2- LUKA LAMA

1434 Words
*** Prancis, Paris Empat tahun sudah Gwen berada di kota ini, dan kota romantis itu menjadi saksi akan usahanya untuk melupakan masa lalunya. Ia yang sekarang sudah lulus S-2 dan menemukan pria yang sangat baik, dan baru-baru ini mengajaknya menikah. Wanita bernama lengkap Gwendy Marvela Dinata tersebut adalah sosok cantik berkulit putih. Bentuk wajahnya kecil, matanya lebar seperti bentuk mata kucing, hidungnya mancung dan bibirnya tipis. Ia tidak berpostur terlalu tinggi. Kurang lebih 165 cm dan berat badan 55 kg. Ditatapnya cincin bermata berlian yang tersemat di jarinya, pemberian George beberapa waktu lalu. Ada sebuncah kekalutan yang muncul menggelisahkan hati. George melamar Gwen dan menyatakan akan melamarnya secara resmi setelah mereka pulang ke Jakarta untuk bertemu orang tua Gwen, setelah itu George akan membawanya untuk menemui orang tua George di Bali. Mendengar nama pulau dewata itu disebut membuat Gwen teringat dengan masa lalu yang hampir berhasil ia lupakan. Pria bernama Joe yang merusak kepercayaannya kini menetap di Bali. Gwen sekarang agak ragu apakah ia siap mental menginjakkan kaki kembali di Bali? Bali begitu sempit, bagaimana jika ia justru bertemu kembali dengan pria yang sempat menghancurkan hatinya empat tahun yang lalu? Ah, Gwen paham sekarang. Ia bukan tidak siap menikah. Ia hanya tidak siap jika suatu saat ia akan bertemu dengan masa lalu yang sudah mematahkan hatinya. Georgino Tanuwidjaja adalah pria yang sangat baik, berbanding terbalik dengan Joe yang memang sudah berstatus playboy sejak dini. George adalah senior Gwen di Universitas. Meski mereka beda jurusan, Gwen jurusan tata busana, dan George jurusan Design interior, mereka bertemu karena sering meminjam buku di perpustakaan dan menemukan banyak kesamaan sehingga tidak sulit bagi mereka untuk mengakrabkan diri. Butuh waktu tiga tahun bagi George untuk menunggu Gwen membuka hatinya, sehingga setelah mereka genap setahun menjalin kasih, George tidak ingin lagi menunda-nunda waktu. Ia langsung menyatakan keseriusannya pada Gwen, dan Gwen tidak memiliki alasan untuk menolak. Permainan piano Faris- kakak Gwen mengiringi lamunan Gwen malam itu. Mereka sedang berada di ruang tengah, dan lagu lullaby mengalun dengan indahnya memenuhi seisi ruangan. Dan ketika dentingan terakhir mengakhiri permainan piano Faris, pria jangkung bertubuh tinggi itu menyadari bahwa sejak tadi adiknya sama sekali tidak memperhatikan permainan pianonya padahal Gwen sendiri yang meminta untuk diajari piano. "Kamu minta di ajari piano, tapi pikiran kamu kemana?", gerutu Faris. Gwen hanya tersenyum kecil. "Kamu memikirkan bocah itu?",tanya Faris lagi. Lagi-lagi Gwen terdiam. "Kamu tahu, George itu orang baik. Jika dibandingkan dengan bocah itu jauh sekali" Gwen diam. Dalam hati ia membenarkan ucapan kakak keduanya tersebut. Lembaran baru sudah di depan mata, namun Gwen tetap saja masih dibayang-bayangi masa lalu. "Kita akan pulang ke Jakarta besok lusa. Lebih baik kamu tidak berpikir yang tidak-tidak, keputusan kamu untuk menerima lamaran George sudah tepat" Gwen tersenyum pilu lalu beranjak dari duduknya. "Aku mau buat cappucino. Kakak mau?",tanyanya basa-basi. Faris menggeleng. "Kebiasaan. Kamu selalu menghindar jika kakakmu sedang menasehati", Faris geleng-geleng kepala. Sudah hapal kebiasaan adiknya yang suka mengalihkan pembicaraan. Gwen mengambil gelas dan mulai mengisi gelas yang berisi bubuk kopi dengan air panas yang ia ambil dari dispenser. Hatinya masih mengambang dan mempertanyakan apakah jalan yang ia ambil sudah benar? Pertanyaan demi pertanyaan yang dilontarkan hati kecilnya membuatnya tenggelam dalam lamunannya sendiri sampai tidak menyadari gelas yang ia isi air panas sudah meluap dan melukai jarinya. “Aw!” Gwen mengaduh. Buru-buru di letakkan gelas itu di atas meja dapur dan mengemut jarinya yang sudah memerah. Faris yang sekilas mendengar suara mengaduh Gwen dari dapur pun bergegas menghampirinya. “Pakai ini,” Faris menyodorkan ice pack yang ia ambil dari kulkas. Gwen mengucapkan terima kasih dan menerimanya. “Kamu melamun apa sih?” Tanya Faris, bersiap-siap mengintrogasinya. “Ini cappuccino-nya kak. Tinggal diaduk saja. Belajar pianonya kapan-kapan saja kak. Aku lupa masih ada barang yang belum kumasukkan ke dalam koper.” Setelah berkata demikian, Gwen melenggang pergi. Ia tahu Faris tidak akan berhenti mengintrogasinya sampai mendapat jawabannya. Jadi lebih baik ia menghindar karena sampai saat ini pun ia tidak mengerti dengan jelas tentang apa yang sedang ia inginkan. *** Gwen menghela nafas berat dan menatap kosong keluar jendela apartemennya. Seperti biasa pemandangan malam di Paris dari kamarnya sangat indah sekali. Dari sini dia bahkan dapat melihat betapa memukaunya Menara Eiffel di malam hari, tapi wajahnya masih terlihat muram. nampaknya pemandangan indah di Paris sama sekali tidak dapat mengubah suasana hatinya. Drrt... Drrt.. Terdengar suara ponsel Gwen bergetar diatas meja tak jauh dari tempat Gwen berdiri. Gwen hanya melirik sekilas tanpa ada tanda-tanda ingin bergerak dari tempatnya. dari sini dia dapat melihat foto George muncul di layar ponsel dan dia makin menguatkan hatinya untuk tidak mengangkat panggilan itu. Ia tidak ingin mengangkatnya dengan hati bimbang seperti sekarang. Sesungguhnya satu-satu yang salah di sini adalah Gwen pernah salah menafsirkan cinta. Ia memberikan hatinya pada orang yang salah. Cinta pertama berakhir buruk. Kini, seseorang dari masa lalunya terus membayangi hari-harinya selama dua tahun ini. Seseorang yang memperkenalkan manisnya cinta pertama sekaligus menorehkan luka di saat yang sama. Rentetan peristiwa masa lalu muncul dalam benaknya bagaikan kaset rusak, membuat rasa bersalahnya pada George kian bertambah. "Hey Gwen, coba lihat ini", Joe mengeluarkan sebuah kotak berwarna merah muda dan menyodorkannya pada Gwen. "Apa ini?",tanya Gwen penasaran. Ia mencondongkan badannya, berusaha menebak apa isi dalam kotak tersebut. Joe hanya tersenyum kecil, "lihat saja sendiri". Gwen membuka kotak itu dengan hati-hati. Setelah melihat isinya, mulut Gwen membulat membentuk huruf O. Ia menatap isi kotak dan Joe bergantian. "Bagaimana?",tanya Joe, ingin tahu pendapat Gwen. “Untuk apa kamu memberi aku ….kunci?” Dahi gadis cantik itu berkerut, sedang berpikir keras menebak maksud Joe menghadiahkannya sepasang kunci untuk anniversary tahun kedua mereka. Joe menjejerkan kedua kunci itu dan membalikkannya. Satu kunci terukir huruf "J" dan satu lagi terukir huruf "G". Sepasang kunci di tangan Joe itu adalah kunci yang sama tetapi yang menjadi perbedaan adalah di batang kunci terukir huruf yang berbeda. "JG? Jonathan Gonawi maksudmu?", Gwen menyebut nama panjang Joe. "Insial namaku memang JG. Tapi bukan itu maksud dari ini", Joe menunjuk kunci berhuruf itu dengan telunjuknya. "lalu?" "Ini kunci Restoranku yang akan buka bulan depan. Aku memberi namanya JG yang berarti Joe & Gwen", jelas joe sambil menggenggam tangan Gwen dan menaruh kunci berukiran huruf "G" di atas telapak tangannya. Gwen menatap Joe tanpa berkata-kata, menunggu Joe melanjutkan kalimatnya. "Restoran itu menjadi bukti kalau aku membukanya bersama kamu. Kamu mendukungku sampai aku bisa seoptimis sekarang untuk memilih bisnis ini. Kunci ini adalah kunci restoran kita, yang memiliki kunci ini hanya aku dan kamu. kunci berinsial "G"ini untukku, dan yang berinsial namaku dipegang olehmu. aku memberimu jalur akses keluar masuk restoran JG kapan saja" "Tapi ini berlebihan Joe, untuk apa aku memegang kunci restoran barumu?" Joe menatap Gwen dalam-dalam sebelum dia menjawab pertanyaan Gwen yang akhirnya membuat Gwen terenyuh sampai ke sudut hatinya yang terdalam. "Kunci ini sepasang, Gwen. Huruf "J" tidak ada artinya jika "G" tidak ada. Begitu juga dengan kita. jika tidak ada kamu, maka seorang Joe tidak akan ada artinya...",tegasnya. Gwen melangkah mendekati meja tempat dia meletakkan ponselnya. Dia hanya memandangi ponselnya tanpa menyentuhnya kemudian dia membuka laci meja itu dan mengeluarkan sebuah kotak pink yang sudah 2 tahun lamanya dia acuhkan. Dikeluarkannya isi kotak itu, sebuah kunci berinsial huruf "J" yang dua tahun lalu pernah dia buang karena Joe mengkhianatinya. Tetapi saat malam tiba , dia mencari kunci itu sendirian bagaikan orang gila ,mengais tanah dan bergelut dengan lumpur sampai dia terlihat seperti oleh orang yang hilang akal. Pada akhirnya , dia menemukan kunci itu dan di simpannya didalam kotak ini selama 4 tahun ini ia hidup di Paris. Pergi tanpa kabar, menghapus semua foto kenangan antara dia dan Joe, menghapus nomor ponsel Joe membuatnya kehilangan kontak sepenuhnya dengan pria itu. Satu-satunya barang yang tersisa dan berhubungan dengan Joe yang belum hilang hanyalah kunci itu. Barang-barang kenangan lain dan surat yang ditulis Gwen saat patah hati sudah ia bakar semenjak ia memutuskan memilih George. George telah tiba di Jakarta terlebih dahulu untuk mengurus pekerjaannya dan mempersiapkan keluarganya untuk datang ke rumah Gwen di Jakarta untuk melamar Gwen secara resmi. Dan sekali lagi Gwen mencoba menenangkan hatinya, mencoba mencari sesuatu hal yang bisa membuatnya yakin untuk menerima pernikahan ini. Benarkah ia tak akan goyah jika bertemu lagi dengan Joe? Atau ia memang masih bisa berpaling dari masa lalu? Jika seperti itu, lambat laun George akan menjadi pihak yang paling tersakiti. Gwen mengembalikan kunci itu ke dalam kotak. Ia menghela nafas sebelum memasukkannya ke dalam koper. Ia sudah memikirkannya matang-matang, dan ia memutuskan akan mengakhiri masa lalu yang menyakitkan, dan memulai lembaran baru. Bersama George. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD