JAMAN HITLER TH. 1944

1688 Words
Yitzhak Edelstein merasakan kelelahan di sekujur tubuhnya dan meniup tangannya yang sudah menjadi ungu karena dingin. Sembari menyondongkan tubuhnya ke depan, ia mencoba memerhati kan bagian belakang truk yang ditumpanginya. Namun yang bisa dilihatnya hanya sedikit di bawah kain kanvas penutup paling bawah, selain aspal jalan, batang pohon dan bagian belakang truk. Ia menoleh lalu menekankan wajahnya pada bagian yang robek di tepi kanvas, memandang sekilas pada dataran yang tinggi dan tertutup pepohonan, putih tertutup salju, sebelum pucuk senapan menghantam tumitnya. “Menghadap ke muka. Duduk diam!” Ia meluruskan tubuhnya dan memandang kakinya, tanpa kaus kaki, masuk ke dalam sepatu bootnya, sekadar melindunginya dari udara musim dingin yang membekukan. Di sebelahnya, seorang Rabbi mulai terbatuk lagi, tubuhnya bergetar seakan seseorang menggoyangnya. Yitzhak meraih tangan orang tua itu dan menggenggam di antara tangannya, mencoba membagi kehangatan. “Lepaskan!” bentak penjaga. “Tapi dia....” “Kau tuli ya? Aku bilang, lepaskan!” Ia mengarahkan senjatanya pada Yitzhak. orang tua itu buru-buru menarik tangannya. “Jangan khawatirkan aku, sobat muda. Kami para rabbi jauh lebih tangguh dari yang kalian bayangkan.” Ia tersenyum lemah dan kembali sunyi, mata ke arah lantai, sembari menggigil, berayun ke sana-sini karena truk berbelok kian kemari. Semuanya ada enam orang, tidak termasuk dua penjaga: empat orang Yahudi, satu orang homoseksual, dan satu lagi seorang komunis. mereka digiring dari tenda dan masuk ke dalam truk di pagi buta. Sejak itu mereka telah dibawa berkeliling, timur dan selatan, pikir Yitzhak, walaupun ia tidak pasti. Awalnya tanahnya datar dan basah, berjalan lurus. Namun, selama empat jam terakhir, mereka telah jalan ke depan terus, padang rumput dan hutan secara bertahap beralih menjadi putih tertutup salju. Ada truk lain di belakang truk mereka, dengan satu sopir dan satu orang lain di dalamnya. Tidak ada tawanan di kabin belakang, sejauh perkiraan Yitzhak. Ia mengusap-usapkan tangannya pada kepalanya yang tercukur bahkan setelah empat tahun ia masih belum terbiasa dengan hal itu lalu mengepitkan tangan pada paha dan mengerutkan bahunya, mencoba membiarkan pikirannya mengalir, melawan dingin dan lapar dengan pikiran tentang masa-masa yang lebih hangat dan lebih baik. makan malam keluarga di rumah mereka di Dresden; mishnah yang belajar di yeshiva tua; kegembira an pada hari-hari Suci, khususnya hanukkah, festival cahaya, perayaan yang paling disukainya. Dan tentu saja Rivka, si cantik Rivka, adik perempuannya. “Yitzy, schmitzy, itzy, bitzy!” ia biasa menyanyikan dan mengibaskan pe’ot-nya, dan menarik ujung tali tallit katan-nya. “Yitzy, witzy, mitzy, ditzy!” Betapa lucunya ia dengan rambut hitamnya dan matanya yang berbinar! Betapa ia usil dan badung! “Kalian semua babi!” teriaknya ketika mereka menarik sang ayah ke jalan dan memotong rambut pinggirnya yang keriting. “Kalian babi kotor, jorok!” Karena itulah mereka menarik rambut gadis belia itu, menghempaskannya ke dinding dan menembaknya. Tiga belas tahun usianya dan sangat cantik. Rivka yang malang. Rivka kecil yang malang. Truk menabrak bekas roda dan melonjak keras, membawanya kembali ke masa sekarang. Dengan memandang jauh ke belakang, ia melihat bahwa mereka telah melewati pedesaan yang besar. Ia menjulurkan kepalanya dan, melalui robekan pada kain kanvas, melihat tanda penunjuk jalan di tepi jalan: “Berchtersgaden”. Nama yang terdengar tidak asing, walau ia tidak dapat mengenalinya. “Menghadap ke depan!” bentak si penjaga, geram. “Tidak akan kuulangi lagi.” Mereka berkendara selama 30 menit lagi. Jalan semakin menanjak, tikungan semakin runcing, sampai akhirnya terdengar klakson tajam dari truk di belakangnya, dan mereka pun berhenti. “Keluar!” perintah para penjaga, menohok mereka dengan ujung senapan. Mereka berebut turun dari truk, gelembung udara keluar dari mulut mereka. mereka berada di tengah-tengah hutan pinus yang lebat, berhenti di sisi bangunan batu tua dengan jendela kosong dan atap berlubang. Jauh di bawah sana, di antara cabang-cabang yang tertutup salju, terlihat bidang tanah dengan padang rumput hijau, dengan beberapa rumah di sekitarnya, kecil bagai mainan, gulungan asap keluar dari cerobongnya. Di atas, lereng yang lebat dengan pepohonan semakin menanjak, menghilang di balik kabut dan awan, dan kegelapan di dalamnya menunjukkan adanya pegunungan yang tinggi. Sangat tenang, sangat, sangat dingin. Yitzhak mengentak-entakkan kakinya agar tidak kebas. Truk kedua berhenti di belakang truk mereka. Sembari men julur dari jendela, seorang laki-laki di kursi penumpang, yang mengenakan mantel kulit berkerah tinggi dan sepertinya yang bertanggung jawab penuh, mengatakan sesuatu kepada salah seorang penjaga seraya memberi tanda dengan tangannya. “Baik,” teriak penjaga. “Kemari semua!” Mereka digiring ke belakang truk kedua. Tirai kanvas terkibas ke atas, memperlihatkan peti kayu yang besar. “Keluar! Ayo cepat!” Yitzhak dan si komunis, seorang pria setengah baya yang kurus dengan segitiga merah terjahit pada celananya Yitzhak mengenakan segi tiga kuning berimpitan untuk menunjukkan bahwa ia seorang Yahudi memanjat truk dan memegang sisi-sisi peti. Peti itu sangat berat hingga perlu mengerahkan keduanya hanya untuk menggeser ke lantai metal dan membuatnya sejajar dengan ujung lantai truk. Yang lain kemudian menyangga dan perlahan memindahkan benda itu ke jalan bersalju. “Tidak, tidak, tidak!” teriak laki-laki yang mengenakan mantel, melongok dari jendela mobil. “mereka membawanya. Ke sana.” Ia menunjuk pada bekas reruntuhan bangunan, yang kepadanya sebuah jalur sempit tertutup salju baru memanjang hingga kepepohonan di atas, rupanya sejenis jalan kecil atau rute. “Dan pastikan mereka hati-hati mengangkatnya!” Para tawanan saling berpandangan, dengan sangat pelan mengomunikasikan ketakutan dan kelelahan mereka, kemudian membungkuk dan perlahan mengangkat peti itu lagi, satu orang pada masing-masing sudut, dua orang di bagian tengah, sembari menggerutu. “Ini akan menjadi malapetaka,” gerutu si komunis. “Akan terjadi sesuatu yang sangat buruk!” Mereka bergerak memasuki hutan, dengan kaki tenggelam didalam salju hingga ke betis. Penjaga dan laki-laki yang mengenakan mantel kulit mengikuti di belakang, walaupun Yitzhak tidak berani melihat ke sekeliling karena takut kehilangan keseimbangan. Di depannya sang rabbi terbatuk keras. “Biar aku saja yang mengangkat,” bisik Yitzhak. “Aku kuat. Ini mudah untukku.” “Kau bohong, Yitzhak,” kata si tua dengan suara parau. “Dan buruk dalam hal itu.” “Diam!” bentak salah seorang penjaga di belakang mereka. “Tidak ada yang bicara!” Mereka berjalan terhuyung-huyung mengerahkan seluruh tenaga. Kulit mereka membeku tertusuk hawa dingin. Jalan itu, yang awalnya mengikuti lipatan pada tanah dan sedikit menanjak, kini mulai meninggi dengan tajam, berliku-liku menerobos hutan lalu kembali seperti semula, dengan salju yang semakin dalam. Pada bagian dataran tertentu, si homo kehilangan keseimbangan dan terhuyung, menyebabkan peti menggelongsor ke depan dan menghantam batang pohon, sudut kiri atasnya retak dan terpecah. “Idiot!” bentak laki-laki yang mengenakan mantel kulit! “Bangunkan dia!” Para penjaga melangkah maju dan membantu laki-laki itu berdiri lagi, memaksanya menggotong lagi peti itu di bahunya. “Sepatuku,” ia memohon, sambil menunjuk pada sepatu sebelah kirinya yang entah bagaimana telah terlepas dan separuhnya tertutup salju. Para penjaga tertawa lalu menyepak sepatu itu, kemudian memerintahkan mereka berjalan lagi. “Tuhan menolongnya,” bisik si rabbi. “Tuhan menolong anak yang malang.” Mereka berjalan menanjak, lebih tinggi dan lebih tinggi lagi, sembari melenguh dan merintih. Setiap langkah sepertinya akan mengisap habis sedikit lagi hidup mereka, sampai akhirnya, pada titik ketika Yitzhak merasa ia pasti jatuh dan mati, jalan kecil itu tiba-tiba rata dan mereka muncul dari hutan menghadapi sesuatu yang tampak seperti pertambangan telantar di sisi dalam tepi bukit. Pada saat bersamaan, awan di atas mereka bergerak hingga memperlihatkan gunung yang besar dan tinggi dengan, jauh di sebelah kanannya, bangunan kecil di tepi tebing. Pemandangan ini hanya berlangsung beberapa detik, lantas tertutup kembali oleh kabut tebal, menghilang dengan cepat, membuat Yitzhak bertanya-tanya apakah ia tidak sedang berkhayal saja karena letih dan putus asa. “Di sebelah sana,” teriak laki-laki dalam mantel kulit. “masuk ke pertambangan!” Pada bagian belakang area pertambangan berdiri sebuah batu karang vertikal yang di tengahnya ada pintu, lebar dan hitam, seperti mulut yang sedang berteriak. mereka tersandung ke arahnya, melewati tumpukan batu dan bijih yang tertutup salju, alat derek yang rusak serta kereta terbuka dengan roda tunggal berkarat, berjalan hati-hati di tanah yang tidak rata. Begitu mereka sampai di mulut terowongan, Yitzhak menangkap kata GLÜCK AUF secara kasar dicoretkan pada batu di atas kusennya dan dibawahnya dengan cat putih, tidak lebih besar dari ukuran separuh ibu jari, legenda SW16. “Jalan terus. masuk ke dalam!” Mereka melakukan apa yang diperintahkan, membengkokkan sedikit lutut dan punggung mereka agar peti kayu tidak membentur langit-langit yang rendah. Salah seorang penjaga mengeluarkan lampu dan menyorotkannya ke dalam kegelapan. Tampaklah di hadapan mereka, koridor panjang mengarah kembali ke lereng bukit, dengan sejumlah tiang penyangga kayu dalam jarak teratur. Rel besi terbentang di sepanjang lantai batu yang rata; dindingnya kasar dan tidak rata, menonjolkan batu abu-abu kasar dengan noda tebal di sana-sini dari kristal oranye dan merah jambu yang membuat keretakan pada batu seperti kilat bercabang di langit gelap. Peralatan yang ditinggalkan tercecer di lantai dasar lampu minyak yang berkarat, kepala kampak, ember timah tua, mem buat tempat itu terasa begitu menakutkan. Mereka berjalan kurang lebih lima puluh meter, sampai pada titik ketika rel itu bercabang, satu set mengarah terus ke depan, yang lain membelok ke kanan menuju lorong lain yang tegak lurus dengan terowongan utama, di dindingnya menempel barisan rak kotak dan peti. Sebuah kereta terparkir di dekat pintu ke arah sisi terowongan ini, dan mereka diperintahkan meletakkan peti yang mereka bawa di atasnya. “Ya, begitu. Cukup!” teriak sebuah suara yang muncul dari kegelapan di belakang mereka. “Keluar! Keluar semua!” Mereka berbalik dan berjalan menuju arah sebelumnya, menarik napas berat, merasa lega bahwa siksaan yang mereka alami sepertinya akan berakhir. Salah satu dari orang Yahudi itu membantu si homo yang telapak kaki telanjangnya telah menjadi hitam. Suatu perbincangan sayup-sayup terdengar di belakang mereka, dan kemudian seorang penjaga muncul menghampiri mereka. Laki-laki yang mengenakan mantel kulit tetap berada didalam pertambangan. “Ke sebelah sana!” kata si penjaga, ketika mereka telah sampai di luar. “Di sana, dekat tumpukan batu.” mereka menuruti apa yang diperintahkan, berjalan menuju tumpukan batu dan berbalik. Penjaga itu kemudian mengarahkan senjatanya ke arah mereka. “Oy vey,” bisik Yitzhak, tiba-tiba menyadari apa yang akan terjadi. “oh Tuhan!” Si penjaga tertawa lantang, kemudian kesunyian musim dingin pun terpecahkan oleh suara letusan senjata yang membahana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD