1-JIWA YANG HILANG

1555 Words
*** Saat Penyesalan mulai melingkupimu, akankah nilai seseorang yang kau sia-siakan mulai terlihat? ***  “Saya tidak akan memberikannya lagi,” Seorang bartender bernama Renold menjauhkan botol alkhohol dari counter, ketika seorang pria yang sejak dua jam lalu duduk di depan counternya, kembali memintanya mengisi gelasnya dengan tequila yang entah sudah keberapa kali. “Jangan rese, berikan segelas lagi.” Pinta Joe- pria itu. Ia menyodorkan gelas kaca yang sudah kosong pada bartender yang dikenalnya itu. Memang ini bukanlah kali pertama Joe ke Bar itu. Ia sudah menjadi langganan bar itu setiap malam sampai bartender bernama Renold bersikap bersahabat dan hapal akan kebiasaannya memesan minuman. Tapi ini adalah kali pertama bagi bartender itu melihat pelanggan setianya melampiaskan segala emosi dan beban pikirannya sampai mabuk berat seperti  ini. “Ini gelas yang ke tiga belas. Saya tidak akan memberikannya lagi. Anda sudah sangat mabuk,” Renold akhirnya mengalah dan menuangkan minuman yang ia pastikan menjadi minuman terakhir yang bisa ia berikan pada Joe. Joe menerima segelas tequila yang diberikan Renold dengan tatapan kosong. Ia menatap gelas transparan berisi sebongkah es batu tersebut dengan mata sayu dan kepala yang terasa berat. Ia menggoyangkan gelasnya pelan sebelum akhirnya meminumnya dalam sekali tenggak. Lalu seperti yang sudah-sudah, ia meletakkan gelas tersebut dengan kasar di atas meja counter dan kembali mendesak bartender itu untuk menuangkan segelas lagi untuknya. “Anda sudah mabuk. Saya sudah bilang, yang tadi itu adalah gelas terakhir yang bisa saya berikan untuk anda.” Renold berusaha memberikan pengertian, agar pelanggannya yang satu itu menyerah untuk meminta minuman, tersadar akan kondisinya dan bergegas pulang. “Kan saya bayar. Kamu punya hak apa melarang saya minum lagi?” Joe mulai sewot. Dihentakkannya dua tangannya dengan kasar di atas meja dengan suara meninggi. Beberapa pelanggan lain sampai menoleh ke arahnya sekilas lalu kembali sibuk dengan minuman masing-masing. Hanya orang mabuk yang melantur, pikir mereka. Permandangan orang mabuk yang mengamuk sudah menjadi permandangan sehari-hari di bar itu, jadi tidak heran jika orang-orang tidak ambil pusing dengan sikap Joe barusan. “Berikan yang saya mau, atau saya buat perhitungan dengan managermu?” Ancam Joe geram. Tenggorokan dan tubuhnya yang panas tidak cukup untuk melegakan hatinya yang sakit. Ia butuh minuman yang lebih banyak, sangat banyak sampai ia bisa melupakan hal yang membuat hatinya terluka. Pelanggan adalah Raja. Renold tidak ingin bertengkar dengan orang mabuk. Ia hanya bermaksud baik, tapi sepertinya lebih baik ia memberikan apa yang Joe inginkan daripada Joe benar-benar memperunyam suasana dengan memanggil managernya. Dituangkannya segelas penuh minuman kembali ke dalam gelas Joe yang langsung diteguk habis olehnya kurang dari satu menit. “Tambah!” Joe kembali menyodorkan gelasnya. Kali inia seperti kehilangan kendali. Ia tidak lagi bisa duduk tegak seperti tadi. Ia menidurkan kepalanya di atas meja counter dengan tangan menghentak-hentakkan gelas beberapa kali. Sambil menggeleng-gelengkan kepala pelan, bartender itu kembali menuangkan minuman untuk Joe. Tapi sebelum Joe yang nyaris kehilangan kesadaran sempat menenggak minuman tersebut, seseorang merebut gelas itu darinya dan meletakkannya jauh dari jangkauan Joe. Tersadar minumannya di rebut seseorang, Joe berpaling dengan ekspresi marah. Akan tetapi begitu ia melihat siapa sosok yang kini berada dihadapannya, Joe meredam amarahnya. “Kembalikan, Ver!” Pintanya pada wanita itu. Vera adalah kekasih Joe sampai detik ini. Entah darimana ia mengetahui keberadaan Joe. Yang pasti sekarang suasana hati Joe sedang kacau, ia sedang tidak ingin berdebat apalagi jika sampai ia melampiaskan emosi pada Vera. Vera mengangkat gelas itu tinggi-tinggi berusaha menjauhkan dari jangkauan Joe, tapi Joe tidak menyerah. Ia menarik lengan Vera dan merebut paksa minumannya kembali. “Mau ikutan minum?” Joe tertawa dengan wajah merah karena mabuk. “Pesan sendiri kalau mau. Jangan rebut punyaku.” Ia memalingkan wajah dari Vera dan kembali meneguk minuman itu. “Jonathan! Kamu bodoh ya?” Vera bertanya marah. “Buat tapa kamu pulang cepat dari restoran kalau hanya untuk minum-minum di sini?” Bodoh? Jika dibilang bodoh, Joe bisa dibilang jauh lebih dari bodoh. Bisa dibilang ia idiot. Idiot mana yang bisa menyesal selama empat tahun seperti dirinya setelah apa yang ia lakukan pada Gwen. Vera masih sibuk dengan aksinya mengintrogasi Joe, mencecarkan pertanyaan demi pertanyaan yang hanya disambut Joe dalam diam sambil memijit kepalanya yang terasa berat. Kepala Joe terasa sakit sekali sekarang, tapi belum cukup untuk menutupi rasa sakit dalam hatinya. “Renold! Berikan aku segelas lagi!” Joe mendesak bartender itu yang disambut Vera dengan mata melotot. “Jangan berikan! Kamu nggak lihat, dia sudah mau tumbang begitu?” Tegasnya pada Renold. Mendengar itu, bartender itu kembali meletakkan botol minumannya kembali, mematuhi Vera. Dan kini tatapan Vera beralih pada Joe yang sudah tersungkur di atas meja, Perlahan-lahan kesadaran pria itu hilang karena mabuk. Vera menatap Joe dengan miris. Ada rasa sakit yang amat besar melihat kondisi pria yang amat sangat dicintainya selama empat tahun ini dalam keadaan mabuk parah. Tapi yang sekarang ada yang lebih penting. Ia menepikan perasaannya terlebih dahulu dan mendekati Joe yang kini sudah tidak sadarkan diri sepenuhnya setelah membayar minuman Joe di kasir. Dibopongnya Joe yang sudah tidak sadarkan diri dengan hati-hati dan berkata, “Ayo pulang.” *** Joe terbangun keesokan harinya di saat sinar mentari pagi menyusup dari celah jendela menyapu wajahnya. Pria itu mengeliat pelan dan perlahan tapi pasti membuka matanya. Hal pertama yang dilihatnya saat bangun adalah langit-langit kamar yang berbeda dengan langit-langit kamarnya yang biasa. 'Dimana ini?',Tanyanya dalam hati. Dialihkannya pandangan ke seluruh penjuru ruangan berwarna pastel tersebut dan barulah ia tersadar bahwa ia mengenali ruangan itu. "Sudah bangun Joe?",Sebuah suara lembut menyapanya. Vera muncul didepan pintu sambil mengaduk secangkir minuman yang dari aromanya saja Joe bisa menebak kalau itu pasti White coffee kesukaannya. "Kenapa aku di sini Ver?” Joe menegakkan tubuhnya, berusaha mengumpulkan kesadarannya dan mencoba mengingat-ingat kejadian semalam sampai ia bisa berakhir di kamar Vera sekarang. “Harusnya aku yang nanya, kenapa kamu bisa ada di bar sendirian dan minum sampai mabuk? Kamu berhutang penjelasan sama aku.” “Tidak ada, cuma pengen minum saja.” Dusta Joe. “Kamu kira aku bodoh?” Vera tampak kesal. “Kenapa kamu nggak mau cerita? Jangan alasan kalau kamu lupa kejadian sebelum mabuk. Mabuk tidak akan membuat seseorang jadi amnesia total.” Sindirnya lagi. Melihat Joe enggan menjawab, Vera menarik nafas lelah dan merasa bahwa dirinya terlalu mendesak Joe. Ia kemudian mendekati Joe dan meletakkan cangkir kopi yang di bawanya di atas nakas. Ada gelas berisi air putih yang sudah ia sediakan tadi pagi untuk Joe. Ia mengambilnya dan memberikannya pada Joe. Joe menerimanya dan langsung meneguknya tanpa berkata-kata, lalu dia menatap Vera. Air yang di minumnya seperti menyegarkan pikirannya kembali. Ia mabuk-mabukan seorang diri kemarin dan entah bagaimana caranya Vera bisa menemukannya. "Kamu mabuk berat sampai muntah dan mengotori kemejamu", Vera buka suara, berusaha mencairkan suasana. “Kemeja kamu sudah aku cuci dan sudah kering.” Joe melirik pada pakaiannya. sekarang ini dia hanya mengenakan singlet tipis berwarna putih yang selalu dia pakai sebagai dalaman. "Thanks" Vera menatap Joe lekat. Masih menunggu detik-detik Joe terbuka padanya. Tapi karena melihat Joe yang masih menutup mulutnya rapat-rapat, Vera beranjak dari duduknya dan berkata, "Aku akan pergi ke Hotel, ada tamu penting yang datang dari Swiss yang katanya akan bekerja sama dengan pihak kita. aku akan membuat dessert yang istimewa untuk mereka",lanjutnya lagi. Joe hanya membalas dengan diam dan hal itu membuat Vera menghela nafas. Sepertinya ia tidak bisa memaksa Joe untuk buka mulut sekarang. "Aku sudah membuatkan sarapan. Kamu cepatlah pergi ke restoran. Sudah jam 7, empat asisten chef akan kelabakan jika Head chef mereka masih berguling di tempat tidur karena mabuk semalaman.” Usai berkata demikian, Vera bergegas pergi, bersiap-siap untuk berangkat kerja. Ia tidak akan memaksa Joe untuk bicara jika pria itu tidak ingin. Ia terlalu mencintainya dan bersedia menutup sebelah matanya, walaupun ia tahu apa yang sesungguhnya tengah terjadi. *** Jonathan Gonawi bekerja sebagai Head Chef sekaligus pemilik JG Restaurant. Sementara Vera bekerja di Hotel sebagai Patissier. Vera sudah bersama dengannya selama empat tahun lebih namun Joe sama sesali tidak menunjukkan perilaku yang sama seperti Vera yang memperlakukannya dengan penuh cinta. Bagi Joe, hubungannya dan Vera tercipta karena sebuah kesalahan. Ia di masa lalu melakukan sebuah kesalahan yang fatal sampai melukai hati gadis yang dicintainya. Empat tahun lalu ia dan Gwen yang sudah menjalin hubungan selama dua tahun. Mereka terpaksa menjalani hubungan jarak jauh karena Joe masih kuliah perhotelan di Bali dan Gwen masih kuliah di Jakarta. Namun siapa yang menyangka bahwa jarak yang membentang menjadi alasan utama atas terkoyaknya sedikit kesetiaan. Joe yang sedang kuliah perhotelan dinyatakan cinta oleh Vera yang tidak tahu sama sekali bahwa Joe sudah memiliki kekasih. Ia menjalin hubungan dengan Vera disaat ia masih menjalin hubungan dengan Gwen. Dan yang namanya bangkai pada akhirnya akan tercium juga, Gwen yang sudah sekian lama terabaikan tiba-tiba memberi kejutan mengunjungi Joe ke Bali dan menemukan Joe sedang sekamar bersama Vera. Hubungan yang tidak pernah terpikirkan oleh Joe akan berakhir seperti itu, akhirnya kandas karena kesalahannya. Ia dan Gwen putus kontak selama 4 tahun dan karena tidak ingin melukai Vera seperti yang ia lakukan pada Gwen, ia mempertahankan hubungannya dengan Vera meski hatinya masih untuk Gwen. Tapi siapa yang menyangka setelah empat tahun tidak ada kabar dari Gwen yang menghilang entah kemana, Edwin- salah satu teman Joe yang juga teman Faris- kakak Gwen, menelepon dan mengabari bahwa Gwen telah bertunangan dan akan segera menikah. Hati Joe masih tidak bisa mengiklaskan Gwen. ia berhutang banyak hal pada wanita itu. Terlalu banyak kenangan yang dapat dilupakan antara mereka. Ia tidak dapat menerima kenyataan akan kehilangan wanita itu , sehingga ia melampiaskan kepatahhatiannya dengan alkohol. Lalu apakah masih ada kesempatan baginya untuk memperbaiki segala sesuatu? Ia berhutang segudang maaf dan telah menorehkan sejumlah luka yang akan membekas. Bahkan ia tidak tahu dimana keberadaan Gwen sekarang. Kalaupun ia tahu, memangnya sekarang ia masih bisa berbuat apa? Dalam hatinya, Joe membenarkan nasihat salah satu temannya beberapa tahun lalu, bahwa seseorang baru menyadari betapa berharganya sesuatu itu saat ia merasakan kehilangan. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD