FELIX - 1

1665 Words
Gadis itu melangkah anggun dengan rambut panjang tergerai. Melewati pintu salah satu kafe yang berada di kawasan The Friedenskirche, Jerman. Gadis itu telah merubah dunianya dalam sekejap. Wajah cantik dan senyum manisnya terasa bagai buaian yang nyata. “Hi semua, maaf kami terlambat,” ujar Nathan dengan wajah penuh senyum. “Bagaimana kabarmu, Rudolf?” tanya Nathan sebelum ia membawa Anya berdiri didekatnya. Lengan Nathan yang melintang di pinggang ramping Anya cukup membuat Rudolf menatap dengan alis naik sebelah. “Kabarku baik.” Tatapan mata Rudolf tertuju pada Anya yang tampil cantik dengan terusan bercorak dan membiarkan rambut coklatnya tergerai. “O iya, kenalkan, ini Anya, istriku. Sayang, kenalkan ini Rudolf, rekan bisnisku.” Nathan memperkenalkan keduanya dan dengan senang hati Anya menerima perkenalan itu. Meski ia merasa risih dengan tatapan mata Rudolf yang tak lepas menatapnya. “Senang berkenalan dengan Anda,” ucap Anya dan ia terkejut saat sebuah kecupan mendarat di punggung tangannya. Anya dengan senyumnya, dan kulit tangannya yang terasa hangat serta bertekstur mulus mengenai kulit Rudolf membuat hatinya bergetar hebat.   “Rudolf, apa kau melihat Nathan?” Penggalan masa lalu itu menguap. Suara milik Anya yang mengejutkan Rudolf. Membuatnya lepas dari lamunan. Matanya mengerjap, ia menoleh untuk menatap Anya yang berdiri sambil menggendong bayi mungilnya yang tersenyum memamerkan gusinya. “Aku, aku tidak melihatnya, An,” ujar Rudolf sebelum ia meraih jemari mungil balita dalam gendongan Anya. Bayi bernama Alina itu tersenyum merekah saat Rudolf mencoba untuk mengajaknya berbicara hingga membuatnya terkekeh. “Boleh aku menggendong, Alina, An?” tanya Rudolf bertepatan dengan kemunculan Nathan di antara mereka. Anya menoleh dan mendapati Nathan mengangguk, lalu Anya menyerahkan Alina pada Rudolf. Membiarkannya untuk menggendong Alina yang mungil dalam dekapan dada Rudolf yang lapang. Alina terus terkekeh, terlihat senang. “Aku rasa kau sudah cocok menjadi seorang ayah, Brother,” ungkap Nathan sambil merangkul bahu Anya. Rudolf bergeming, ia terus menunjukan ekspresi lucu di hadapan Alina yang mencoba untuk menggapai wajah Rudolf dengan jemari mungilnya. Nathan dan Anya hanya menatap keduanya yang terkekeh hingga beberapa menit setelahnya. “Aku rasa sudah cukup bermainnya, Sayang. Aku kembalikan pada ibumu, ya?” ucap Rudolf pada Alina seakan balita itu mengerti akan maksudnya. Rudolf menyerahkan kembali Alina dalam pelukan Anya. “Aku ingin memberitahu kalian jika… malam ini aku akan terbang ke Sydney.” Keheningan menyelinap untuk beberapa detik, membuat Anya dan Nathan saling melirik sebelum menatap Rudolf kembali. Alina menjulurkan jemari mungilnya ke arah Rudolf dan minta untuk digapai, namun Rudolf hanya tersenyum. “Kau akan menetap di sana? Katakan tidak untuk hal itu,” ucap Nathan dengan wajah serius. Perseteruan keduanya seakan tak pernah terjadi dalam kehidupan mereka. Meski pada awalnya hubungan Nathan dan Rudolf bagai musuh besar hanya karena perasaan cinta Rudolf yang datang terlambat dalam kehidupan Anya.  Tapi kini, Nathan dan Rudolf tergambarkan bagai kakak beradik yang saling mendukung. “Ya aku akan menetap di sana.” “Kenapa?” tanya Anya tiba-tiba diluar perkiraan Rudolf. Keduanya bertatapan, manik coklat Rudolf bertemu pada satu titik dengan manik biru mata indah Anya. Dunia Rudolf seakan berhenti, perasaan itu mendesir kembali, keduanya seakan terjebak sebelum Alina merengek tiba-tiba membuat Rudolf dan Anya menatap Alina bersamaan. “Sepertinya haus,” ucap Rudolf. “Ya, kau benar,” timpal Anya mencoba menenangkan Alina. “Aku akan membawanya ke dalam. Kau berhutang penjelasan padaku, Rudolf.” Rudolf dan Nathan terkekeh sebelum Anya beranjak masuk membawa Alina. Meninggalkan Nathan dan Rudolf di teras rumah. Keduanya terdiam beberapa detik. “Kau ingin menjelaskannya padaku?” tanya Nathan, ia menatap Rudolf yang berdiri tak jauh darinya. Ada jeda sebentar sebelum Rudolf menoleh kearah Nathan. “Kau ingin penjelasanku yang sejujurnya atau---” “Karena Anya?” Nathan langsung menembakkan pertanyaan yang membuat Rudolf mematung seketika. Nathan menatap Rudolf lurus. Rudolf membuang tatapan matanya lurus ke depan. Hamparan rumput hijau yang tingginya sama rata. Taman hijau yang terawat. “Ya, karena Anya,” ucap Rudolf bagai sebuah pengakuan. Ia tak menoleh meski Nathan menatapnya. Rudolf membayangkan wajah Anya, keberadaan Anya setiap harinya di bawah pohon nan rindang di samping halaman rumah keluarga Felix. Anya yang menggendong bayi mungil cantik, Alina Natasha Stephenson. “Aku harus mengakuinya, Nath.” Rudolf menoleh untuk menatap Nathan yang telah lebih dulu menatapnya. “Sejujurnya, Anya telah mengingatkan aku pada seseorang dari masa laluku, Nath.” Rudolf menghentikan kalimatnya, ia menghela napas dan ada jeda sebentar. “Aku mencoba berpikir jika apa yang aku rasakan pada Anya selama ini, bukan lah perasaan cinta. Melainkan pelarian semata.” Bayangan wajah cantik seorang wanita dan wajah Anya berkelebat dalam pikiran Rudolf. Melintas silih berganti. Rudolf tertunduk, tersenyum seorang diri sebelum menoleh ke arah Nathan. Keduanya saling bertatapan. “Aku bahagia melihat kalian bahagia. Aku juga berhak bahagia seperti dirimu dan Anya. Aku---” “Aku sudah berpikir hal itu,” sela Nathan kali ini. Keduanya diam, jeda dalam keheningan. “Aku dan Anya sudah berencana untuk pindah,” sambung Nathan yang membuat Rudolf menatap dengan curiga dan alisnya berkerut. “Tidak perlu, aku tak yakin Mom akan setuju.” Nathan terkekeh sebentar membayangkan kemarahan Kate jika tahu rencananya. “Aku pergi karena ada urusan bisnis yang harus aku selesaikan, Nath. Aku sudah mengatakannya pada, Mom.” “Dan kau baru mengatakannya padaku sekarang?” protes Nathan. Keduanya saling bertatapan. Rudolf menghela napas panjang dan menghembuskannya dengan kasar. “Aku titip Mom. Aku sangat mencintainya, layaknya Ibu yang melahirkanku.” Rudolf mengatakannya dengan ketulusan. Matanya berbinar. Keheningan kembali menyelinap di antara keduanya. Ada banyak makna tersirat dari keduanya. “Ada dua wanita cantik yang harus kau jaga dan bahagiakan, Nath. Aku yakin kau mampu melakukannya.” “Kau berengsek, Felix,” seloroh Nathan sebelum keduanya berpelukan. Rudolf merasakan kelegaan yang luar biasa dalam dirinya. Pengakuannya pada Nathan akan perasaannya pada Anya yang hingga kini masih terasa hangat. Cinta yang tak berbalas, meski terasa menyiksa, namun Rudolf tak ingin beranjak dari rasa itu.   ***   Satu tahun berselang…Tik tok tik tok…   Kantor pusat perusahaan periklanan yang menempati dua lantai di gedung mewah di Circular Quay dengan pemandangan Sydney Harbour yang menakjubkan. Ini perusahaan Rudolf Felix. Miliknya sendiri. Ia membangunnya, merumuskan konsepnya dari apa yang akan direspons pasar dan ia terbukti benar. Teramat sangat benar. Rudolf kian matang dalam intuisi bisnis, semua terlihat dari bisnisnya yang kian menggurita. Sementara ia berdiri di dekat jendela, menatap Opera House dan jembatan gantung besar di latar belakang, dengan sinis Rudolf berpikir semua orang tahu seks bisa dijual. Seks dan glamor. Tetapi ia juga mengenal baik dua hal tersebut secara pribadi, sangat tahu sampai bisa mengemasnya lebih baik dari pada orang lain, membentuk dampak yang sangat mudah diingat, menempatkan target produk dalam otak orang-orang. Gayanya membuat iklan menjadikan Rudolf pria kaya raya, sangat mampu mendapatkan pemandangan seharga sejuta dolar ini, baik di tempat kerja maupun di penthouse miliknya di Woolloomooloo. Di sinilah Rudolf kini. Ia berdiri di puncak dunianya, sangat mandiri, pria yang sukses atas usaha sendiri. Ia tidak mengambil apapun dari siapapun. Tidak perlu. Meski keluarga dari sang ayah, Olivier Felix mencoba untuk merusak kehidupannya dengan membenturkan kepentingan mereka dengan keberadaan Kate dalam kehidupan ayah dan anak keluarga Felix. Enrique Felix mencoba untuk menawarkan apapun kepadanya. Pria Perancis itu punya dua kesempatan untuk membuat perbedaan dalam hidup Rudolf. Pria itu menyingkir pada kesempatan pertama. Sementara yang kedua terjadi ketika Rudolf pergi ke Rio de Victoriairo, remaja delapan belas tahun yang ingin mengenal keluarga sang ayah yang tidak pernah dikenalnya. Rudolf di hadapkan pada kebencian penuh amarah karena sikap keluarga Felix yang telah membuang ayahnya dari kehidupan keluarga kaya raya itu hanya karena Olivier jatuh cinta pada gadis yatim piatu yang hidup di panti asuhan di pinggiran kota Toulouse. “Pesawat Anda sudah siap, Sir,” ucap Tessa dari arah belakang Rudolf. Gadis tinggi semampai dengan rambut coklat yang dibiarkan tergerai. Rudolf berbalik dan tersenyum kearah Tessa. “Aku akan bersiap sekarang.” Rudolf melangkah mendekat kembali ke meja kerjanya. “Apa masih ada yang Anda butuhkan, Sir?” tanya Tessa kali ini. Ia telah siap dengan tablet ditangannya. “Aku rasa tidak ada lagi,” jawab Rudolf sambil memasukan beberapa barangnya ke dalam tas miliknya. “Anda yakin tak ingin saya siapkan hotel atau---” “Tidak, Tess.” Rudolf memotong kalimat sang sekretaris. Hening sebentar sebelum Rudolf menghembuskan napasnya dengan kasar. “Aku akan menghubungimu jika aku membutuhkannya,” ucap Rudolf dengan datar yang disambut anggukan pelan dari Tessa. “Kemungkinan minggu depan Nathan akan datang untuk menggantikanku sementara aku pergi.” Tessa mengerutkan keningnya, ia tampak bingung. “Nathan, dia adikku. Dia akan datang bersama istrinya untuk berlibur sementara waktu. Aku harap kau menyiapkan segalanya untuk mereka. Berikan yang terbaik.” Rudolf memberikan titahnya dan semua tercatat dalam ingatan Tessa. “Sampai bertemu lagi, Tess.” “Safe flight and enjoy your vacation, Sir.” “Thanks, Tess. Bye.”     “London,” desisan Rudolf yang terdengar pelan. Ia menatap keluar jendela pesawat pribadinya yang membawanya ke dataran Eropa. Meninggalkan kisah cinta tak berbalasnya dengan Anya untuk melanjutkan kehidupannya. Saat keputusan Nathan mengepakkan bisnis mead-nya hingga ke daratan Australia, keputusan Rudolf untuk melanjutkan kehidupannya ke belahan dunia lainnya.  “Aku ingin kehidupan di Eropa, Felix. Memulai keluarga kecil kita di sana.” Bayangan wajah Alena berkelebat di pelupuk matanya. Gadis cantik dengan tubuh mungil yang pernah mengisi hari-harinya. Siang itu ia tampak cantik dengan rambut yang dibiarkan tergerai, Rudolf selalu suka dengan tampilan wajah polos kekasihnya. Wanita pujaannya yang mampu mengguncang dunianya dengan teramat hebat. Di suatu senja bersalju, gadis itu menghilang, lenyap dari kehidupannya bagai ditelan bumi. Usaha Rudolf untuk mencarinya seakan tak membuahkan hasil. Ia telah mengerahkan semua dayanya. Mencari ke semua tempat yang mungkin saja gadis itu datangi, bahkan Rudolf dengan berat hati mencari ke semua rumah sakit yang mungkin saja hal buruk telah menimpanya. Apartemen yang kosong, menyisakan gaun pengantin yang terkoyak dan membisu di atas lantai kayu. “Kami sudah mencarinya ke setiap sudut kota, Sir. Tapi … Kami tidak berhasil menemukannya.” Rudolf masih mengingat semuanya. Dan kini, semua terasa menyesakan dadanya.   ***      
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD