Oke, sejak dilantik menjadi asisten pribadi Pak Adit, aku benar-benar pindah dari kosan. Mpok Nori sampai bertanya berulang kali padaku. Sepertinya ia tak percaya kalau aku akan pindah dari kontrakan miliknya. Mungkin karena ia tahu bagaimana aku. Hidup sebatang kara dengan kondisi yang sedang kuliah. Butuh duit banyak tentunya. Dan di kota ini, sudah aku buktikan, kontrakan Mpok Nori yang termurah. Walau harus ngambil air pakai timba yang menguras energi. Kamar mandinya juga hanya satu untuk tiga kontrakan yang dibuat berderet.
Tapi inilah hidup. Kadang memang tidak tertebak. Dari mata kuliah yang tak ada nilai, siapa sangka aku malah dapat kerjaan.
"Sani, ambilkan air putih, saya haus!" Teriakan Pak Brewok membuyarkan lamunanku. Iya, sampai tektek bengek urusan minum juga harus diambilkan. Ah, saat ini aku sedang menemaninya untuk fitnes. Banyak sekali pria berotot di sini, sayang, selera mereka pasti yang aduhai semua. Lagi pula, tipe seperti mereka aku malah takut doyan terong.
"Ini, Pak!"
"Pegang!" Ia memberikan handuk kecil padaku.
"Pak, masih lama gak?"
"Kenapa?"
"Saya lapar."
"Kita pulang."
Ia bangkit setelah mengabiskan sisa air mineral yang kuberikan. Si Brewok dalam pakaian olahraga seperti itu nampak sedikit err... seksi.
"Kenapa, San? Badan saya bagus?" tanya Pak Adit tiba-tiba sambil memajukan wajahnya padaku.
Sial! Aku ketahuan sedang menatap badan kekarnya.
"Y-ya, maksud saya anu, kalau rajin olahraga semua orang bisa punya badan bagus."
"Kamu suka?"
Glek. Malu a***y! Aku ketahuan! "Pak, Anda juga lapar kan?" Aku mengalihkan pembicaraan.
"Lumayan. Baiklah, kita makan dulu."
"Masak atau beli, Pak?" Aku bertanya sambil berdoa semoga saja beli masakan di restoran. Aku lagi malas masak.
"Kamu tahu apa yang saya suka kan?"
Dengan muka ditekuk karena kecewa, akhirnya aku mengangguk. Ya, kesukaan si Brewok ini adalah masakan rumahan. Ia tak suka makan di luar kecuali jika terpaksa.
"Apa gak mau nyoba masakan di luar gitu, Pak? Kali aja lebih enak."
Pak Adit mulai mengemudi. "Kalau begitu, untuk apa saya punya kamu?"
"Ha?"
"Rugi saya kalau punya kamu tapi masih harus beli makanan di luar."
Apa katanya? 'Punya kamu?' Dih, kata-katanya membuat ambigu gak sih? Ah, tapi aku tidak boleh ge-er. Toh, bukan hanya sekali dua kali pria brewok ini mengucapkan hal-hal yang mungkin bisa membuatku berprasangka lain. Nyatanya setelah ia mengatakan hal itu, ia biasa saja.
Kami sampai di rumah. Pak Adit langsung naik ke kamarnya. Mungkin ia mandi. Ngomong-ngomong aku juga gerah. Sebelum masak, mandi sepertinya menyegarkan.
Selang beberapa menit, Pak Adit datang dengan wajah yang sudah segar.
"Masak apa?"
"Udang."
Ia tidak menjawab. Hanya duduk dan menunggu. Kebiasaannya saat aku sedang masak. Ia akan duduk menghadap padaku. Menunggu hingga hidangan sampai ke depannya.
"Selesai."
"Aromanya enak."
"Tentu saja. Saya tidak mau Anda merasa rugi karena sudah membayar saya."
"Gadis pintar!" ucapnya sambil tersenyum lebar.
Kami makan dalam diam. Hanya terdengar denting sendok yang beradu.
"Besok kamu ke kampus?" tanyanya.
"Ya."
"Bagus. Jangan bolos lagi."
"Saya gak punya alasan untuk bolos, Pak."
"Emang dulu ada alasan?"
"Tentu, saya kerja. Cari duit, Pak. Makanya sering bolos."
Selesai makan aku segera membereskannya. Saat hendak berbalik menyimpan piring, aku kaget. Tahu-tahu Pak Adit berdiri tepat di belakangku. Refleks aku mundur, "Kalau mau memastikan saya mandi atau belum, jawabannya saya sudah mandi, Pak."
Bukannya menjawab, ia malah melangkah lagi. Menghilangkan jarak di antara kami.
"Bukan itu yang ingin saya tahu."
Aku mundur lagi, "Apalagi?"
Tanpa diduga, ia mengelus pelan pipiku. "Ini."
"Hei! Apa yang Anda lakukan?"
Jawaban yang kudapat malah lebih menyebalkan, ia mengendus tangannya yang sudah mengelus pipiku, "Lumayan harum. Kamu suka perawatan? Ke salon misalnya?"
"Apaan sih, Pak? Mana mungkin saya perawatan ke salon. Anda bisa mengukur keuangan saya."
Aku mundur lagi, sial! Punggungku mentok di dinding dapur.
"Benarkah? Tapi kulitmu halus dan wangi." Suara Pak Adit sudah mirip bisikan. Iya, dia masih merangsek maju dan hampir menghimpitku.
"Pak, bisa mundur sedikit tidak?" Sumpah ya, ini sudah dalam status siaga dan mungkin akan segera naik menjadi awas.
"Kalau kejauhan tidak akan ketahuan. Berarti saya tidak perlu tambahan uang untuk perawatan kamu. Baguslah!" Ia tersenyum lebar lalu pergi begitu saja.
Dih, itu orang kenapa sih? Majikan atau apa ya? Aneh sekali! Huft, kalau saja bukan karena nilai sialan itu, aku tidak mau melakukan ini. Ya, walau berkahnya aku dapat pekerjaan, tapi aku tidak bisa menjamin hatiku akan aman jika kelakuan si Brewok setiap hari seperti itu.
Akhirnya aku selesai membersihkan dapur. Sudah seperti ibu rumah tangga saja kerjaanku. Ah, ya, mending aku mengecek tugas kuliah untuk besok. Ini keuntungannya pekerjaan yang sekarang aku jalani. Bisa bersantai dan sedikit peduli dengan tugas kuliah.
"Sani! Celana saya mana?" Terdengar suara Pak Adit dari kamarnya. Ck, apalagi sih?
Aku segera naik dan masuk ke kamarnya yang tidak dikunci.
"Apa, Pak?"
"Celana saya buat besok ke kampus mana?"
"Ada kok di lemari. Sudah saya rapihkan."
"Mana?"
Dasar bayi raksasa! Sabar Gusti! Aku segera membuka lemari pakaian miliknya.
"Ini."
"Kemejanya yang warna toska, cariin!"
Tanpa menjawab, aku segera mencari baju yang ia maksud, "ini."
"Boxernya juga!"
"Pak!" Sumpah ya, kesal lama-lama.
Wajahnya seperti anak TK yang tak dikasih uang jajan sama emaknya, "Ambilkan, ayo!"
"Ck, itu barang pribadi Anda. Harusnya disiapkan sendiri."
"Tapi kan kamu asisten pribadi saya? Hal pribadi saya juga harus kamu siapkan."
Si Koplok! "Baiklah! Ini Anda yang minta ya?"
Ia mengangguk patuh.
"Ini!" Aku menyodorkan tanpa melihat wajahnya. Gedek tahu gak sih?!
"Sani, ini sudah kekecilan lho, menurut kamu saya masih muat gak pake yang ini?"
Tarik nafas, hembuskan. Tarik nafas, hembuskan.
"Pak, saya bukan tukang jahit. Gak bisa ngukur barang Anda segede apa."
"Masa sih? Kamu harusnya bisa lihat dengan jelas kan? Kita tinggal serumah lho, masa tidak tahu? Lihat, kamu ngasih saya boxer yang kecil. Mana muat? Ah, apa kamu tidak ingat, tadi saat saya olahraga, kamu menatap saya dengan penuh minat?" Si Brewok sialan itu mengingatkanku pada kejadian tadi.
"Sebenernya Anda mau apa sih?" Kesal bercampur malu.
"Ngerjain kamu, haha! Lihat, mukamu sampai merah seperti tomat, lucu sekali!"
Bangke! Hampir saja aku memakinya. Kalau saja tidak ingat jika ia adalah majikan sekaligus dosenku.
Tak mau pusing dengan semua yang dilakukan si Brewok, aku memilih keluar dari kamarnya dan segera tidur.
Baru jam sembilan malam. Tawa menyebalkan dari si Brewok masih terdengar. Dasar gila!
***
Rutinitas pagi yang baru untukku. Bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan dan beres-beres rumah. Walau lelah, tapi tak apa. Ingat saja nominal yang kudapat di awal bulan. Bahkan pekerjaanku yang sebelumnya lebih capek dari ini.
Sarapan sudah siap. Dan seperti biasa, Pak Adit sudah duduk manis di meja makan. Aku masih malas melihat wajahnya. Kelakuan dia semalam masih membuatku kesal.
"Kamu sudah makan?" tanyanya setelah beberapa saat hanya makan dalam diam. Aku tahu sesekali ia melirik ke arahku.
"Sudah."
"Duduk dan temani saya."
"Ya." Aku hanya menjawab singkat. Biasanya aku akan lebih banyak bicara dan protes padanya. Kali ini aku malas ngomong.
"Kok diam? Mau makan lagi?"
"Tidak."
"Sani, kalau saya ngomong itu, lihat wajah saya. Jangan memalingkan muka. Tidak sopan."
"Ya." Aku menatapnya sekilas lalu kembali sibuk dengan ponsel di tanganku.
"Kamu sakit gigi?"
"Tidak."
"Kok banyak mingkem? Lihat apa sih?"
"Tak ada."
"Kamu masih asisten pribadi saya kan?"
"Masih."
"Baik, coba pijat pundak saya!"
"Ya."
Aku bangkit dan melakukan apa yang ia minta. Mataku membelalak saat tiba-tiba ia menangkap telapak tanganku lalu mengendusnya pelan.
"Kamu wangi. Pakai sabun apa?"
Segera aku melepaskannya, "Saya cuma pakai sabun batang tiga ribuan, Pak. Awas ya, Anda jangan modus!"
"Saya tidak modus. Memang wangi. Bertanya saja masa tidak boleh?"
"Baik. Sekarang jawab dengan jujur, Pak. Sebenarnya Anda sedang mencari asisten pribadi atau mencari wanita simpanan?"
Sumpah ya, lama-lama aku tidak tahan. Biar saja aku tak dapat nilai. Dipecat jadi asisten pribadinya juga tidak masalah.
Alih-alih tersinggung dengan apa yang aku ucapkan, ia malah mengerutkan keningnya, "Pertanyaan yang menarik. Kamu maunya jadi apa?"