MASA KINI - LEMBAH PARA RAJA

1075 Words
“Bisakah kita pulang segera, yah? ada Alim Al-Simsim di TV, Inspketur Yusuf Izzuddin Khalifa mengisap rokoknya dan mendesah, sembari menatap anaknya, Ali, yang berdiri di sebelahnya memegang-megang hidungnya. Laki-laki ramping, dengan tulang pipi tinggi, rambut tersisir rapi dan mata lebar bersinar, ia memancarkan hawa kehebatan yang tenang, diimbangi humor laki-laki serius yang senang tertawa. “Tidak setiap hari kau mendapatkan kesempatan wisata pri badi dalam situs arkeologi terbesar di mesir, Ali,” katanya membujuk. “Tetapi aku pernah ke sini bersama sekolahku,” gerutu anaknya. “Dua kali. Ibu Wadud sudah memperlihatkan semuanya.” “Aku kira dia tidak memperlihatkan padamu makam Ramses II,” kata Khalifa, “yang telah kita lihat hari ini. Juga Yuya dan Tjuyu.” “Tidak ada apa-apa di dalamnya,” keluh Ali, “hanya kelelawar dan tumpukan perban.” “Tetap saja kita beruntung karena diizinkan masuk ke sini,” kata sang ayah, bersikeras. “Ini belum dibuka untuk umum sejak di temukan pada 1905. Dan asal kau tahu, semua tumpukan perban tua itu adalah bungkus mumi yang asli, karena pencuri makam meninggalkan nya di masa lalu setelah mereka merobeknya dari tubuh mayat.” Si bocah mendongak, jari tangannya tetap pada lubang hidung, sedikit minat terpancar dari matanya. “Mengapa mereka melakukan itu?” “Karena,” jelas Khalifa, “ketika para pendeta membungkus mumi, mereka meletakkan permata dan jimat berharga di antara perban-perban itu, dan pencuri berusaha mendapatkannya.” Wajah si bocah sumringah. “Apakah mereka mencongkel matanya juga?” “Itu aku tak tahu,” kata Khalifa sembari tersenyum. “Walaupun kadang-kadang mereka mencoba mematahkan jari atau tangan. Tapi ini yang pastinya akan kulakukan padamu kalau kau tak berhenti mengorek-ngorek hidungmu!” Ia meraih pinggang si bocah dan menggelitiknya, seakan-akan mencoba mengalahkannya. Ali menggeliat-geliat dan memberontak penuh tawa. “Aku lebih kuat dari Ayah,” pekiknya. “Aku rasa tidak,” kata Khalifa, meraih pinggang dan menjungkir balikkannya. “Aku rasa separuh kuat pun tidak!” Mmereka berdiri di tengah Lembah Para Raja, dekat pintu masuk menuju makam Ramses VI. Ketika itu hari sudah menjelang senja dan kerumunan turis yang memenuhi lembah hampir sepanjang hari kini telah berangsur-angsur pergi, meninggalkan tempat kosong yang menakutkan. Tak jauh dari situ, sekelompok pekerja sedang membersihkan puing reruntuhan dari parit penggalian, sambil bernyanyi tanpa nada saat mereka mengais pecahan batu kapur ke keranjang karet. Jauh di bawah lembah, sekelompok wisatawan memasuki makam Ramses IX. meskipun tempat itu sudah ditinggalkan pengunjung, kecuali beberapa polisi wisata, Ahmad si tukang sampah dan, di lereng sebelah atas lembah, sembari berjongkok di bawah naungan apa pun yang ada, penjaja kartu pos yang aneh dan penjual makanan ringan yang sedang melihat ke arah bawah dengan harapan masih ada yang mau membeli barang dagangannya. “Aku akan menceritakan sesuatu,” kata Khalifa, menenangkan si bocah dan membelai rambutnya. “Nanti kita melihat Amenhotep II secara cepat saja, lalu kita sebut ini sebagai piknik seharian, ya? Tidak sopan rasanya kalau kita pergi sekarang setelah Said kesulitan menemukan kunci.” Saat ia berkata, terdengar teriakan dari kantor inspektur yang berjarak lima puluh meter dari tempatnya, kemudian sosok yang tinggi dan seram datang menghampiri mereka. “Ketemu juga akhirnya!” kata sosok itu, sembari memperlihatkan kunci. “Seseorang telah meletakkannya pada gantungan yang salah.” Said Ibn-Bassat, yang lebih dikenal sebagai Ginger karena rambutnya berwarna tembaga terang, adalah teman lama Khalifa. Mereka bertemu beberapa tahun lalu di Universitas Kairo, tempat mereka belajar sejarah zaman purba. masalah uang telah mendorong Khalifa meninggalkan studinya dan bekerja pada Satuan Kepolisian. Sebaliknya, Said telah menyelesaikan studinya, diwisuda dengan penuh penghormatan dan bergabung dengan Dinas Benda-benda Purbakala, tempat ia meniti karir hingga pangkat asisten direktur di Lembah Para Raja. Walaupun ia tidak pernah berkata bahwa itulah kehidupan yang mestinya dipilih Khalifa untuk dirinya sendiri, dia juga tidak mendorong Khalifa ke jalur yang lain. Ia mencintai zaman purba dan mau melakukan apa pun demi bisa mendedikasikan masa hidupnya untuk bekerja dengan berbagai peninggalan yang ada. Bukan iri pada temannya, tentu saja. Dan Ginger tidak memiliki keluarga seperti dirinya, sesuatu yang membuatnya tidak akan pernah menyerah, tidak demi semua monumen yang ada di mesir. Mereka bertiga mengelilingi lembah bersama-sama, melewati makam Ramses III dan horemheb sebelum berbelok ke kanan dan mengikuti jalur menuju pintu masuk ke makam Amenhotep II, yang berada di bagian bawah sekumpulan anak tangga dan diaman kan dengan pintu besi yang berat. Ginger mulai membuka gerendel kunci. “Berapa lama ini akan tetap tertutup?” Kata Khalifa. “Hanya sebulan lagi. Restorasinya hampir selesai.” Ali mendesak di antara mereka, muncul dengan berjingkat dan memerhatikan bagian dalam yang gelap melalui terali. “Apa ada harta karun?” “Aku kira tidak,” kata Ginger, sembari meminggirkan si anak dan membuka daun pintu. “Semuanya dicuri waktu zaman kuno dulu.” Ia menjentikkan sebuah tombol dan lampu pun menyala, menyinari koridor yang menanjak dan membelok ke batu. Dinding dan langit-langitnya dihiasi pahatan yang bercerita tentang dongeng. Ali menatap ke bawah. “Tahukah kalian apa yang akan kulakukan seandainya aku Raja Mesir?” Ia kembali bertanya pada mereka, suaranya menggema di makam yang sempit. “Aku akan memilih ruang rahasia yang tersembunyi dengan semua harta benda di dalamnya, dan ruang lain yang hanya berisi sedikit harta untuk mengecoh perampok. Seperti laki-laki yang Ayah ceritakan. Inkyman yang mengerikan.” “Hor-Ankh-Amun,” koreksi Khalifa, sambil tersenyum. “Ya. Aku akan memasang jebakan sehingga kalau ada penjahat mana pun masuk, mereka pasti tertangkap. Lalu aku jebloskan mereka ke penjara.” “Mereka masih beruntung,” kata Ginger, tersenyum. “hukuman yang lazim bagi pencuri makam di zaman mesir kuno adalah dipotong hidungnya dan dikirim ke pertambangan garam di Libya. Atau, ditembak dengan paku.” Ia berkedip pada Khalifa dan, sembari tertawa geli, kedua laki-laki itu menyusuri koridor di belakang Ali. mereka baru saja berjalan beberapa meter ketika terdengar derap langkah kaki tergesa-gesa di belakang mereka. Seorang laki-laki yang mengenakan Djellaba muncul di pintu makam, berupa bayangan dalam terangnya langit sore yang cerah, bernapas terengah-engah. “Apakah ada Inspektur Khalifa di sini?” ia bertanya, tersengal-sengal. Detektif itu menoleh ke arah temannya, dan melangkah mundur pada terowongan itu. “Ya, saya detektif Khalifa!” “Anda diminta datang segera, ke sisi sebelah sana. mereka menemukan....” Laki-laki itu berhenti, mencoba mengatur napasnya. “Apa?” kata Khalifa. “Apa yang mereka temukan?” Laki-laki itu menatapnya, dengan mata lebar. “Sesosok mayat.” Dari kejauhan suara Ali mengumandang di antara mereka. “Hebat! Aku juga ikut ya, Yah?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD