MMH #2

1058 Words
Katakan padaku jika ada yang mulai mengetuk pintu hatimu. Jangan risau, aku akan melepasmu demi kebahagiaanmu. Lidya menyandarkan tubuhnya di dinding ruang ICU. Hatinya remuk redam saat melihat kondisi Davin yang terluka parah. Andai saja ia tidak meminta untuk mampir ke rest area mungkin kejadian ini tidak menimpa Davin. Andai saja ia menuruti perkataan Davin dan langsung meluncur ke Bandara. Airmata Lidya tak henti-hentinya mengalir. Ia sama sekali tak ada niatan untuk menyekanya karena semua itu akan percuma. Ia menangkupkan tangannya di depan dada, merapalkan doa dalam hati. Untuk kesembuhan Davin. Selang 10 menit kemudian Dokter membuka pintu ruang ICU. Terlihat jelas kepanikan terpancar dari raut wajahnya. "Keluarga pasien?" "Saya istrinya, Dok!" sahut Lidya cepat dan berdiri didepan Dokter yang melepas masker penutup hidung dan mulutnya. "Kecelakaan ini sangat berakibat buruk untuk suami Anda, Bu." Lidya memejamkan matanya sesaat dan kembali menatap Dokter didepannya, menguatkan hatinya sendiri untuk menghadapi segala kemungkinan apa yang terjadi dengan Davin. "Lalu, bagaimana keadaan suami saya sekarang, Dok?" Dokter dengan nametag bertuliskan Rudi itu menghela nafas panjang sambil menatap lantai rumah sakit. "Pasien dalam keadaan koma." Lidya seketika membekap mulutnya sendiri, airmatanya semakin deras menetes. "Tulang punggung dan tulang ekornya retak. Tempurung kepalanya juga mengalami keretakan tapi tidak sampai mengenai otaknya. Belum lagi patah di bagian tulang kaki dan tangannya. Kemungkinan sembuh sangat kecil dan kalaupun beliau sadar, beliau tidak akan mungkin bisa berjalan normal kembali!" Lutut Lidya seketika lemas begitu juga pandangan matanya yang mulai mengabur. Sekitarnya terasa berkeliling dan seketika tubuh mungil Lidya ambruk. Untung saja Dokter Rudi sigap menangkap Lidya. "Suster! Suster! Ada yang pingsan!" teriak Dokter Rudi dan sedetik kemudian datang 2 Suster sambil membawa brankar rumah sakit. Dokter Rudi meletakkan tubuh Lidya dengan sangat hati-hati. "Periksa keadaannya. Saya akan menangani suaminya!" "Baik, Dok!" kedua suster itu mengangguk dan langsung membawa Lidya ke ruang perawatan. "Bi, aku pengen makan es krim!" rengek Salwa sambil bergelayut manja dilengan kanan Abi. "Es krim? Aku beliin tapi kamu tunggu disini ya!" Salwa mengangguk semangat. "Coklat ya!" pesannya sebelum Abi menghilang dibalik pintu kamarnya. Abi hanya mengacungkan ibu jarinya dan berlalu dari kamar Salwa. Berjalan cepat menuju kantin rumah sakit. Abi menatap lurus kedepan, dkejauhan sana ada 2 suster tampak sedang membawa seorang pasien. Abi sempat menatap sejenak wanita yang kini tengah terbaring dibrankar hijau itu dengan 2 suster membawanya. Abi menghentikan langkahnya sejenak dan menoleh kebelakang. "Bukannya itu wanita yang tadi ya?" gumamnya pelan. Abi mengendikkan bahunya dan kembali melangkah cepat menyusuri lorong rumah sakit. "Rasa coklat 1 ya, Mbak!" pesan Abi. Pegawai kantin mengambilkan pesanan Abi lalu menyerahkan es krim coklat itu. Abi menerimanya sambil menyodorkan uang sepuluh ribu. Tak mau membuat Salwa menunggu lama, ia bergegas kembali ke kamar Salwa. Disebuah ruangan tampak 2 orang suster sedang sibuk mengecek keadaan wanita yang sedang pingsan itu, yang tak lain adalah Lidya. Lidya membuka matanya perlahan dan ia mengernyit saat sebuah cahaya terang menerpa mata hazelnya. Matanya menyipit. "Saya ada dimana ini, Sus?" tanya Lidya lirih. "Diruang perawatan Ibu. Tadi Ibu pingsan di depan ruang ICU!" Mata Lidya terbelalak lebar. Ia lalu bangun dari tidurnya dan langsung turun dari tempat tidur. "Saya harus menemui suami saya!" serunya. "Tunggu, Bu. Kami harus mengecek keadaan Ibu Lidya terlebih dahulu--- "SUAMI SAYA KRITIS, SUS. DAN SAYA HARUS ADA DISANA!" teriak Lidya membuat 2 suster itu bungkam seketika. Lidya mengangkat ujung bagian bawah gaunnya dan melangkah keluar kamar. Ia sempat menolehkan kepalanya kesana kemari, bingung harus kemana. Akhirnya Lidya memilih arah kanan dan berlari di koridor rumah sakit. Bagaimana mungkin ia bisa istirahat jika Davin saat ini sedang membutuhkannya. Mengingat keadaan Davin dan penjelasan Dokter Rudi beberapa menit yang lalu membuat tangis Lidya kembali pecah. Airmatanya berhamburan membasahi kedua pipinya. Lidya tak mempedulikan itu, ia terus berlari menuju ruang ICU yang entah berada dimana. Sementara dari arah berlawanan tampak Abi sedang berjalan sambil menenteng kantong plastik putih. Senyumnya merekah sepanjang koridor rumah sakit. Tapi langkahnya mendadak melambat dan senyumnya sirna saat matanya menangkap sosok wanita cantik tengah berlari kearahnya. Untuk ketiga kalinya Abi bertemu dengan wanita itu. Tanpa sadar Abi menghentikan langkahnya saat wanita itu semakin dekat. Dapat ia lihat, wanita itu begitu terpukul atas apa yang menimpa suaminya. Matanya merah juga pucuk hidungnya. Wanita itu berlari sambil mengangkat sedikit gaunnya yang panjang. Ia melewati Abi begitu saja yang terpaku akan kecantikan dari wanita asing itu. Hingga tanpa sadar, kepala Abi menoleh kebelakang, mengikuti pergerakan wanita itu dan Abi baru sadar saat sosok asing itu sudah menghilang dari pandangannya. Abi menelan salivanya pelan lalu kembali melangkah. Kejadian beberapa detik yang lalu berputar dalam benaknya. Melihat wajah penuh airmata itu membuat dadanya sedikit sesak. Ia bahkan sampai meraba dadanya, merasakan detak jantungnya yang entah kenapa berpacu lebih cepat. Ada apa ini? Kenapa dadanya berdebar saat menatap wajah sendu itu? "Abi, kamu lama banget, sih?" protes Salwa saat Abi sudah duduk di kursi tunggu sebelah tempat tidur Salwa. Bahkan es krim yang dibeli Abi sedikit mencair. "Maaf ya sayang. Tadi aku mampir ke toilet. Kebelet!" Terpaksa. Itu alasan Abi membohongi Salwa. Ia juga tidak tau bagaimana caranya menjelaskan pada Salwa. Lagipula, kesembuhan Salwa jauh lebih penting dari hal apapun. "Besok kamu kerja lagi, ya?" Salwa mulai merajuk. Abi mengangguk lalu tersenyum. Tangannya mengusap kepala Salwa. "Besok ada meeting penting, Sayang. Apa perlu aku panggilin Mbok Siti buat nemenin kamu?" Salwa menggeleng setelah menyendokkan es krim kedalam mulutnya. "Aku maunya sama kamu!" rengek Salwa. Abi kembali tersenyum. "Kan aku kerja, Sayang. Pulang kerja juga langsung kesini!" bujuknya. Entah kenapa Salwa ingin sekali Abi berada disampingnya. Ia merasakan perasaan aneh tapi Salwa tak tau. Ia hanya ingin ditemani Abi. "Besok nggak usah kerja, ya!" pinta Salwa. Kening Abi mengernyit, menatap Salwa dengan ekspresi bingung. 6 bulan Salwa dirawat di rumah sakit baru kali ini Salwa memintanya untuk bolos kerja. Biasanya Salwa akan melepas keberangkatan Abi dengan senyum cerah. Apa mungkin feeling seorang istri begitu kuat? Karena sedari tadi pikiran Abi dipenuhi dengan bayang-bayang wajah wanita asing itu. "Kan besok meeting, Sayang!" bujuk Abi lagi. "Aku janji bakalan pulang cepet dan langsung kesini. Atau---mau aku beliin es krim sekalian?" Salwa tersenyum lalu mengangguk. "Boleh!" sahutnya senang. Abi mendengus pelan, lega rasanya bisa menenangkan Salwa. Ia meraih tubuh Salwa dan membawanya kedalam pelukan. "Bi," panggil Salwa lirih. "Hm?" sahut Abi sambil meletakkan dagunya dipucuk kepala Salwa. "Kamu kalo bosen sama aku bilang ya. Aku bakalan ngelepas kamu!" Sbya, 22 Mei 2018 ayastoria
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD