Wanita Saya!

1548 Kata
"Wah ada angin apa ini? Tumbenan lo datang hari Rabu, San?" Si Tengil Soni menyambut kedatanganku pagi ini. "Angin Muson. Puas lo?" Aku mencebik kesal. "Haha, lagian lo kerja terus. Gak kaya-kaya juga, yang ada kuliah lo terbengkalai." "Sejak kapan lo berubah jadi kang gosip, Son? Kebanyakan gaul sama emak-emak lo!" "Bercyandaaa, gitu aja sewot. Eh, tapi beneran lo udah berhenti kerja lagi? Udah banyak duit ya? Jangan-jangan lo piara tuyul?" "Bangke! Kagaklah! Gue dapat kerjaan lebih bagus dari yang kemarin." "Gegayaan lo udah dapat kerjaan lagi. Lo gak kesian apa sama gue? Sekali-sekali kasih gue kerjaan juga lah, San." "Lo mah gak kerja juga udah enak, Son. Tiap bulan dikirim uang jajan. Lah gue? Kalau gak kerja ya gak makan." Kami berjalan beriringan. Kantin kampus yang menjadi tujuan. Walau tadi sudah sarapan dengan Pak Adit di rumah, tapi melihat kantin dengan aroma bakwan sungguh menggoda. "Lo belum makan, San?" si Soni duduk di salah satu bangku panjang di kantin ini. "Belom dua kali," jawabku singkat lalu mengambil satu buah bakwan yang masih panas. Begitu garing dan gurih. Kenikmatan yang hakiki. Terlebih sekarang aku bisa jajan tanpa harus memikirkan uang sewa kos dan biaya kuliah lagi. Menurut perhitunganku, gaji dalam sebulan sudah cukup untuk biaya kuliah. Malah lebih. Ada jatah jajan juga. "San, jangan banyak-banyak, gue gak bawa duit gede hari ini." Soni menatap gorengan di tanganku dengan cemas. Iya, biasanya dia yang traktir jajanku. Walau tidak sering. Aku teman yang tahu diri lah. Masa iya, minta traktir terus tiap hari. "Tenang, jangan khawatir! Berhubung lo udah baik sama gue selama ini, hari ini gue yang traktir lo. Makanlah sampe lo kenyang!" "Eh, serius lo?" "Serius! Kapan gue bohong?" "Ya kali aja, giliran bayar lo kabur!" "Gue gak sekampret itu, Son! Ambil aja, keburu gue berubah pikiran!" Si Soni nyengir, "Oke. Siapa takut, kebetulan gue belum sarapan." "Baguslah! Asal jangan tiap hari aja, bisa bangkrut gue." "O ya, ngomong-ngomong, tugas yang lo kerjain mata kuliah Pak Adit sukses gak?" "Sukses pala lo! Gatot, Nyet!" "Ha? Udah gue duga sih. Konon Pak Adit punya tangan besi yang mampu mendeteksi kecurigaan mahasiswanya." "Tangan besi?" Dih, yang ada tangan gatel! m***m pula! "Ho'oh, kalau kita ngerjain dari internet, pasti ketahuan. Entah gimana caranya." "Wah, tumbenan si Sani jajan? Udah banyak duit lo ya, San?" Ini lagi. Hana, si mulut gendot. Semua orang pasti kena kritik dia. Mau cakep mau jelek, mau kaya atau melarat, semua tak terlewat dari kritikus bernama Hana ini. "Jangan sungkan, kalau mau ditraktir mah ngomong aja," Soni yang jawab dengan tatapan mengejek. "Eh, seriusan si Sani mau traktir?" "Kalau gak doyan ya udah gak usah, Si Soni masih nampung kayaknya." Aku menahan tawa. "Wah, jangan jahat gitu lo, San! Lo lupa ya, gue udah nulungin tugas lo berkali-kali lho?" Hana beneran duduk dan mulai melihat-lihat gorengan yang masih panas di depannya. "Modus lo!" ucapku. Dasar Hana muka tembok, ia hanya nyengir dan tanpa malu langsung makan begitu saja. Tapi tak apalah, sesekali membuat orang senang. "San, lo beneran udah nuntasin tugas kan?" Tetiba si Soni menyenggol lenganku. "Apaan sih?" Soni memberi kode dengan dagunya. Menunjuk ke depan. Alamak! Majikan semprulku sudah datang rupanya. Ngapain dia malah datang kemari coba? Biasanya juga tidak pernah ke kantin. "Pagi, Pak!" sapa Hana dengan diiringi anggukan sopan. "Pagi. Sani, ikut saya!" "Masih makan, Pak!" ucapku cuek. Sontak mendengar jawabanku, si Soni langsung melotot, "St, lo mau mati? Sana samperin!" bisiknya dengan penuh intimidasi. "Dibilang masih makan juga," jawabku lagi. "Sani! Kamu dengar saya?" "Iya, Pak. Dengar. Tapi saya udah janji mau bayarin kedua teman saya. Gimana dong, Pak?" "Bukan urusan saya." "Waduh, maaf-maaf ya Son, Han, gue gak bisa menolak titah Pak Adit." Soni dan Hana melongo. Terutama Hana. Ia menatap nanar piring gorengan yang sudah kosong. Haha, malang benar kau, Han! Karena Pak Adit sudah memaksa, akhirnya aku meninggalkan keduanya. Baik Soni ataupun Hana tidak ada yang berani membantah. Mereka diam. Mungkin takut sama bayi besar yang memanggilku. "Ada kerjaan lagi ya, Pak?" "Tentu saja." "Kita kemana, Pak?" "Ruangan saya." "Pak, emang tidak masalah kalau saya masuk ke ruangan Anda?" "Maksudnya?" "Ya kan ini kampus. Kalau kita seruangan berdua lalu orang melihat kita..." "Ck, saya dosen dan kamu mahasiswi. Wajar kalau saya nyuruh kamu." "Oh, oke. Siap!" Awas saja kalau banyak modus lagi. Ternyata ia menyuruhku untuk memeriksa nama-nama mahasiswi yang sudah memberikan tugas. Mana banyak banget lagi. Ah, yang lebih mengerikan adalah tugas yang ia berikan ternyata harus ditulis tangan. Huft, macam zaman purbakala saja. Dunia canggih begini masih saja ada yang ngasih tugas pakai tulis tangan. "Pak, apa gak ngasih tugas lewat email aja? Kan lebih enak memeriksanya." "Setidaknya mahasiswa malas kayak kamu jadi ada kerjaan. Kalau lewat file, terlalu mudah." Tok-tok-tok "Ada tamu, Pak!" "Bukain!" Aku segera berdiri dan membuka pintu. Wow! Lagi-lagi wanita cantik. Ia menatapku dari ujung kaki hingga ujung kepala. "Saya masuk ke ruangan Adit, kenapa malah kamu yang saya temui?" tanyanya dengan nada tidak suka. "Eh, maaf, Mbak. Saya hanya dikasih tugas sama Pak Adit kok. Saya mahasiswinya. Silakan, Pak Adit ada di dalam." Tanpa menjawab penjelasanku, wanita itu langsung masuk. Siapa ya dia? Dosen juga bukan sepertinya. Aku tidak pernah melihat wanita ini selama kuliah. "Kamu sibuk?" Wanita itu memulai percakapan. Sebelum menjawab, Pak Adit melongok ke arahku, "Kamu boleh keluar." Dih, aku diusir. Kayaknya mau berduaan tuh, dasar genit! Walau kesal dan sangat penasaran dengan wanita itu, terpaksa aku keluar dari ruangan ini. Hih, pasti mau nyosor-nyosor tuh. Kan si Brewok mah emang gitu, lihat aku aja banyak modusnya apalagi yang bohay kayak gini, dijamin langsung terkam. Akhirnya aku memutuskan untuk kembali ke kampus. Ya setidaknya pekerjaan ini membuatku jadi mahasiswi yang rajin. Tidak bolos dan mulai mengerjakan tugas kuliah lagi. Matahari terasa menyengat saat aku keluar dari kampus. "San, makasih ya, traktirannya!" Soni menepuk bahuku. "Lah, bukannya jadi lo dan si Hana yang bayar?" "Kagak, semuanya udah gue masukin ke catatan hutang lo di kantin." "Sue lo!" "Eit, lo udah janji, Surinem! Haha!" "Ck, serah lo deh!" "Tapi ngomong-ngomong, ngapain tadi Pak Adit manggil lo?" "Biasa, tugas." "Lo ngulang mata kuliah sama dia?" "Mungkin bisa dibilang." "Gila ya, ekslusif banget sampe berduaan di ruangan?" "Lo ngikutin gue?" Tuh kan, apa aku bilang, si Brewok mah gak percaya! Si Soni curiga kan? Kalau disangka yang iya-iya gimana? "Gak ngikutin juga udah kelihatan, kalian masuk ke ruangan." "Jangan salah sangka! Gue tadi disuruh mendata tugas mahasiswa. Gila, mana pake tulisan tangan lagi, puyeng nih mata." "Yakin lo gak ada apa-apa sama Dosen so cool itu?" Soni masih menatapku curiga. "Ish, apaan sih lo? Kagak lah! Lagian nih, ya, Pak Adit tuh pasti suka tipe-tipe wanita bohay yang doyan dandan. Lah gue?" Si Soni nyengir, "Iya juga sih." "Sani!" Bravo! Panjang umur! Pak Adit kembali datang menghampiri kami. "Siang, Pak." Soni menyapa dengan sopan. "Siang," jawab Pak Adit. Ketus amat, bayi! "Ada apa, Pak? Tadi tugasnya sudah saya susun dan sudah didata juga, Pak." "Bagus. Sekarang ikut saya!" "Ada tugas lagi, Pak?" "Sini! Bawel kamu!" Tanpa diduga, Pak Adit langsung mengambil lenganku dan membawaku pergi. Yakin deh, setelah ini Soni pasti mencecarku dengan banyak pertanyaan. Salahkan si Bayi Raksasa yang main seret tanpa mikir panjang. "Pak, jangan ditarik begini, saya bisa jalan sendiri kok." "Ya udah, jangan banyak protes!" "Iya, saya ngikut di belakang!" Hish, sampai merah begini ini lengan. Kencang amat. Kami naik ke mobil milik Pak Adit. "Kita kemana, Pak?" Pak Adit tak kunjung menyalakan mobilnya. Ia malah nampak menghubungi seseorang. Entah siapa itu. Hanya kudengar ia akan pergi keluar kota. Selesai menelpon, ia kembali menatapku. "Kita akan ke Jakarta. Tiga hari. Kamu harus ikut." "Ha? Tiga hari? Kuliah saya bagaimana?" "Tidak akan menggangu jadwal kuliahmu. Kita ke sana di hari libur." "Tapi Pak, Tasik-Jakarta tidak dekat lho, pasti memakan waktu." "Ya udah, kita naik pesawat." Refleks aku menggeleng, "Saya tidak mau." "Katamu ingin cepat kan? Ya naik pesawat saja. Nanti saya pesankan tiketnya." "Tidak, Pak. Kalau naik pesawat, saya gak ikut." "Kenapa?" "Tidak mau saja." Aku takut. Sangat takut. Bukan apa-apa, karena keseringan nonton berita pesawat jatuh, aku jadi parno. "Naik kereta?" "Tidak mau juga." "Ya sudah, kita naik mobil ini saja. Biar nanti saya cari supirnya." "Saya harus ikut ya?" "Tentu. Kamu asisten pribadi saya." "Jadi berangkatnya kapan, Pak?" "Sekarang. Saya sudah menghubungi Pak Ujang. Katanya dia bisa nganter kita ke Jakarta sore ini." "Waduh, dadakan amat, Pak? Kan belum persiapan. Tiga hari lho, Pak." "Gampang, kita bisa beli sambil jalan." Ternyata benar. Beberapa menit kemudian, datang pria paruh baya menghampiri mobil kami. "Sekarang, Mas?" tanya pria yang aku yakin namanya Pak Ujang. "Ya, masuklah!" jawab Pak Adit. Ia mengajakku keluar dan pindah duduk di belakang. "Pak, Anda di depan saja. Biar saya yang di belakang," ucapku. "Enak saja! Tidak mau. Saya mau di belakang karena mau sambil tiduran." "Kalau begitu, saya yang di depan biar Anda bisa tiduran dengan nyaman." "Tidak bisa. Duduk dan jangan protes, saya ngantuk." Weh, si bayi besar malah dengan sengaja tidur di pangkuanku. "Pak, jangan begini! Malu di lihat Pak Ujang itu," bisikku. Eh, beneran lho, Pak Ujang melirik kami dari kaca depan sana. Ia tersenyum malu. "Pak Ujang! Jangan lihatin kami! Sani malu katanya." Dasar sableng! Malah disengajain. "Pak..." "Diamlah! Masih untung saya gak minta dipeluk. Cuma numpang tidur sama wanita saya, apa salahnya?" Apa katanya? Aku budek atau salah dengar ya?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN