Bab 2. Alden Flebias dan Merry Summer

3050 Words
Merry Summer dan Alden Flebias tanpa sengaja kembali bertemu seperti sebuah takdir, semua itu terus berulang seolah bahagia dan derita hanya di balik seutas tali. Bagi Alden ini sudah terjadi ratusan tahun, dia dan cintanya tak pernah bisa bahagia. Namun semua ini berbeda bagi Merry, dia hanya mengingat Alden dari 5 tahun yang lalu saat mereka tinggal di satu lingkungan yang sama. Hanya saja orangtua Merry yang mengalami kebangkrutan tiba-tiba harus lari diam-diam karena penagih hutang yang mengancam akan membunuh semua anggota keluarga mereka. Sejak saat itu Merry tidak lagi pernah mendengar kabar Alden. Padahal mereka berstatus pacaran, dan Merry tidak pernah mengucapkan kata perpisahan. Merry tidak tahu apa yang harus dia lakukan kala itu. Selain umurnya masih muda, Merry juga tidak tahu bagaimana cara menghubungi Alden karena mereka tinggal di sebuah desa terpencil. “Kak, apa kau akan bekerja seperti ini saja! Apa kau benar-benar tidak berniat untuk melanjutkan kuliah? Kau anak yang pintar kak.” Merry mengangguk, “apa kau kurang puas dengan uang yang sayur ini hasilkan? Ayolah Ned, sayur-sayur ini yang membuatmu bisa kuliah di kota besar. Lagipula aku terlanjur cinta dengan pekerjaanku, dan di sini banyak hotel dan restoran yang membutuhkan sayur-sayur segar. Dan coba angkat wajahmu, lihat para pekerja itu. Aku tak yakin bisa mengatasi mereka, kita sudah seperti keluarga.” jawab Merry dengan senyum khas. Ned terdiam menatap para pekerja yang rata-rata adalah penduduk desa. 5 tahun yang lalu ketika mereka datang ke desa ini, ibu dan ayah tiba-tiba meninggal dunia karena sakit dalam kurun waktu satu tahun. Merry yang kala itu berusia 17 tahun berhenti dari sekolah dan memutuskan untuk bekerja. Namun karena pengalaman dan tubuhnya yang kecil banyak hotel dan restoran yang menolaknya. Ya, ini adalah Desa yang menjadi pusat turis dari mancanegara ataupun domestik berlibur menghilangkan rasa penat. Dan semua itulah yang menjadi kunci dan awal dari sebuah ide yang Merry cetuskan. Dia datang dari pintu ke pintu Hotel maupun restoran menawarkan sayur segar dan dia berjanji mendatangkan setiap dini hari untuk menunjukkan kwalitas. Hingga 4 tahun kemudian penduduk desa yang selalu merangkul mereka ikut terbantu karena permintaan yang semakin meningkat. Akhirnya Desa ini menjadi penyalur sayur satu-satunya dan terpercaya untuk semua hotel dan restoran di kawasan ini. Jumlah pekerja pun tak main-main, bahkan Merry mengajarkan mereka secara langsung untuk menanam di pekarangan rumah juga agar bisa menjualnya di luar daerah. Penduduk desa bersyukur memiliki Merry begitu juga dengan Merry yang sangat merasa beruntung memiliki mereka. Karena tanpa penduduk desa mungkin mereka tidak tahu bagaimana menghadapi kemalangan. “Kak, aku harus kembali ke kampus.” “Huh, anak asrama satu ini! Ingat kamu harus jadi dokter yang hebat ya…” Ned mengusap rambut kakaknya, “Ternyata aku lebih tinggi darimu, kak.” dia tersenyum menatap Merry. “Hati-hati dan jangan lupa makan, ingat penyakit lambungmu.” “Adik bawel, pergilah! Hati-hati mengendarai mobilmu. Kakak sayang Ned, dan akan selalu begitu. Jangan lupa carilah pacar, jadi kau tak kesepian selagi di sekolah.” Ned menggelengkan kepala sembari tersenyum, “Ada-ada saja yang kau katakan. Aku pergi Merry! Jangan buat aku khawatir.” Merry menghela, dia masuk ke dalam rumah yang tak berubah sama sekali. Merry suka menjaga kesederhanaan ini, selain untuk mengenang ayah dan ibu rumah ini tidak akan terasa sepi karena ruangan yang kecil dan tak akan ada ruang kosong. Tok tok, “Sebentar ya…” Merry membuka pintu dan melihat penduduk desa yang kini hidupnya sangat lebih baik dan tetap menjaga kesederhanaan seperti dirinya. Mereka tak kelaparan lagi di musim dingin, dan bisa memberikan pendidikan yang tinggi bagi anak-anak mereka. Senangnya Merry. “Merry, ini adalah jadwal untuk besok. Di sini hanya kau yang bisa menggunakan banyak bahasa asing, jadi temuilah pemiliknya dan katakan kami semua sanggup untuk mengantar sayur setiap dini hari pada mereka.” “Hotel Cornor?! ini hotel yang sangat besar, dan sudah bertaraf Internasional.” Merry tersenyum. “Kita semua pasti bisa, ingat sebentar lagi musim dingin. Rumah kaca harus di rapikan dengan benar agar kita tetap bisa mengantarkan sayur tepat waktu.” “Merry, kau yang terbaik Nak.” “Terimakasih, besok aku akan ke Hotel Cornor! Kalian tidak perlu khawatir.” Desa Veis adalah bagian dari Engadin yang merupakan lembah pegunungan yang terletak di Kanton Grigioni, Swiss bagian tenggara. Lembah ini berdekatan dengan Südtirol, Val Poschiavo, Val Bregaglia, dan Austria. Di Engadin mengalir Sungai Inn. Dari sinilah asal nama Engadin, yang berarti "kebun Inn". Untusan penduduk desa itu tersenyum senang, dan Merry juga turut bahagia. Dia sudah mengatur semua jadwal pembagian waktu dan pengantaran, semua penduduk desa yang berjumlah 150 kepala keluarga ini selalu tepat waktu. Aku harus tidur lebih cepat karena hari yang baik di awali dengan tubuh yang sehat. Ayah, ibu… do’akan agar aku tidak melakukan kesalahan dan semua ini berjalan dengan sangat lancar. Merry memejamkan matanya, dia berharap ada sebuah senyum yang akan menghampiri dirinya di dalam mimpi nanti. Alden, apa kau sudah tidur? Selamat malam Alden semoga kau baik-baik saja! Aku mencintai dirimu. Datanglah di mimpiku malam ini, karena aku merindukan dirimu. “Merry, Merry, ayo bangun ini aku, Alden.” “Alden, apa kau sudah makan? Kenapa ke sekolah pagi sekali.” “Kau tertidur di sekolah karena datang pagi-pagi? Kenapa selalu begini ketika ujian? Aku buru-buru menyusulmu karena takut kau sendirian.” Cup, Alden mencium mata kiri dan mata Kanan Merry bergantian. Dia mengusap rambut kekasih hati yang sudah 5 tahun dia pacari. Ya mereka memulai cinta ini sejak duduk di kelas 7 hingga saat ini duduk di kelas 11. “Alden jangan menciumku kalau di sekolah.” Dia tersenyum, “Tapi baterai ini kosong, jadi aku perlu melakukannya di bibirmu.” “Kau ada-ada saja!” “Merry, kau tidak akan pernah meninggalkan aku, bukan?! aku tidak akan bisa hidup tanpamu. Aku pasti mati jika kau tak ada di sisiku! Mereka semua sibuk dengan diri mereka sendiri, aku hanya memiliki dirimu. Aku akan mati Merry.” “Alden, tidak Alden.” “Merry, aku akan mati!” “Tidak Alden jangan melakukan ini padaku.” Hah… hah… hah… aku bermimpi buruk! Merry menatap jam sudah menunjukkan pukul 05 pagi. Dia tak lagi sibuk seperti dulu karena memiliki pekerja sekitar 20 orang yang sudah bertanggungjawab untuk semuanya. Aku akan bersiap saja, semoga hari ini baik-baik saja. Dengan mobilnya Merry seperti biasa dengan pakaian yang sangat sopan menuju Hotel Cornor sebagai utusan penduduk desa. “Selamat pagi, saya utusan dari Desa Veis. Saya sudah ada janji dengan pemilik sekaligus direktur utama Hotel ini. Apa saya bisa menemui beliau sekarang?!” “Nona, anda sudah di tunggu. Jadi silahkan masuk saja karena sebentar lagi Bos kami akan turun menemui anda.” “Baiklah, terimakasih.” Turun? Apa Bos tinggal di Hotel ini? Tapi wajar saja karena hotel ini baru saja di buka sekitar satu bulan. Mungkin masih banyak pekerjaan yang belum beliau selesaikan. Suara pintu terbuka, Merry merapikan kemeja putih yang dia gunakan. Gadis itu berbalik dan, “Selamat pa-” kalimat itu terhenti di ujung lidah Merry saat melihat siapa pria yang ada di hadapannya. “ALDEN.” Pria itu langsung mengangkat wajahnya. Alden yang kini berdiri di depan Merry turut membatu, tapi dengan cepat dia mengalihkan diri. “Selamat pagi, silahkan duduk.” Merry tidak bisa bernapas, matanya masih menatap Alden dengan seksama. Jantungnya berdegub kencang dan sesekali dia menelan saliva yang semakin di telan semakin menumpuk saja. “Alden.” “Hah,” pria ini menghela napasnya. “Nona, apa anda utusan dari penduduk Desa? Saya ingin tahu apa yang mereka katakan pada anda.” “Hah…?!” Merry menjadi bodoh dan linglung, dia menelan saliva lagi, bahkan tarikan napasnya terdengar sangat jelas di telinga Alden. “Ini… ini…” dia sangat gugup, Merry yakin ini bukan mimpi. Alden mengambil berkas yang ada di tangan Merry. “Jadi mereka setuju? Kalau begitu saya akan tanda tangan di sini dan kontrak kita beres. Semoga satu tahun ke depan kita semua menjadi lebih baik.” Mata Merry bergerak kesana kemari, dia bingung harus mengatakan apa saat ini. Ini adalah Alden yang dia rindukan, dan mimpikan sepanjang malam. Tapi entah kenapa dia menjadi batu sekarang. Alden… wangimu masih sama. Tapi kenapa kau dan aku terlihat sangat berbeda. Alden, itu benar-benar kamu, bukan? Tapi kenapa kau bertingkah seolah tidak mengenal diriku? Alden… “Nona, kami akan menghubungi lagi nanti! Jadi saya permisi dulu.” Alden berdiri dari hadapan Merry dan bersiap untuk pergi darinya. Wajah dingin Alden membuat Merry takut, dia tak berani hanya untuk sekedar menyapa. Apalagi untuk meminta maaf, Merry sangat tidak berani. “B, Bos.” lagi-lagi Merry tergagap tak bisa bicara. Dia menjadi bodoh dan linglung. Alden masih menatap Merry dengan pandangan dingin, entah apa yang pria ini pikirkan sekarang. “Hah… saya permisi Nona.” Oh tidak Alden, aku harus bicara padamu. Alden, apa yang harus aku lakukan, aku harus minta maaf padamu. Dengan bodohnya Merry mengikuti langkah Alden yang kini kian besar dan cepat. Dia masuk ke dalam lift dan tanpa sadar Merry pun ikut masuk ke dalamnya Alden tidak berekspresi sama sekali, dia hanya terus melangkah ke tempat yang dia inginkan sedangkan Merry mengikuti bagai tikus yang lapar. Merry lagi-lagi menelan saliva saat tubuhnya tepat berada di belakang Alden. Dia tak menyadari apapun, sedangkan Alden dia sedang menekan kode akses kamar yang dia tempati. Alden kembali melangkah dan Merry mengikuti lagi langkah itu, sungguh dia menjadi bodoh dan tak tahu apapun. Merry sangat parah dan linglung. Mungkin ketika Merry sadar akan kelakuannya saat ini, dia akan menghantukkan kening di dinding sampai pingsan. Alden kembali menghentikan langkahnya, dan Merry juga stop. Dia masih mengatur napas dan terawang-awang. Alden menghela napasnya panjang melihat seseorang yang mengikuti dirinya sejak tadi. Bagaimana ini? Apa yang harus aku katakan pada Alden? Apa dia akan marah besar? Bagaimana ini? Ya Tuhan dia tampan sekali sedangkan aku seperti ini. Aku harus minta maaf, aku hanya akan melakukan itu! Aku akan minta maaf dan pergi. Merry yang masih menunduk dan galau memukul kepalanya sendiri berkali-kali. Dia tak sadar jika Alden sudah membuka pakaiannya dan kini bertelanjang dada. Alden melirik sedikit ke arah Merry tapi gadis itu tidak bergeming sama sekali. Alden yang sudah memegang ikat pinggangnya kini semakin masam dan kesal. Tanpa segan dia membuka celana di depan Merry yang tepat berada di belakangnya. Celana itu jatuh tepat di bawah kaki Merry. Deg, deg, deg… jantungnya berdebar dengan hebat. Dia mencoba mengangkat kepalanya dan “A….” Merry mencoba berlari ke luar dari kamar tersebut, dia membuka pintu kamar Alden tak kunjung bisa. “A…” Merry kembali berteriak saat Alden kini menatap wajahnya tanpa malu. Pria ini menggunakan celana boxer super pendek dan itu membuat Merry ingin pingsan. Dia tak pernah melakukan hal gila seperti ini, Merry tahu ini salahnya karena terus mengikuti langkah Alden, tapi kenapa dia tak melarang. Merry ingin menangis rasanya. Alden tak bicara sama sekali tapi Merry mendengar langkah kakinya menjauh, tak lama dia mendengar suara air yang mengalir yang cukup deras. Dia mandi? Bukankah ini masih pagi? Apa dia menemuiku tadi belum mandi pagi? Ah tidak-tidak, itu bukan urusanku sama sekali. Terserah dia mau apa? Aku hanya perlu keluar dari sini sekarang. Benar-benar memalukan. Kenapa pertemuan pertama kami begini? Merry menutup wajahnya, dia berjalan pelan kembali menuju pintu. Dia mencoba membukanya berulang kali tak kunjung bisa. Tubuh Merry akhirnya lemah, dia bersandar pada pintu. Dia malu sekali dan rasanya ingin mati saat ini juga. Entah kenapa ini terjadi dengan mendadak. Suara pintu kamar mandi terbuka, kamar hotel milik Alden memang sangat luas tapi tak ada sekat sama sekali. Hanya ada lorong kecil di ujung pintu dan Merry berusaha menyembunyikan dirinya di sana. Alden yang sangat seksi berjalan ke arah lemari pakaian dan mengambil pakaiannya tanpa menoleh ke arah Merry. Tuhan, bantu aku. Keluarkan aku dari sini, aku mohon. Alden menghela napas lagi, kini dia mengambil laptop dan mengerjakan sesuatu di meja kerjanya. Sedangkan Merry masih duduk di pintu, dia lelah sekali dan sangat gugup. Terserah Alden mau bagaimana yang jelas Merry saat ini tidak bisa menunjukkan wajahnya. Merry menatap Alden dari jauh. Dia tersenyum kecil melihat punggung seluas samudra itu. Alden masih sama, pria tampan yang penuh dengan pesona. Hanya saja dia sangat dingin dan tidak seramah dulu. Apa Alden sudah melupakan aku? Tanpa sadar sekarang sudah siang dan sudah waktunya untuk makan. Alden menghela napas, sudut matanya menatap Merry yang tengah tertidur sangat pulas. Alden terlihat menahan senyum, tidak ada yang tahu dengan apa yang dia pikirkan. Pria itu seperti tak ingin, tapi membuat Merry tetap berada di sisinya. Krucuk, suara perut Merry terdengar sangat jelas dari jarak yang cukup jauh. Alden menatap Merry kembali, entah apa yang dia pikirkan sekarang yang jelas Alden terlihat tidak ingin makan siang dan akan terus membiarkan Merry seperti itu. Alden menatap layar laptop yang kini ada di hadapannya, wajahnya kembali berubah menjadi dingin. Pria ini sepertinya bukanlah Alden yang dulu, waktu telah banyak merubah seseorang. “Alden, kau di sini!” Jantung Alden berdebar mendengar namanya di panggil, sudut matanya kembali menatap Merry. Ternyata dia masih tidur dalam posisi yang sama. “Alden, aku mau jadi pacarmu.” Merry sudah terbiasa memimpikan Alden dan bergumam seperti ini setiap harinya jika mata gadis itu mulai terpejam. Dia kembali ke masa lalu, dimana Alden yang duduk di kelas 7 selalu mendapat perhatian kelas. Dia siswa yang tampan, berkulit putih dengan tubuh yang profesional. Di mata Merry tidak ada yang kurang dari Alden, dia benar-benar pria idaman. Sebenarnya Merry dan Alden tinggal di lingkungan yang sama, perumahan yang paling elit di kota. Hanya saja Alden baru pindah dari London dan akhirnya menetap di swiss saat memasuki kelas 7. Sikap Alden yang dingin membuat Merry penasaran. Dia adalah gadis yang sangat ceria dan selalu ingin mendapatkan apapun yang dia mau. Hingga akhirnya Merry bertekad untuk membuat Alden bicara padanya. Untuk pertama kali setelah kelas mereka satu kelas, Merry yang di kenal cantik, pintar dan supel memberanikan diri menyatakan cinta pada Alden. “Alden, aku akan jadi pacarmu.” Pemuda tampan yang sangat sibuk membaca buku itu mengangkat wajahnya melihat Merry yang kini tersenyum. Rambut yang panjang sampai hampir pinggang, mata yang bulat, dengan kulit seputih kapas membuat siapa saja yang melihat Merry akan jatuh hati. Belum lagi dia adalah golongan orang elit yang ada di kota. Siapa yang tidak ingin memiliki Merry! Tapi semua itu berbeda dengan Alden, dia tidak berniat melakukan apapun. “Apa kau tak salah bicara?! seharusnya gunakan kalimat tanya. Bukankah orang-orang bilang kau siswi tercerdas di sekolah ini?!” Merry menelan saliva, ternyata Alden sangat kasar. Wajahnya saja yang tampan dan berkharisma. Namun mulutnya pedas bagaikan cabai rawit. “Maaf, Alden apa kau mau jadi pacarku?!” “TIDAK MAU.” Alden menjawab begitu cepat hingga Merry rasanya bisa berhenti bernapas. Dia bukan marah karena Alden menolaknya, tapi karena Alden tidak berpikir lagi sebelum menjawab seolah dia memang sudah menyiapkan jawaban ini sejak lama. “Kenapa tidak mau?!” “Karena kita tidak saling mengenal.” Merry mengepalkan tinju, wajahnya mengkerut dan alisnya hampir saja menyatu. “Kita tetangga dan aku sudah hampir satu tahun jadi teman sekelasmu. Apanya yang tidak saling mengenal? Kenapa mengatakan hal buruk! Jika tak suka, harus ada alasan yang tepat.” Alden tidak menjawab, dia langsung pergi begitu saja. “ALDEN.” Tanpa sadar Merry berteriak dan dia membuka matanya. Semua lampu di kamar hotel itu sudah hidup, dan jendela juga sudah di tutup. Itu tandanya sekarang sudah malam. Seluruh tubuh Merry sakit karena berjam-jam dia tidur di lantai. Merry memang sangat suka sekali tidur jika senggang, jika dia mulai memejamkan mata maka akan sangat sulit membangunkannya. Mata Merry menatap ke arah Alden. Dia masih sibuk dengan laptop yang kini ada di hadapannya. Merry melihat ponsel dan ternyata ini pukul dua siang! Hanya saja sepertinya sedang hujan deras dan langit begitu gelap. Makanya semua lampu di kamar hidup. Apa dia tak makan siang? Aduh aku lapar sekali. Apa aku harus mendekatinya lagi? OH Alden kenapa kau membuat aku seperti ini?! Merry menggigit bibirnya, dia takut di sembur oleh Alden dengan kalimat pedas atau hanya di diamkan begitu saja seperti tadi. Merry bingung, harga dirinya sungguh tidak ada lagi saat ini. Alden benar-benar membuatnya seperti makhluk transparan yang tidak terlihat. Kini Merry sudah berdiri tepat di samping Alden. Kau tampan sekali! Wajahmu dan kacamata itu sangat cocok Alden. Kenapa tidak menggunakannya saja terus, Aku suka sekali. Merry kembali menggigit bibirnya, dia menatap Alden dengan sangat lamat hingga pria itu tidak konsentrasi sama sekali karena tatapan maut Merry. Aku harus bilang apa? Kenapa dia begini?! aku harus keluar, aku lapar dan aku tak mungkin menjadi batu selamanya. “Alden, apa aku bisa minta tolong? Buka pintu itu untukku.” Alden masih berdiam diri, tak bicara sama sekali. “Alden.” Merry memegang tangan Alden. “Bisakah kau membuka pintu? Aku sangat lapar.” Pria ini berdiam sendiri sejenak, lalu dia mengangkat wajahnya menatap Merry. “Bukankah aku tidak mengundangmu? Aku tak membuka pintu untuk orang lain. Bagaimana cara kau masuk tadi?! lakukan saja seperti itu juga.” jawab Alden pada Merry dan sekarang dia menuju kulkas yang penuh dengan bahan makanan. Merry tidak bisa menahan dirinya lagi, dia juga lapar. Terserah Alden mau bagaimana, yang jelas Merry akan ikut makan bersamanya. Dia tak ingin penyakit lambungnya kambuh dan mati sia-sia sebelum melihat sang adik bahagia. “Biarkan aku yang melakukannya, kau duduk saja!” Alden seperti tak peduli dengan apa yang Merry katakan. Tapi dia akhirnya memilih mundur karena Merry bekerja dengan sangat cepat. Malah wanita berumur 22 tahun itu memasak apapun yang dia inginkan saat ini. Padahal Alden hanya mengeluarkan sayur dan ikan, tapi tanpa ragu Merry mengambil daging dan memasaknya tanpa izin pada Alden. “Nah, akhirnya semua sudah siap! Alden ayo makan.” Pria itu masih tidak ingin bicara padahal Merry sudah berusaha dengan sangat baik. Setidaknya puji dia sedikit saja, tapi Alden sangat masam dan tak akan mungkin melakukannya. Dalam diam mereka berdua makan dengan lahap. Alden yang tak bicara sejak tadi pun berulang kali mengambil makanan yang ada di atas meja. Sungguh Merry sangat senang! Tanpa sadar Merry terus memandangi wajah Alden yang selalu dia rindukan. Rasanya ini seperti mimpi saja! Merry ingin menyentuh bibir Alden yang selalu mencium dirinya tanpa permisi. Tapi untuk saat ini rasanya akan sangat sulit!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD