Jordan dan Edward saling bertukar pandang dengan alis berkerut. Sejak tadi, mereka memperhatikan perubahan sikap Vincent yang tiba-tiba diam dan tampak gelisah.
Vincent yang biasanya tenang dan fokus sekarang terlihat aneh. Tangannya menggenggam gelas dengan erat, rahangnya mengencang, dan matanya terus terpaku ke satu titik di lantai dansa.
Kedua sahabatnya penasaran, lalu mengikuti arah tatapan Vincent.
Begitu melihat siapa yang menjadi pusat perhatian Vincent, Edward menyipitkan mata. "Oh... gadis muda itu?" gumamnya, lalu bersiul pelan.
Nancy masih terus menari dengan sensual, tubuhnya bergerak dengan luwes mengikuti irama musik yang berdentum di seluruh ruangan. Paha jenjangnya terlihat jelas dari gaun yang tersingkap saat ia mengangkat tangannya, rambut panjangnya terayun, dan ia semakin menempel pada lelaki yang menari bersamanya.
Jordan ikut menyeringai. "Kau tertarik padanya, huh?" tanyanya, menggoda.
Vincent tersentak dari lamunannya. Ia langsung berdeham pelan, berusaha mengendalikan ekspresinya.
"Tidak," jawabnya cepat, terlalu cepat.
Jordan dan Edward tertawa kecil, jelas tidak percaya. "Oh, ayolah," kata Edward, menepuk bahu Vincent. "Matamu tidak pernah lepas dari gadis itu sejak tadi. Dan aku melihat bagaimana rahangmu mengeras saat dia memeluk pria itu."
Vincent menggigit bagian dalam pipinya. Sial. Ia harus lebih hati-hati.
"Aku hanya memperhatikan," katanya, mencoba terdengar santai.
Jordan mengangkat alis. "Memperhatikan apa? Teknik menarinya?"
Edward terkekeh. "Atau kau memperhatikan bagaimana tubuhnya bergerak?"
Vincent menatap mereka tajam, tetapi Jordan dan Edward semakin tertawa, menikmati ekspresi frustrasi di wajah sahabat mereka.
"Vincent, ingat," Jordan berkata, suaranya lebih serius kali ini. "Kau sudah punya Sophia di rumah. Jangan main-main."
Mendengar nama istrinya disebut, Vincent semakin merasa bersalah. Ia mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba menghilangkan gambaran tubuh Nancy yang bergerak begitu menggoda di lantai dansa.
Tapi sialnya, semakin ia mencoba mengabaikan, semakin jelas bayangan itu di pikirannya.
Dan yang lebih buruk lagi...
Ia bisa merasakan sesuatu yang mulai mengeras di bawah sana.
Sial. Ini benar-benar menyiksa.
Vincent duduk dengan gelisah, mencoba menyesuaikan posisi duduknya agar tidak terlihat mencurigakan. Ia menggenggam gelas lebih erat, berharap dinginnya minuman bisa menenangkan pikirannya.
Namun, yang membuatnya semakin frustrasi adalah ketika ia kembali menoleh ke lantai dansa, Nancy masih menari... dan semakin erat menempel pada pria itu.
Tangan lelaki itu melingkar di pinggang Nancy, menariknya lebih dekat. Nancy tertawa kecil, lalu menempelkan tubuhnya ke d**a pria itu, tangannya naik ke bahu si pria, membuat mereka tampak begitu intim.
Vincent merasakan darahnya mendidih.
Ia membenci ini.
Membenci melihat Nancy memeluk pria lain saat berdansa.
Membenci fakta bahwa pria itu bisa menyentuh tubuh Nancy dengan begitu mudahnya, sementara ia hanya bisa duduk di sini, menyaksikan.
Dan yang paling ia benci adalah...
Ia tidak seharusnya merasa seperti ini.
***
Musik yang bergemuruh, lampu-lampu warna-warni yang berputar, dan aroma alkohol yang memenuhi udara semakin membuat Vincent pusing. Ia benar-benar sudah mencapai batas kesabarannya.
Melihat Nancy terus menari dengan pria asing itu, tubuhnya yang seksi bergesekan tanpa ragu, senyum menggoda yang ia berikan pada lelaki itu—sudah cukup!
Tanpa berpikir panjang, Vincent turun dari kursinya dan berjalan cepat ke lantai dansa. Langkahnya mantap, sorot matanya gelap dipenuhi amarah yang bahkan ia sendiri tidak pahami sepenuhnya.
Nancy baru saja tertawa ketika tangan seseorang tiba-tiba menarik pergelangan tangannya dengan kuat.
Gadis itu terkejut dan menoleh dengan mata membesar.
Om Vincent?!
Lelaki itu berdiri tepat di hadapannya, wajahnya tegang dan rahangnya mengeras. Mata hitamnya menatap tajam, nyaris menusuk.
Nancy berkedip, sedikit kebingungan, tetapi juga tersenyum geli melihat ekspresi Vincent.
"Om Vincent? Apa yang Om lakukan di sini?" tanyanya dengan nada genit, meskipun ia sudah bisa menebak jawabannya.
Vincent menarik napas panjang, berusaha menahan gejolak emosinya. "Kita pulang."
Nancy mengangkat sebelah alisnya, tersenyum sinis. "Pulang? Aku sudah izin pada Tante Sophia untuk tidak pulang malam ini."
Vincent tertawa kecil—tawa yang terdengar dingin dan penuh ironi. Ia menatap Nancy seolah gadis itu baru saja mengatakan hal paling bodoh di dunia.
"Sophia tidak tahu kau ada di sini," katanya pelan, tetapi penuh tekanan. "Ayo pulang. Jangan menjadi jalang kecil di klub malam seperti ini."
Nancy terdiam sejenak, lalu menyeringai. Tatapannya berubah penuh tantangan.
Alih-alih marah atau tersinggung, ia justru melangkah lebih dekat. Tubuhnya yang mungil tetapi penuh lekuk kini hanya berjarak beberapa inci dari tubuh Vincent.
Nancy menatapnya dengan sorot mata menggoda. "Bagaimana kalau..." Ia menarik napas pelan, lalu mengembuskan udara hangat tepat di wajah Vincent. "...aku menjadi jalang Om saja?"
Vincent membeku.
Sial!
Pikiran kotornya yang sejak tadi berusaha ia tekan kini meledak begitu saja. Kata-kata Nancy membuat tubuhnya menegang dalam arti yang sebenarnya.
Nancy memperhatikan perubahan ekspresi Vincent, dan ia menikmati itu. Ia tahu lelaki ini sedang berusaha menahan diri.
Gadis itu mendekat lebih lagi, kini dadanya hampir menempel pada tubuh Vincent. "Om tergoda, ya?" bisiknya, suaranya mendesir seperti racun manis yang menelusup ke dalam kepala Vincent.
Vincent mengepalkan tangan, berusaha menahan desakan liar dalam tubuhnya.
Sial. Ini tidak boleh terjadi.
Namun, yang lebih buruk lagi adalah...
Ia benar-benar tergoda.
Vincent menggeleng keras, mencoba mengusir bayangan-bayangan liar yang mulai memenuhi kepalanya. Ia menatap Nancy dengan ekspresi campuran antara kekesalan dan kegugupan.
"Apa yang kau katakan barusan?" suaranya terdengar serak, tetapi ia berusaha menekannya agar tetap tegas.
Nancy hanya menyeringai, menikmati bagaimana Vincent tampak berjuang menahan godaannya.
"Aku bilang, bagaimana kalau aku menjadi jalang Om saja?" ulangnya dengan suara yang lebih rendah, nyaris berbisik.
Vincent mengepalkan rahangnya. Ia bisa merasakan panas menjalari tubuhnya, bukan hanya karena suasana klub yang penuh dengan orang, musik, dan lampu-lampu berkelap-kelip, tetapi juga karena Nancy yang berdiri begitu dekat.
"Nancy, hentikan omong kosongmu!" katanya, suaranya lebih keras dari yang ia maksudkan.
Nancy malah tertawa kecil, matanya menatap Vincent dengan penuh kelicikan. "Kenapa? Apa Om takut tergoda?"
Sialan!
Vincent bisa merasakan napasnya semakin berat. Ia benar-benar dalam situasi berbahaya.
Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan emosi dan keinginan dalam dirinya. "Aku tidak akan menjadikanmu jalangku," katanya, lebih pelan tetapi penuh tekanan. "Aku suami Sophia, dan kau keponakannya."
Nancy menatap Vincent dengan tatapan menantang. Ia kemudian mendekat lebih lagi, ujung hidungnya hampir menyentuh rahang Vincent.
"Tapi Om ingin, kan?" bisiknya dengan nada yang terdengar menggoda sekaligus penuh kepastian. "Aku bisa melihatnya di matamu... di tubuhmu..."
Vincent mengatupkan rahangnya dengan kuat. Tubuhnya menegang, bukan hanya karena gerakan Nancy yang semakin berani, tetapi juga karena godaan itu mulai mempengaruhi dirinya.
Ia tahu ini salah. Ia tahu ia harus pergi dari sini.
Tetapi kenapa...
Kenapa tubuhnya tidak bergerak? Kenapa matanya masih menatap Nancy? Kenapa jantungnya berdegup lebih cepat?
Ini tidak boleh terjadi.
Dengan kekuatan penuh, Vincent akhirnya menggerakkan tangannya, mencengkeram bahu Nancy dengan sedikit kasar dan mendorongnya sedikit menjauh.
"Cukup, Nancy!" katanya tajam. "Kau sudah mabuk!"
Nancy mengangkat alisnya. "Oh? Aku masih sadar sepenuhnya, Om."
"Lalu kenapa kau bertingkah seperti ini?" Vincent menatapnya tajam. "Apa yang kau inginkan dariku?"
Nancy mengangkat satu bahunya dengan santai. "Mungkin aku hanya ingin melihat seberapa jauh Om bisa menahan diri," katanya, menyeringai kecil. "Dan sepertinya... Om sudah hampir kalah."
Vincent mengepalkan tangannya, frustrasi sekaligus kesal pada dirinya sendiri.
Ia harus pergi dari sini. Ia harus menjauh dari Nancy.
Sebelum semuanya benar-benar menjadi berantakan.
“Kau sudah gila!” Decak Vincent.
Nancy tertawa kecil mendengar hal itu. “Ya, aku memang sudah gila. Tergila-gila pada Om.” Kekeh Nancy dan mencium bibir Om Vincent sekilas.
“Ayo, kita pulang Om. Bukankah kau mau membawaku pulang.” Ucap Nancy meremas p***s Vincent. Membuat lelaki itu mengeram ketika p***s tegangnya diremas oleh Nancy.
“Uhh! Tegang ya? Mau Nancy jilatin dan puasin nggak Om? Dijamin Om bisa keluar dengan rasa puas.” Goda Nancy kembali.
Vincent menelan saliva… keluar dengan rasa puas…?