianya, dan telah memikul kesedihan mendalam yang seharusnya ditanggung seorang manusia berumur lima kali usianya. “Mereka datang lagi! Bersiap! Bersiap!” Di sepanjang benteng, jeritan dan tangisan memecah kembali ketika gelombang baru pasukan asing Romawi menghambur ke dinding Kuil, dengan tangga pemanjat di atas kepala mereka, sehingga dalam bayangan nyala letusan senjata, mereka terlihat seperti lusinan kelabang raksasa berlari tergesa-gesa melintasi lapang an. hujan bebatuan menimpa mereka, menyebabkan keragu-raguan beberapa saat sebelum penyapuan kembali dilanjutkan. Mereka mencapai dinding dan menegakkan tangga, masing-masing ditegakkan oleh dua laki-laki di tanah, sementara selusin lebih menggunakan tiang untuk menyembulkannya menghadap arena peperangan. Sekumpulan serdadu mulai campur aduk dengan mereka, berduyun-duyun di sisi Kuil seperti gelombang tinta hitam. Bocah laki-laki itu mengeluarkan sebuah batu yang tadi diisapnya dan meraup batu dari kakinya, menyimpannya dalam tas selempang kulitnya lalu berjalan mengendap-endap ke benteng, mencari target yang pas, lupa akan serangan anak panah yang berdesing dari bawah. Di sisinya ada seorang perempuan, satu dari sekian banyak yang mempertahankan dinding, tersungkur, dadanya terburai oleh pilum berkepala seruit. Darah mengalir dari tangannya. Bocah laki-laki itu mengabaikannya dan terus mengamati pangkat para musuh di bawah. Akhirnya, matanya menangkap pemimpin Romawi yang tengah memegang perisai, Apollinaris, Legiun Kelimabelas. Ia menggeretakkan giginya dan mulai mengayun tali di atas kepalanya, dengan mata tertuju tajam pada sasarannya. Putaran pertama, kedua, ketiga. Tiba-tiba lengannya ditangkap dari belakang. Ia menoleh dan menendang dengan kakinya. “David! Ini aku! eleazar. eleazar si pengrajin emas!” Seorang pria berjanggut tinggi besar berdiri di belakangnya, dengan palu besi terselip di ikat pinggangnya dan kepalanya diikat perban. Bocah laki-laki ini berhenti meronta. “Eleazar! Aku kira kau....” “Orang Romawi?” Laki-laki itu tertawa, melepaskan tangannya dari sang bocah. “Aku tidak sebau itu, ‘kan?” “Aku baru saja mau menghajar pemimpinnya,” kata si bocah mengingatkan. “Tembakan yang mudah sebenarnya. mestinya aku sudah menghajar tengkorak bedebah itu.” Kembali laki-laki itu tertawa, kali ini lebih hangat. “Aku yakin kau pasti bisa. Setiap orang tahu David Bar-Judah adalah penembak katapel terbaik di daratan ini. Tetapi, ada banyak hal yang lebih penting lagi sekarang.” Ia menatap sekeliling, kemudian merendahkan suaranya. “Matthias memanggilmu.” “Matthias!” mata bocah laki-laki itu membesar. “orang yang....” Laki-laki itu menyekap mulut si bocah, dan melihat ke sekeliling. “Jangan keras-keras!” bisiknya. “Ada banyak hal di sini yang rahasia. Simon dan John pasti tidak akan senang kalau tahu ini dilakukan tanpa sepengetahuan mereka.” Mata bocah laki-laki itu berkedip-kedip bingung, tak dapat memastikan apa yang sedang dibicarakan laki-laki di hadapannya. Laki-laki pengrajin emas ini tidak berusaha menjelaskan, hanya menunduk untuk memastikan kata-katanya didengar. Ia kemudian melepaskan tangannya dari mulut bocah itu, memegang lengannya, membawanya berjalan di bagian atas menara dan menuruni tangga yang sempit ke dalam Lapangan Perempuan. Lantai batu yang mereka injak bergetar ketika pasukan Romawi menghujani serangan yang mengenai pintu Kuil dengan kekuatan baru. “Cepat,” katanya. “Dinding ini tidak akan tahan lebih lama lagi.” Mereka bergegas melintasi lapangan, menghindari kepala yang berserakan di lantai batu, dengan anak panah berjatuhan di sekeliling mereka. Pada sisi yang lain, mereka menaiki lima belas anak tangga menuju gerbang Nicanor dan melintasi ruang terbuka kedua, tempat sekelompok kohenim sedang khusuk melaksanakan upacara pengorbanan di depan Altar holocaust. Jubah mereka tepercik noda hitam jelaga. Rintihan mereka menyuarakan semua hal kecuali menghilangkan kekejaman perang. Oh Tuhan, Engkau telah menolak kami, Memecah pertahanan kami; Kau telah marah; Oh, pulihkanlah kami! Kau telah membuat tanah ini berguncang Kau telah menghancurkannya, Perbaiki kerusakannya, Karena ia kini bergetar! Mereka melintasi lapangan dan menaiki dua belas anak tangga menuju serambi mishkan. Bagian depannya yang besar berdiri di belakang mereka seperti tebing dengan tinggi seratus depa dan tanaman merambat terbuat dari emas murni menempel di dindingnya dengan sangat menakjubkan. Di sini eleazar berhenti, menoleh ke arah bocah itu dan berjongkok sehingga mata kedua nya sama tinggi. “Ini tempat terjauh yang bisa kucapai. hanya kohenim dan Pendeta Agung yang dapat melalui tempat suci ini.” “Dan aku?” Suara bocah itu tak beraturan. “Kau diizinkan. Pada saat ini, dalam keadaan luar biasa ini. Matthias telah mengatakannya. Tuhan akan mengerti.” Ia meletakkan tangannya pada bahu si bocah dan mengusapnya. “Tak perlu takut, David. hatimu murni. Kau tidak akan menemui bahaya.” Ia menatap mata bocah laki-laki tersebut, dan kemudian berdiri membawanya menuju pintu besar, dengan pilar kembar perak serta kain tirai berbordir terbuat dari sutra merah, biru dan ungu. “Pergilah sekarang. Semoga Tuhan menyertaimu,” Bocah laki-laki itu balik menatap eleazar, sosok besar yang membayang dengan latar langit membara, lantas menoleh dan, dengan menyingkap tirai, melewati aula berpilar panjang berlantai marmer mengkilap serta langit-langit tinggi hingga seakan hilang dalam bayangan. Dingin sekali di sini, sunyi, dengan penawar racun yang harum tercium di udara. Perang sepertinya mereda dan menghilang, serasa hanya terjadi di dunia lain. “Shema Yisrael, adonai elohenu, adonai ehud,” bisiknya. “Dengar, oh Israel, Ia adalah Tuhan kita, Tuhan yang satu!” Ia berhenti sejenak, terkagum-kagum. Kemudian, perlahan ia mulai melangkah menuju sisi terjauh aula, dengan langkah kaki yang hampir tak bersuara pada marmer putih itu. Di depannya berdiri benda sakral Kuil meja saji, altar emas untuk dupa, menorah bercabang tujuh yang agung di atasnya tersampir kerudung sutra berkilau dan menerawang, pintu masuk menuju debir, yang Suci dari semua yang Suci, yang tak seorang pun manusia dapat masuk ke dalamnya kecuali Pendeta Agung sendiri. Dan ia pun hanya sekali, pada hari Penebusan Dosa. “Selamat datang, David,” terdengar sebuah suara. “Aku telah menunggumu.” Matthias, si Pendeta Agung, melangkah dari bayangan ke sisi kiri bocah itu. Ia mengenakan jubah berwarna biru langit, diikat dengan apron merah dan emas, mahkota tipis di kepalanya, serta pada dadanya ada ephod, lencana sakral, dengan dua belas batu mulia, masing-masing mewakili setiap suku bangsa Israel. Wajahnya penuh keriput, dengan janggut putih. “Akhirnya kita bertemu, putra Judah,” katanya lembut, mendatangi bocah itu dan menatapnya. Gerakannya dibarengi suara gemerincing lembut lusinan lonceng kecil yang dijahit pada jubahnya. “Eleazar, si pengrajin emas telah bercerita banyak tentang mu. Dari semua yang mempertahankan beberapa tempat Suci, katanya, engkaulah yang paling berani. Dan yang paling layak dipercaya. Seperti David dari masa lalu datang kembali. Itulah yang dikatakannya.” Ia menatap bocah laki-laki itu, kemudian menggamit tangannya, membawanya berjalan ke ujung aula dan berhenti di depan menorah emas, dengan cabangnya yang melengkung dan tangkainya penuh hiasan rumit, yang seluruhnya berasal dari balok tunggal emas murni ke bentuk yang dibuat oleh yang mahakuasa itu sendiri. Bocah itu mendongak ke atas melihat lampu yang berkedip. matanya berkilat bagai air berkilau terkena sinar matahari, takjub. “Indah sekali, ‘kan?” kata si orang tua sambil memerhatikan kekaguman yang tampak di wajah si bocah, dan merangkul pundak nya. “Tak ada satu pun benda di muka bumi yang lebih suci bagi kita, tak ada yang lebih bernilai bagi kita, karena sinar menorah Suci adalah sinar dari Tuhan sendiri. Bila saja ia hilang dari kita....” Ia mendesah dan mengangkat tangannya, menyentuhkannya ke lencana yang tersemat di dadanya. “Eleazar orang yang baik,” tambahnya, seolah sebuah renungan. “Bezalel kedua.” Untuk beberapa lama mereka berdiri dalam diam, merenungi tempat lilin agung yang pancaran sinarnya terasa di seputar mereka. Kemudian, dengan anggukan, Pendeta Agung membalikkan badan sehingga ia kini berhadapan langsung dengan bocah laki-laki itu. “Hari ini Tuhan telah memutuskan bahwa Kuil Suci-Nya akan runtuh,” katanya perlahan, “sama seperti yang pernah terjadi sebelumnya, pada awal hari ini, Tish B’Av, lebih dari 600 tahun lalu, ketika Istana Sulaiman diserbu orang-orang Babilonia. Batu suci akan hancur menjadi debu, atapnya hancur, orang-orang kita dibawa ke pembuangan dan tercerai-berai ke arah empat penjuru mata angin.” Ia memundurkan badannya sedikit, menatap dalam ke arah mata bocah laki-laki di depannya. “Ada satu harapan yang kita punya, David. hanya satu. Sebuah rahasia, rahasia besar, yang hanya diketahui oleh sedikit dari kita. Sekarang, pada masa ini, kau juga harus mengetahuinya.” Ia membungkukkan badan ke arah bocah laki-laki itu, merendah kan suaranya dan berbicara cepat, seolah khawatir akan terdengar orang lain, walaupun hanya ada mereka berdua di ruangan itu. mata bocah laki-laki itu melebar saat mendengarkan, tatapannya beralih dari lantai ke menorah dan kembali ke lantai lagi, bahunya gemetar. Begitu pendeta itu selesai berkata, ia meluruskan badannya dan melangkah mundur. “Lihat,” katanya, dengan senyum tipis tersungging pada sudut bibirnya yang pucat, “bahkan dalam kekalahan tetap akan ada kemenangan. Bahkan dalam kegelapan pun tetap ada cahaya.” Bocah laki-laki itu tidak berkata apa-apa. Wajahnya kusut, terperangkap antara kekaguman dan ketidakpercayaan. Pendeta itu meraihnya dan mengusap-usap rambutnya. “Ia telah pergi dari kota ini, menjauh dari pagar Romawi. Sekarang, ia harus meninggalkan tanah ini semua, karena kehancuran kita sudah dekat dan keselamatannya tidak terjamin lagi. Semua sudah diatur. Satu hal yang tetap dan itulah yang disebut penjaga, yang akan menyampaikan benda ini ke tujuan terakhirnya, dan menunggu di sana sampai waktu yang lebih baik datang. Untuk tugas inilah kau telah ditunjuk, David putra Judah. Kalau saja kau mau menerimanya. Akankah kau menerima tugas ini?” Bocah laki-laki itu merasa tatapannya ditarik ke arah pendeta itu, seolah ditarik oleh tali tak kasat mata. mata orang tua itu abu-abu, dengan hipnotis tembus cahaya yang aneh di baliknya seperti awan mengapung di langit luas yang jernih. Ia merasakan sesuatu yang berat dalam dirinya, sekaligus ringan, serasa ia sedang terbang. “Apa yang harus kulakukan?” tanyanya dengan suara parau. Orang tua itu menatapnya, matanya bergerak menyapu seluruh wajah si bocah, memindai semua fitur yang ada seolah wajah tersebut adalah kata-kata dalam sebuah buku. Dengan anggukan, ia merogoh jubahnya lalu mengeluarkan kertas perkamen kecil dan memberikannya pada si bocah. “Benda ini akan membimbingmu,” katanya. “Lakukanlah seperti yang dikatakannya, dan segalanya akan berjalan dengan baik.” Ia menyentuh wajah bocah itu dengan kedua tangannya. “Hanya engkaulah kini yang menjadi harapan kami, David putra Judah. hanya denganmu saja api akan membakar. Jangan katakana rahasia ini pada siapa pun. Jaga ini sepanjang hidupmu. Sampaikan dan teruskan ini pada anakmu, anak dari anakmu, keturunanmu selanjutnya, hingga tiba waktu untuk membukanya.” Si bocah menatapnya. “Tapi kapan, guru?” bisiknya. “Bagaimana aku akan mengetahui waktunya telah tiba?” Pendeta membalas tatapan si bocah untuk beberapa saat, berdiri tegak dan kembali ke menorah, menatap kerlip lampu, matanya perlahan tertutup seakan ia memasuki alam bawah sadar. Keheningan di sekitar mereka semakin senyap dan menghanyutkan; batu permata pada lencananya seakan terbakar oleh cahaya dari dalam dirinya. “Ada tiga tanda untuk membimbingmu,” katanya lembut. Suaranya tiba-tiba terasa jauh, seolah ia bicara dari sebuah ketinggian. “Pertama, yang termuda dari dua belas akan tiba dan di tangannya ada elang; kedua, putra Ismail dan putra Ishak akan bersama sebagai teman dalam Rumah Tuhan; ketiga, singa dan gembala akan menjadi satu, dan di sekitar lehernya ada lampu. Pada saat ketiga hal ini tiba, itulah saatnya.” Di depan mereka, selubung yang menyelimuti yang Suci dari semua yang Suci tampak sedikit menggelembung, dan si bocah merasakan angin sepoi dan lembut menerpa wajahnya. Suara aneh terasa menggema di telinganya. Kulitnya terasa gatal. Ada bau aneh, menyengat dan pengap, seperti Waktu itu sendiri, seandainya Waktu digambarkan memiliki bau. hal ini hanya berlangsung sesaat, dan tiba-tiba, secara mengejutkan, terdengar suara ledakan dahsyat sekaligus benturan dari luar, diikuti jerit an ribuan suara dalam ketakutan dan keputusasaan. mata pendeta itu bergerak-gerak, terbuka. “Sudah selesai,” katanya. “Ulangi tanda-tanda yang tadi kuucapkan.” Si bocah mengulanginya lagi dengan kata-kata tak beraturan. Si orang tua memintanya mengulang kembali, lagi dan lagi sampai ia mengucapkannya dengan sempurna. Suara pertempuran kini menyeruak ke dalam tempat suci bagai air bah jeritan kesakitan, gemerincing senjata, suara benturan reruntuhan. matthias tergesa-gesa melintasi lapangan, melihat pintu masuk, kemudian kembali lagi dengan tergesa-gesa. “Mereka sudah melewati Gerbang Nicanor!” pekiknya. “Kau tidak bisa kembali lewat situ. Ayo, bantu aku!” Dengan melangkah maju, si orang tua meraih tangkai menorah dan mulai menarik serta mendorongnya di lantai. Si bocah membantunya, lalu bersama-sama mereka memindahkannya satu meter ke sisi kiri, melepaskan sekeping marmer persegi dengan dua pegangan yang tertanam di dalamnya. Pendeta itu memegang pegangan tersebut, mengggeser kepingan marmer hingga memperlihatkan ruang seperti gua gelap yang di dalamnya ada tangga batu sempit melingkar turun menuju kegelapan. “Kuil ini memiliki banyak jalan rahasia,” katanya, sembari menggamit lengan si bocah dan membawanya ke mulut lubang, “dan inilah yang paling rahasia di antara semuanya. Turunlah, lalu ikuti lorong itu. Jangan berbelok ke kiri ataupun ke kanan. Ini akan membawamu jauh ke luar kota, arah selatan, melampaui pagar Romawi.” “Bagaimana dengan....” “Tak ada waktu lagi! Pergilah! Kau kini menjadi tumpuan harapan kami. Aku namai engkau Shomer ha-or. Gunakan nama ini. Jaga dia. Temukan kebanggaan di dalamnya. Teruskan pada keturunanmu. Tuhan akan menjagamu. Dan juga memutuskan untukmu.” Ia menyorongkan tubuhnya ke depan, mencium kedua pipi bocah laki-laki itu, kemudian dengan meletakkan tangannya pada kepala si bocah, mendorongnya turun. Ia mendorong kepingan marmer itu kembali menutupi lubang dan meraih menorah, menggesernya pada lantai, menimbulkan bunyi nyaring. Ia hanya memiliki waktu untuk mengembalikannya ke posisi semula hingga terdengar pekikan dari ujung aula, dan bunyi ujung pedang yang beradu. eleazar si pengrajin emas mundur melalui pintu masuk, dengan satu lengannya tergantung lemas di sisinya, ujungnya berdarah, tangannya yang lain menggenggam palunya yang ia ayun secara membabi buta pada barisan legiun yang dating mengejarnya. Untuk sesaat ia berusaha menahan mereka pada tempatnya. Lantas, dengan suara keras menggema, mereka melesak. Ia kewalahan, lalu mundur dan tersungkur di lantai tempat anggota tubuhnya tertumpas serta badannya terinjak-injak. “Yahweh!” teriaknya. “Yahweh!” Pendeta Agung memerhatikannya, wajahnya tanpa ekspresi dan kemudian berbalik pergi, membawa segenggam dupa dan meletakkannya pada wadah di meja altar emas. Uap harum membubung di udara. Di belakangnya ia dapat mendengar orang Romawi mendekat, sepatu mereka yang bersol besar berderap di lantai, bunyi senjata mereka menggema di sekitar dinding. “Tuhan telah menjadi seperti musuh,” bisiknya, mengulang kata-kata dari Nabi Jeremiah. “Ia telah merusak Israel; Ia telah merusak istananya, kekuatannya runtuh!” Para tentara Romawi kini berada tepat di belakangnya. Ia pejamkan matanya. Terdengar suara tawa, dan desingan lembut suara pedang beradu di udara. Untuk sesaat Waktu seakan diam terpaku; kemudian pedang diturunkan, terhunus di antara bahu Pendeta Agung dan ke seluruh tubuhnya. Ia pun doyong ke depan lalu jatuh berlutut. “Di Babilonia, biarkan segalanya istirahat!” ia terbatuk, gelembung darah keluar dari sudut bibirnya. “Di Babilonia, di rumah Abner.” Dan dengannya ia tertelungkup di kaki menorah Agung, mati. Para legiun menyepak mayatnya, memanggul harta benda Kuil diatas bahu mereka dan membawanya dari tempat suci. “Vicerunt Romawi! Victi ludaei! Vivat Titus!” teriak mereka. “Roma telah berhasil menaklukkan! Bangsa Yahudi dikalahkan. hidup Titus!”

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.8K
bc

PLAYDATE

read
118.8K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Pulau Bertatahkan Hasrat

read
624.3K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.9K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.7K
bc

My Secret Little Wife

read
94.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook