FELIX - 2

1570 Words
“Aku senang Dr. Parker merekomendasikan diriku padamu, Alena.” Alena tersenyum tipis. Jemarinya saling memilin di atas pangkuannya. Keputusan untuk berpindah dari Manhattan ke London dan memutuskan untuk kembali bekerja di dunia periklanan membawa Alena pada awal kehidupannya yang baru. “Ya, aku juga senang. Karena… aku sudah bisa menjalani kehidupanku dengan lebih baik,” ucap Alena dengan suara bergetar. Wajah cantiknya tidak lagi sepucat dulu, lebih tampak berseri dan merona. “Apa kau masih mengalami mimpi buruk, Alena?” Pertanyaan yang meluncur cepat dari Eva Anderson, ahli kejiwaan yang selama ini menjadi tempat konsultasi Alena sejak kepindahannya ke London. Eva menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa di belakangnya. Menatap Alena dengan tatapan lurus. “Tidak. Aku sudah tidak bermimpi buruk. Hanya…” Alena menggantungkan kalimatnya, ia menundukan wajahnya untuk beberapa detik sebelum kembali menatap Eva di seberangnya. “Hanya sesekali dan … aku merasa bagai bayangan gelap.” “Kau meminum obatmu?” Alena mengangguk pelan, menarik napas dalam dan menghembuskannya dengan berat. “Apa kau masih memiliki persediannya?” tanya Eva kali ini tanpa menunggu Alena untuk menjawab. Ia meraih pena yang berdiri tegak di antara spidol dan peralatan tulis lainnya yang mengisi sebuah tabung kecil. “Aku, hanya tinggal beberapa saja,” ucap Alena. Ia mencoba mengingat. “Kau ingin aku meresepkannya kembali?” “Ya, jika Anda tidak keberatan.” Eva tersenyum, ia meraih buku resep yang ia letakkan di atas meja kecil yang ada di sisi kanannya. Ia menuliskan catatan pada permukaan kertas resep yang dibukanya sedangkan Alena menyapukan tatapan matanya ke beberapa sisi ruang praktik milik Eva. Ruangan bercat putih dan biru. Sebuah lukisan yang tergantung di salah satu sisi dinding. Layar televisi datar dan satu set sofa yang terlihat nyaman. Namun Eva selalu mengajak Alena untuk berbincang di sebuah sofa panjang dan mereka duduk berhadapan di setiap sudut sofa. Terasa lebih santai dan menyenangkan. Berjam-jam lamanya Eva dan Alena akan saling berbincang, bertanya dan mencatat. “Aku menurunkan dosisnya. Kau hanya meminumnya saat kau benar-benar membutuhkannya, Alena,” ucap Eva sambil menyodorkan selembar kertas bertuliskan tulisan tangannya yang Alena tak yakin dapat membacanya, berukir dan tajam. “Kapan saya harus kembali?” Pertanyaan Alena bersamaan saat ia meraih tasnya di atas lantai untuk memasukan kertas di tangannya ke dalam tas tangannya. “Bulan depan. Karena sepanjang dua minggu ini aku akan kembali ke Manthattan,” ungkap Eva dengan santai dan keningnya berkerut saat menyadari perubahan wajah Alena yang ada di hadapannya. Ia tampak pucat dan terlihat tegang. “Kau baik-baik saja, Alena?” Suara Eva yang memecah lamunan Alena. Mata coklatnya berbinar, meski tak secerah sebelumnya. “Kau teringat malam itu?” Alena menelan ludah, ia tak langsung menjawab pertanyaan yang diajukan Eva. Catatan yang diberikan Dr. Parker padanya mengenai Alena, jelas tertulis jika kejadian malam kelam itu berlangsung di kegelapan apartemen milik ibu Alena di tengah kota Boston. “Maaf kan aku, Alena,” desis Eva. Alena menanggapinya dengan senyum getir. “Baiklah, jika memang sudah tidak ada lagi, aku akan pergi.” “Apa yang akan kau lakukan akhir pekan ini?” tanya Eva mencairkan suasana. Ia ikut beranjak dari sofa saat Alena telah berdiri dan keduanya berhadap-hadapan. “Mungkin menikmati kota London, sebelum aku… memulai hari pertamaku bekerja.” “Kau berhasil mendapatkannya?” Alena mengangguk antusias. Wajahnya lebih terlihat bersinar. “Syukurlah. Aku harap kau menikmati kehidupanmu di London.”     Sore itu Rudolf telah berada di tengah ruang dalam apartemen mewah yang akan ia tempati selama di London. Pemandangan kota London di bawah rintik hujan, lampu-lampu jalanan yang mulai terlihat menghiasi cahaya langit yang berubah menuju gelap. “Aku ingin kau memeriksa semua draft perjanjian bisnis itu, Cary. Pastikan segalanya benar.” Rudolf menyesap bir dalam botol yang ada di tangannya. Matanya lurus menatap jendela apartemen yang masih terbuka, langit kota London yang terbentang. Ada keheningan yang menyelinap, meski tak lama. “Aku ingin pertemuan yang singkat dan tidak bertele-tele. Kau mengerti?” Rudolf beranjak dari kursi bar yang ia duduki, melangkah ke arah balkon, menggeser pintu kaca di hadapannya. “Aku harap semuanya sudah jelas bagimu. Kita bertemu besok.” Rudolf mematikan ponselnya dan memasukannya ke dalam saku celana yang dikenakannya. Tubuh tegap Rudolf berdiri di tengah balkon, memandang ke depan, bayangan gadis masa lalu yang berkelebat di kepalanya, tak mampu ia singkirkan. Apartemen yang seharusnya ia tempati bersama sosok masa lalu itu, kini harus ia tempati seorang diri. Rasanya menyesakkan dan ia ingin segera menyingkir. Rudolf terdiam begitu lama yang seakan sedang menyesapi semua rasa, memaknai waktu yang bergulir sebelum ia kembali masuk ke dalam dan meraih jaketnya yang tersampir di lengan sofa. Langkah lebar melewati pintu dan berdiri di depan lift yang membawanya ke parkiran.     Alena terbangun seiring dengan suara jeritan yang diredam dengan telapak tangan lebar yang berkeringat, membekap mulutnya. Beban berat menghalangi napasnya disaat tangan lain dijejalkan ke balik gaun tidurnya, meraba-raba dan meremas. Kepanikan menyerangnya dan ia menggeliat-geliat, kakinya menendang-nendang dengan panik. “Tidak…. Tolong jangan… Tidak. Jangan lagi.” Sambil terengah-engah bagaikan anjing, Colin Steward menyentakkan kaki Alena hingga terbuka. Benda keras di antara kedua kakinya menusuk-nusuk sembarangan. Mendesak paha bagian dalam, Alena tidak mampu menyingkirkannya. Ia tidak bisa menghindar. “Hentikan! Menyingkirlah dariku. Jangan sentuh aku. Oh Tuhan, tolong jangan lakukan ini padaku. Jangan sakiti aku. Moooom!” Tangan Colin menahannya, mendorong kepala Alena ke bantal. Semakin kuat ia melawan, Colin semakin senang. Sambil mengucapkan kata-kata buruk dan mengerikan di telinga Alena, ia menemukan area lembut di antara kedua kaki Alena hingga gadis itu terkesiap, bergeming karena rasa sakit yang teramat sangat. “Ya,” erang Colin, “…menyukainya begitu aku berada di dalam dirimu, pelacur kecil seksi, kau menyukainya?” Alena merasakan sulit bernapas. Ia terisak gemetar, hidungnya berada dalam dekapan. Matanya berkunang-kunang, dadanya terasa terbakar. Alena mencoba melawan lagi, ia membutuhkan udara, sangat membutuhkannya.   “Alena! Bangun! Alena!” Matanya seketika terbuka saat mendengar suara perintah keras itu di telinganya. Alena menjauhkan diri dari tangan yang mencengkeram lengannya, mencoba untuk membebaskan diri. Alena merangkak, berjuang untuk membebaskan diri dari selimut yang melilit tubuhnya, dan ia terjatuh. Rasa sakit seketika saat tubuhnya terjatuh ke lantai membuat Alena terjaga sepenuhnya, dan menyadari kesakitan dan ketakutan yang mengerikan meluncur melewati tenggorokannya. “Astaga! Alena. Jangan lukai dirimu sendiri.” Alena menarik napas dalam-dalam dan bergegas merangkak ke dalam kamar mandi. “Alena.” “Aku ingin muntah,” Alena terkesiap, membekap mulutnya dengan satu tangan sementara ia merasakan perutnya bergemuruh. Ia berlari dan membungkuk di depan toilet, memuntahkan semua isi perutnya dari makanan yang ia masukan ke dalam perut sore tadi sepulang dari klinik Dr. Anderson. Delia berdiri tepat di sampingnya, membantunya memegangi rambutnya yang tergerai. “Keluarkanlah isi perutmu jika bisa membuatmu lebih baik, Alena.” Alena merasakan perutnya telah benar-benar kosong, dan ia menarik tuas toilet, menyambar beberapa lembar tisu untuk mengusap bibirnya sebelum ia beranjak dari lantai. “Aku sudah lebih baik, Delia. Maafkan aku karena---” “Sudahlah, Alena sayang. Apa kau jadi menemui Dr. Anderson?” Delia berdiri di hadapan Alena sambil bersandar pada tepian meja wastafel di belakangnya. “Ya, aku menemuinya.” Alena beranjak dari tempatnya, melewati Delia. “Lantas, dia mengatakan apa?” “Tidak ada. Seperti biasanya.” “Tapi kenapa---” “Aku sendiri juga tidak tahu.” Sela Alena dengan langkah menuju ke dapur. Ia berjalan mendekat ke arah meja dapur, mengeluarkan sebuah mug dari dalam lemari yang ada di atas kepalanya, mengisinya dengan air panas dan sebungkus teh bubuk. Membiarkannya bercampur menjadi larutan yang berubah menjadi warna coklat. “Kau masih bermimpi tentangnya?” Alena menoleh, mendapati Delia menatapnya dengan lurus, pandangan matanya menunggu jawaban dan penjelasan meski pada kenyataannya, Alena juga tidak memiliki hal itu. “Maafkan aku, karena…aku merusak tidurmu malam ini.” “Sudahlah, Alena. Aku hanya mengkhawatirkanmu,” ungkap Delia dengan suara yang terasa begitu tulus tanpa dibuat. “Kau baru pulang?” pertanyaan Alena sambil meraih mug di hadapannya. Menggenggam mug itu dengan kedua telapak tangannya. Merasakan hangat dan aroma teh yang menguar dari dalam mug. “Beberapa menit lalu dan aku mendengar kau berteriak.” “Kau ingin teh juga?” “Tidak. Aku akan tidur. Kau tidak apa-apa jika aku tinggal tidur? Atau…” Delia berhenti mengatakannya. Keduanya saling bertatapan. “Tidurlah, aku akan menghabiskan tehku terlebih dahulu.” “Kau harus tetap tidur. Usahakan untuk beristirahat Alena.” “Ya. Tentu.” Delia beranjak meninggalkan Alena seorang diri di dapur bersama secangkir teh panas. Meresapi keheningan kota London. Alena membuang tatapan matanya jauh keluar jendela kaca apartemen tempatnya tinggal. Langit yang benar-benar gelap dan tak berbintang. Sisa rintik hujan yang membasahi kaca. Alena meletakkan mug dalam genggamannya di atas meja dapur, berjalan memutari meja dan melangkah mendekat ke arah jendela. Mengulurkan telapak tangannya ke permukaan kaca yang tampak buram. Merasakan dinginnya sisa hujan dan bayang-bayang masa lalu itu seakan meletup di kepalanya. Berdiri dan memandang hujan bersama sambil berpelukan seakan telah lama berlalu. Meresapi makna kehidupan. Merasakan kehangatan cinta yang seakan kekal abadi sebelum semuanya terkoyak, direnggut paksa. Gaun pengantin yang ditinggalkannya dalam apartemen yang dijadikan tempat terkelam baginya. “Aku ingin kehidupan di Eropa, Felix. Memulai keluarga kecil kita di sana.” Suara miliknya sendiri yang terdengar bagai mimpi yang sirna berubah menjadi teriakan histeris, mencekam dan siksa tanpa akhir. Bayangan wajahnya silih berganti dengan rasa sakit yang menghujam. “Ya Tuhan,” desis Alena dan air mata itu jatuh.      ***  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD