MMH #3

1183 Words
Jangan menutupi kesedihan dengan sebuah senyuman. Tersenyumlah jika kau merasa bahagia dan menangislah kala kau merasa lara. Saat ini Lidya sedang duduk di sebelah tempat tidur Davin. Bibirnya tak henti-hentinya merapalkan doa untuk kesembuhan suaminya. Sementara itu di sisi sebelah kiri tempat tidur Davin, berdiri seorang wanita paruh baya. Lilian, Ibunda Davin. Matanya juga terlihat bengkak. Ia sesekali menarik nafas panjang dan membuangnya dengan sangat pelan. Ibu mana yang tidak hancur melihat kondisi anaknya yang sangat buruk. Antara hidup dan mati. Dokter sendiri belum bisa memprediksikan kapan Davin akan membuka matanya. Kecelakaan maut itu membuat beberapa syaraf Davin tak berfungsi. "Bangun, Dave!" lirih Lidya sesaat setelah menyelesaikan doanya. Tangan kanannya menggenggam jemari dingin Davin sementara tangan kirinya menggenggam kalung berliontin Salib itu. Lidya menatap wajah pucat Davin. Ada selang besar yang dimasukkan kedalam mulutnya. Hidungnya juga tertancap selang oksigen. Kedua tangannya tertancap jarum. Satunya untuk infus dan satunya lagi untuk transfusi darah. Merasa tidak kuat dengan apa yang dilihatnya, Lidya berdiri dari kursinya dan melangkah pelan keluar dari kamar Davin. Dikoridor rumah sakit ada kursi panjang yang menghadap ke arah taman didepannya. Lidya memilih duduk disana. Menyeka kedua pipinya dengan kasar walau akhirnya airmata itu tetap menetes juga. "Aku berangkat ya, Sayang!" Abi mengecup lembut kening Salwa sebelum berangkat ke kantor. "Hati-hati, ya!" sahut Salwa. Abi mengangguk dan tangannya perlahan megusap lembut pipi Salwa. "Pulang kerja langsung kesini, kan?" Abi mengangguk lagi. "Pasti, Sayang. Kamu mau nitip sesuatu?" Salwa menggeleng lemah dengan wajah tertekuk. "Aku cuman mau nitip sama Allah agar selalu menjaga kamu disaat jauh dariku!" "Ciyeeee, udah bisa menggombal ya!" goda Abi membuat pipi Salwa merona. "Kamu ih!" rengek Salwa manja. "Udah sana berangkat ntar telat!" "Iya, Sayang. Makannya jangan telat ya!" pesan Abi sebelum melangkah pergi. Salwa tersenyum lembut menatap kepergian Abi. Sepi dan sunyi. Inilah hari-hari Salwa dirumah sakit. Tak ada sanak saudara yang menemaninya karena memang hanya Abi yang ia miliki. Abi melangkah lebar sambil menenteng tas kerjanya. Senyumnya merekah kala menyapa beberapa keluarga pasien yang dilewatinya. "Berangkat ya, Mas Abi?" sapa salah seorang laki-laki tua yang sedang duduk di kursi tunggu. "Iya, Pak. Mari!" sahut Abi ramahnya. "Iya, Mas. Hati-hati!" Abi membungkukkan badannya sedikit saat lewat didepannya.  3 bulan tinggal di rumah sakit membuat Abi banyak dikenal beberapa keluarga pasien. Mengingat sikap Abi yang sangat ramah membuat siapa saja menaruh simpati padanya. Waktu yang terus berjalan membuat Abi sedikit mempercepat langkahnya. Hari ini ada meeting penting dengan beberapa klien dari Luar Negeri. Tapi baru beberapa langkah menyusuri koridor rumah sakit, matanya dikejutkan dengan pemandangan didepannya. Seorang wanita sedang duduk dikursi dengan pandangan mata lurus menatap kedepan. Wajahnya begitu pucat dengan kantung mata yang begitu terlihat. Abi sengaja memperlambat langkahnya demi bisa mengamati wanita itu. Wanita yang ditemuinya beberapa hari yang lalu. Wanita cantik dengan berbalut gaun pengantin putih. Bolamata Abi bergerak kesamping, melirik wanita itu dari ekor matanya. Andai saja hari ini ia tidak ada jadwal penting, mungkin ia akan menyempatkan waktu untuk menyapanya. Hingga sore menjelang, Lidya masih betah berada disana. Usapan lembut tangan Lilian membuatnya tersentak dan mendongak. "Istirahat, Sayang. Jangan menyiksa dirimu seperti ini!" seru Lilian pelan. Lidya menggeleng dan mengalihkan pandangannya, kembali menatap taman didepannya. "Dave sangat membutuhkan dukungan dari kamu. Hanya kamu kekuatan yang Dave miliki. Jangan siksa dirimu dengan cara seperti ini. Percayakan pada Tuhan bahwa semua akan baik-baik saja!" Airmata Lidya perlahan menitik. Perih diperutnya tak sepadan dengan perih didalam hatinya. Sejak masuk rumah sakit, tak ada makanan yang masuk ke dalam perutnya. Semuanya terasa hambar saat Lidya mencoba memakannya. Melihat tak ada respon dari menantunya, membuat Lilian bergerak. Ia masuk kedalam kamar mengambil kotak makanan dan membawanya keluar menghampiri Lidya. Lilian duduk disebelah Lidya dan tangannya bergerak membuka kotak makanan itu. "Ayo makan, Sayang!" titah Lilian sambil mengambil sepotong buah apel yang sudah dipotong-potong itu lalu menyodorkan kedepan mulut Lidya. Wanita itu tak bergeming dan menutup rapat mulutnya. Lilian menghela nafas pelan dan memilih meletakkan potongan apel itu kedalam kotak. "Mami nggak mau dua orang yang Mami sayangi kayak gini. Cukup Dave saja yang menderita, Lid. Mami nggak mau liat kamu kayak gini!" ucap Lilian lalu meletakkan kotak makanan itu di pangkuan Lidya. "Makanlah, Sayang. Mami mau melihat keadaan Dave!" Lilian memilih pergi dan meninggalkan Lidya sendiri. Mungkin Lidya butuh waktu untuk sendiri. Tapi sepeninggal Lilian, Lidya masih terdiam. Lagi-lagi airmatanya menitik dan melewati pipi chubbynya. Kesibukan Abi dikantor membuat laki-laki itu sedikit lelah. Ia harus pintar-pintar mengatur waktu antara pekerjaan dan Salwa. Melangkah menyusuri koridor rumah sakit sementara tangannya bergerak melonggarkan dasi yang mengikat lehernya. Penat dan lelah. Tapi semua itu terbayar dan hilang saat menatap wajah cantik Salwa. Lagi dan lagi mata Abi menangkap sosok wanita asing itu. Pagi tadi wanita itu duduk disana dan menjelang sore hari, wanita itu masih saja berada disana. Apa yang terjadi dengan suaminya hingga membuat ia begitu terpukul? Rasa keingintahuan Abi begitu besar hingga ia melupakan rasa penat yang melandanya. Langkahnya melambat dan ia memutuskan untuk duduk di sebelah wanita itu. Matanya masih saja menatap wajah sendu itu. Lalu pandangannya beralih menatap kotak makanan yang ada di pangkuannya. Timbul sedikit rasa nyeri dalam dadanya. Begitu sakit ia melihat wajah sendu itu. Abi masih diam, ia sibuk merangkai kosakata untuk mengawali obrolan. "Hei," sapa Abi pada akhirnya. Ia bingung harus memanggilnya apa. Mbak? Tidak mungkin karena dilihat dari garis wajahnya, wanita itu terlihat lebih muda darinya. "Hei," sapa Abi lagi. Tak disangka wanita itu menoleh dan menatap dirinya. Bolamata hazel itu mampu membuatnya membeku. Mata yang indah namun penuh luka. Abi melemparkan senyumnya membuat wanita itu kembali mengalihkan pandangannya. Tak kehabisan akal, Abi mencoba mencari cara lain untuk mengajaknya bicara. "Mungkin kamu perlu tau sesuatu!" ucap Abi pelan. "Kesehatan itu mahal harganya. Makanlah!" Mendengar ucapan laki-laki asing disebelahnya, Lidya kembali menoleh. Laki-laki itu tak mengenalnya begitu juga sebaliknya, ia sama sekali tak mengenal laki-laki asing itu. Bahkan bertemupun tidak pernah. "Jangan terlalu peduli padaku!" sahut Lidya sinis. Abi mengangguk sekali lalu tangannya meraih sepotong apel itu dan menyodorkan kearah Lidya. "Setidaknya hargai apel ini. Dia diciptakan untuk memenuhi kebutuhan kita. Apa kamu akan menyia-nyiakannya? Itu sama saja kamu tidak menghargai Penciptanya!" Raut wajah Lidya seketika berubah dan ia kembali menatap laki-laki asing itu. "Abi!" Abi menjulurkan tangannya dan menunggu respon dari wanita disebelahnya. Tapi sayangnya dayung tak bersambut. Lidya lebih memilih memunggut sepotong apel didalam kotak makanan itu dan melahapnya. Abi sama sekali tidak kecewa atas sikap Lidya. Ia malah tersenyum lebar melihat Lidya mau mendengar nasehatnya. Abi menarik pelan uluran tangannya yang sempat terabaikan. Ia membenarkan duduknya dan memilih mengamati wajah Lidya. Saat mata Abi menangkap buliran bening menetes dari mata hazel itu, senyum Abi sirna. Entah apa yang ia lakukan ini benar atau salah, jemari Abi bergerak mengusap pipi chubby itu. Kunyahan Lidya seketika terhenti. Dengan perasaan bingung ia menoleh kesamping dan mendapati Abi tersenyum kearahnya. Bukannya berhenti tapi airmata Lidya semakin berjatuhan. Sedetik kemudian ia merasakan seseorang menarik kepalanya dan memeluknya. Dada bidang itu begitu hangat hingga membuat kedua mata Lidya terpejam. "Kamu tidak sendiri di dunia ini. Setidaknya kamu ingat masih ada Sang Pencipta yang mengawasi kita dan satu hal lagi. Ada aku!" Surabaya, 28 Mei 2018 ayastoria
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD