Otakku mulai bekerja. Menghitung penghasilan dari pekerjaanku selama ini. Lalu dibandingkan dengan gaji yang kuterima dari si Tuan Brewok. Kalau dipikir, lumayan besar juga. Ya kalau kontrak kerjanya gak jelas entah sampai kapan. Konon katanya sampai si Jessica pulang ke Indonesia.
"Kenapa belum masak? Saya lapar." Suara bariton Pak Adit mengagetkanku. Tahu-tahu sudah muncul di depan. Iya, sepulang lari pagi, ia langsung naik ke kamarnya. Mungkin mandi. Kelihatan ganti baju dan rambutnya sedikit basah. Demi apa kalau sudah begini ujian keimanan segera dimulai!
"Kamu masih hidup kan?" Pertanyaan kedua darinya membuatku kesal. Bangke! Aku dikira mati.
"Saya masih bernafas, Pak."
"Kenapa gak nyaut? Ada yang bertanya itu harus dijawab."
"Iya, saya mau masak kok."
"Baru mau?"
"Baru beres buat perencanaan, kan membuat perencanaan sebelum kegiatan itu sangat penting, termasuk masak."
"Ngawur kamu. Dari tadi di sini ngapain aja? Bengong? Mandi juga belum kan? Tuh, masih bau!" Hidung Pak Adit mengendus-endus ke arahku.
"Tugas saya masak kan? Bukan mandi?" Sumpah ya, itu mulut si Brewok kok ya lemes amat? Minta disumpal bibir kayaknya, eh!
"Baik. Saya tunggu, sepuluh menit sudah harus siap."
Malas berdebat, aku langsung menuju lemari es. Memeriksa bahan masakan yang akan aku olah pagi ini. Masak sih bukan hal yang sulit. Kelamaan hidup sendiri membuatku terbiasa melakukan hal kecil seperti ini.
"Nasi goreng?" tanya Pak Adit saat aku menyodorkan hasil karyaku ke depannya.
"Menu sarapan. Sudah ya, Pak. Tugas saya pagi ini selesai. Saya harus pergi."
"Mau kemana kamu?"
"Sudah saya bilang, saya ini banyak pekerjaan."
"Termasuk hari Minggu begini?"
"Tentu saja. Bagi saya tidak ada warna merah dalam kalender. Semuanya hitam dan semuanya hari kerja."
"Ingat, kamu sudah saya kontrak untuk jadi asisten pribadi. Jangan mengerjakan tugas lain. Harus fokus dan profesional."
"Maksud Anda, saya harus berhenti gitu?"
Pak Adit mengangguk, "Tentu saja. Satu lagi, kamu pindah ke sini. Bawa semua barang kamu."
"Apa? Pindahan juga? Tapi, Pak!"
"Tapi apanya?"
"Anu lho, saya gak bisa tinggal serumah dengan Anda."
"Kenapa?"
"Pak, sadar gak sih, saya ini gadis. Anda ini pria dewasa. Apa kata orang nanti kalau tahu kita tinggal bersama?"
Pak Adit yang sudah selesai makan, berdiri dan berjalan mendekat ke arahku yang duduk di seberangnya. Ia lalu mengurungku dengan kedua tangannya di kursi.
"Kamu takut?" a***y! Hembusan nafasnya menggelitik setan mesumku. Membuatnya bangun dan mulai bekerja.
"T-tidak, hanya saja itu, anu, itu...."
Tuk! Tetiba dia menjitak pelan dahiku. "Otakmu harus dicuci, yang namanya asisten ya pasti tinggal di rumah majikannya," ucapnya lalu ia bangkit berdiri lagi dan terdengar tertawa renyah.
Beberapa saat aku terdiam. Mencerna apa yang si Brewok katakan.
Ck, bodohnya aku! Tentu saja aku harus tinggal! Bukankah aku di sini untuk bekerja? Aish, kenapa otakku mikir kejauhan ya?
Kalau begitu, aku harus melepaskan semua pekerjaan yang selama ini aku jalani. Walau kontrak dengan si Brewok itu belum jelas tenggat waktunya, tapi melihat gaji yang kuterima juga lumayan, tak apalah aku rela melepas semua pekerjaanku.
Setelah perut diisi, aku mandi. Ternyata olahraga pagi lumayan segar juga. Tak terasa sudah jam sembilan. Aku harus segera ke toko kelontongan. Iya, hari Minggu begini aku kerja di sana. Walau hanya sekali dalam seminggu, lumayan saja untuk sekedar beli beras.
"Mau kemana kamu?" Pak Adit menginterupsi saat aku sudah siap untuk pergi. Ia sedang bersantai duduk di sofa dengan laptop yang terbuka di pangkuannya. Entah sedang apa. Mungkin main game.
"Mau pergi, Pak. Saya mau pamit," jawabku sembari merapikan ikatan rambut yang berasa agak kendor.
Pak Adit langsung menutup laptopnya dan menatapku dengan tatapan heran, "Pamit? Kamu membatalkan kerja dengan saya? Sudah tidak butuh uang? Sudah tidak butuh nilai?"
"Tidak. Saya masih akan kerja dengan Anda."
"Kenapa kamu bilang pamit barusan?"
"Maksud saya, saya akan pamit ke tempat kerja saya selama ini. Bukannya Anda bilang saya harus fokus di sini?"
Ia tersenyum lebar, "Ah, benar juga. Ya sudah sana pergi!" Ia mengibaskan tangannya dan kembali membuka laptopnya lagi.
"Iya, Pak." Aku berbalik dan menuju pintu keluar.
"Eh, tunggu dulu!"
Langkahku terhenti, "Ada apa, Pak?"
"Sini!"
Giliranku mengernyit heran, "Kenapa?"
"Sini!" Ia memberi kode agar aku mendekat dan duduk di sampingnya.
"Ini sudah siang, Pak. Saya harus pergi."
"Bawel ya kamu, saya bilang sini!" Ia kembali menepuk-nepuk tangannya ke atas sofa.
Daripada terus berisik, aku menurut. Duduk di sampingnya seperti yang ia mau.
Tiba-tiba ia mencondongkan badannya ke arahku. Hingga wajah kami hampir bersentuhan. Gila, mau apalagi sih? Jangan-jangan mau bikin adegan seperti di drama? Mau menciumku? Sebagai tanda pamit? Aih, kenapa ia berubah menjadi manis begini? Apa ia lupa dengan si Jessica ya?
"Kenapa merem?" bisiknya dengan suara serak.
Lah, jelas aku merem, ia begitu dekat. Sial, jantungku tidak tenang sekarang. Berdegup tidak karuan.
"A-anda mau apa?"
Ia menatapku lama, lalu tersenyum lebar, "Hanya memastikan kamu mandi atau tidak. Baguslah! Ternyata kamu wangi dan sudah mandi, haha!" Ia tertawa dan menjauhkan wajahnya dariku.
Bangke! Aku dikerjain lagi! Dosen genit!
"Kalau cuma nanya itu, kan bisa bertanya langsung, Pak!"
"Siapa tahu kamu berbohong kan?"
"Tapi kalau caranya seperti itu, saya jadi berprasangka lain!"
Ia tersenyum genit, "Ah, jadi kamu berharap sesuatu terjadi di antara kita tadi?"
"Eh, ti-tidak! Bukan begitu! Pokoknya lain kali kalau ada hal yang ingin Anda tahu dari saya, ya tanyakan saja."
"Haha, baiklah! Baju kamu tidak ganti dari kemarin. Walau sudah mandi, saya masih mencium baru asemnya. Sana ganti dulu!"
"Pak, ini rumah Anda. Mana bisa saya ganti baju. Semua baju saya ada di kontrakan."
"Kontrakan?"
"Y-ya, saya gak punya rumah. Saya ngontrak."
"Mengenaskan sekali. Ah, jadi lupa. Berhubung sekarang kamu termasuk karyawan saya, kamu tidak boleh membuat saya malu dengan memakai baju bau seperti ini."
"Lah, terus? Masa harus buka baju?"
Si Brewok malah tersenyum miring, "Boleh juga."
Refleks mataku mendelik dan memasang kedua tanganku di depan d**a, "Enak saja! Saya masih punya harga diri, Pak. Jangan macam-macam!"
"Ck, saya cuma mau satu macam. Kamu ganti baju sana! Di kamar yang kamu tempati tadi ada lemari. Pakailah yang sekiranya cocok buat kamu."
"Baju perempuan, Pak?"
"Sudah saya bilang, pilih saja yang cocok. Sana ganti, bau!"
Aku mengendus kedua ketekku. Beneran agak bau sih. Wajar kali, baju dari kemarin belum diganti. Baiklah, aku mengikuti petunjuk dari pria yang konon sekali jadi majikanku. Iya, dari dosen bergeser jadi majikan, takdir macam apa ini.
Lemari yang dimaksud sebenarnya sudah aku lihat, cuma tidak berani buka. Ya kali nginep di rumah orang berani buka lemari tanpa izin. Aku gak sejahat itu. Berhubung sekarang sudah dapat izin, aku langsung membukanya dan ternyata tidak dikunci.
Mataku membelalak kagum melihat isi lemari besar ini. Wow, ini sih baju wanita semua. Modis-modis lagi. Kelihatannya semua bermerek. Apa iya aku boleh mengambil salah satu dari baju-baju ini? Eh tapi, ini kok banyak baju wanita ya? Apa jangan-jangan si Brewok sering bawa perempuan ke sini ya? Siapa tahu kan? Halah, gayanya aja bilang gak bisa diurus orang asing. Giliran ke rumah aja ngumpetin yang bahenol.
Ck, kenapa semua bajunya terbuka sih? Masuk angin ntar berabe lagi. Lima menit ngacak-ngacak, akhirnya dapat yang agak mending. Dadanya tidak terbuka. Kaos biasa walau agak tipis dan ketat. Gak biasa dandan begini. Kaos gombrong dan jeans panjang belel adalah keseharianku. Paling kemeja kalau ke kampus saja. Itu pun hanya punya beberapa.
Saat aku kembali, Pak Adit juga sudah siap untuk berangkat sepertinya. Hanya saja baju yang ia pakai tidak resmi. Kalau seperti itu, ia seperti bukan bujang lapuk yang gak laku. Agak terlihat muda. Gak akan ada yang mengira kalau usianya sudah mau masuk tiga puluh lima tahun.
"Lama sekali. Padahal tidak pakai make-up," Ia menggerutu sambil melirik jam tangannya.
"Anda nungguin saya?"
"Siapa lagi? Di sini tidak ada orang lagi selain kita."
"Kenapa menunggu?"
"Sudahlah, ayo pergi! Kamu bilang mau pamit kan?"
"Iya sih. Malah ini sudah telat. Padahal gak diantar juga gak apa, Pak."
"Jangan ge-er! Saya hanya tahu diri kamu belum dapat gaji dari saya. Jadi nanti gaji kamu akan dipotong biaya transport hari ini."
Busyet! Kikir amat, Bang Jali!
Aku hanya mingkem. Serah lo deh! Serah! Capek gue!
"Tumben gak protes?" sambungnya lagi setelah mobil Pak Adit mulai meninggalkan halaman rumahnya.
"Namanya juga karyawan, mana berani protes sama majikan. Nanti takut dipotong lagi, rugi saya," jawabku dengan nada sedikit lemas.
Ekor mataku meliriknya, ia tersenyum geli.
"Ini tokonya?"
Aku mengangguk dan segera turun. Bang Sanjay pemilik toko ini menyambutku dengan muka penuh pertanyaan.
"Jam segini baru datang, San? Kemana aja? Si Safri kewalahan ngangkut dus air tuh, kemarin Haji Juhri pesan banyak but hajatan kawin anaknya."
"Maaf, Bang. Saya sekalian mau ada yang diomongin."
"Dari tadi udah ngomong, San. Ada apa sih?"
"Boleh duduk dulu gak, Bang?"
"Ini nih, ngeselinnya kau, San. Bagai yang punya toko aja lagaknya," Bang Sanjay menepuk bahuku. Manusia gendut yang satu ini ngomongnya suka pedes tapi gak bikin sakit hati. Yah, sebenarnya dia baik.
Kami duduk di dalam toko. Si Safri mulai lirik-lirik padaku, "Apa, Saf? Maaf, gue telat," Aku memasang cengiran padanya. Iya, aku jadi kuli panggul juga di sini. Pokoknya segala aku kerjakan di sini. Yang paling sering adalah bantu si Safri ini.
"Kerja Saf! Jangan lirik-lirik mulu! Jatah bakwan kau ku potong sebiji nanti!"
Aku hanya menahan tawa. "Bang, sebenarnya saya mau berhenti kerja di sini."
Bang Sanjay memasang muka kesal, "Bah, macam dah banyak uang saja lagak kau, San! Berapa duit kau dapat dari bos barumu?"
"Bukan itu sih, Bang. Panjang ceritanya."
"Jangan kau ceritakan kalau panjang. Malas aku dengar cerita panjang. Jangan-jangan kau jadi simpanan pria tadi?"
"Kagaklah, Bang! Saya masih waras, Bang!"
"Baguslah, jangan karena duit kau mau saja jadi pemuas nafsu pria bejat."
"Iya, Bang. Maaf ya, selama ini saya banyak merepotkan. Makasih banyak atas semua bantuannya sama saya, Bang."
"Apalah kau ini. Kau dapat duit dariku karena kerja. Kalau sudah dapat kerjaan lagi, pergilah, aku tak pandai basa-basi."
Aku tertawa. Bang Sanjay memang begitu. Entah manusia ini terbuat dari tanah apa, kasar tapi sangat baik hati. Ia juga mau saja menerimaku jadi karyawannya padahal hanya kerja di hari libur saja.
Setelah pamit dengan yang lainnya, aku kembali ke mobil. Ternyata si Brewok masih ada dan menunggu.
"Selesai?"
"Ya," jawabku singkat.
"Hanya ini tempatmu kerja?"
"Tidak. Masih ada tiga tempat lagi."
"Apa? Kenapa banyak sekali?"
"Namanya juga cari duit, Pak. Biaya kuliah itu gak sedikit. Saya kerja sana-sini untuk bisa bayar kuliah dan buat makan. Belum lagi kontrakan yang terus naik. Rasanya seperti dicekik, masih hidup juga sudah beruntung."
"Jangan berlagak sok mengenaskan! Masih bagus kamu bisa dapat kerjaan. Pengangguran di sana malah lebih banyak." Pak Adit menunjuk pada beberapa orang dengan pakaian rapi sedang duduk di depan gerbang sebuah pabrik.
Benar juga sih. "Masalahnya pengangguran berijazah S1 kebanyakan tidak mau kerja babu seperti saya."
"Itulah. Kerja dengan banyak gengsi susah."
Mobil melaju lagi. Hari mulai panas saat aku selesai pamit dari ketiga tempat kerjaku. Majikan ketiga tempat yang lainnya tidak sedekat dengan toko Bang Sanjay. Rerata mereka biasa saja. Mungkin mendapatkan pekerja cuci piring sepertiku tidak sulit.
"Sekarang saya harus beberes barang-barang. Anda bilang saya harus pindahan kan?"
Pak Adit melirik jam tangannya, "Jam sebelas siang. Saya ada janji temu dengan seseorang."
"Oh begitu. Baiklah, saya turun di sini saja. Naik angkot juga bisa."
"Enak saja! Kamu tidak bisa seenaknya pergi. Kamu masih kerja sama saya."
"Lah, terus? Anda mau ikut beberes di kontrakan saya juga?"
"Tidak."
"Lalu?"
"Kamu ikut saya."
"Kemana?"
"Kemanapun. Sudah saya bilang, sekarang kamu sudah saya kontrak jadi pekerja saya."
Aku hanya bisa menghela nafas panjang. "Baiklah."
Kulihat dia tersenyum samar. Asal lo seneng aja dah, Tong! Yang penting transferan jalan.
Ternyata ia menemui seorang wanita di sebuah kafe. Sangat cantik. Apa ia si Jessica itu ya? Tapi kan katanya masih di luar negeri? Wah, aku mencium bau-bau perselengkian ini.
"Bawa ini!" Pak Brewok memberikan tas laptop ke pangkuanku. Dengan sigap aku menerimanya. Ia berjalan sangat cepat.
"Pak, itu siapa?"
"Ikuti saja, jangan kepo!"
Jawaban tengilnya membuatku ingin mengumpat. Kan cuma nanya. Ish, jangan-jangan beneran selingkuh ya?
"Hai, sudah lama?" Pak Adit menyapa wanita itu. Dengan gaya yang anggun, wanita itu menyambut Pak Adit dengan senyuman dan uluran tangan. Mereka bersalaman. Aku sendiri masih berdiri di belakang. Sedang kedua manusia itu sudah duduk manis dan mulai berbasa-basi. Kalau cuma lima menit sih gak masalah ya, berdiri begini. Tapi ini sudah lima belas menit, lama-lama pegal juga, Parjo! Mau duduk tapi gak dipersilakan. Sial! Begini amat nasib jadi babu.
"Siapa dia?" tanya wanita itu setelah beberapa lama hanya membicarakan tentang bisnis. Kudengar sih, si wanita itu minta kesepakatan untuk memasang AC di sebuah mall atau apalah, aku gak begitu faham. Dan belakangan aku tahu dia bukan si Jessica. Terdengar Pak Adit memanggilnya Susan.
"Sepupu."
Jawaban Pak Adit jelas membuatku kaget. Apa katanya? Sepupu? Seenak udel bener dah kalau ngomong? Apa maksudnya coba? Ah, atau jangan-jangan memang mereka ada sesuatu ya? Si Brewok takut disangka aku ini gebetan barunya? Wah, kalau si Jessica tahu gimana ya?
Akhirnya kami keluar dari kafe.
"Kamu kenapa memasang muka asem begitu?"
"Saya pegel, Pak."
"Siapa suruh kamu berdiri terus?"
"Lah, Anda gak mempersilahkan saya duduk."
"Duduk mah tinggal duduk aja, San."
"Eh, ngomong-ngomong, tadi kenapa Anda malah bilang saya ini sepupu Anda? Jangan-jangan Anda ada main sama wanita tadi ya?"
"Maksud kamu?"
"Anda selingkuh dari Mbak Jessica ya? Tenang saja, Pak. Rahasia aman kok. Hanya saja Anda harus hati-hati. Memang sih, Mbak Jessica ada di luar negeri, mungkin Anda akan aman. Tapi bagaimana kalau dia pulang? Kan susah mutusinnya?"
Pak Adit malah terdiam. Lalu lama-lama ia tersenyum lebar, "Kamu benar. Jessica jauh. Selingkuh gak akan ketahuan. Bagaimana kalau kita coba saja?"
"Maksud Anda?"
"Kita selingkuh saja, katamu akan aman. Mutusin kamu juga bukan hal yang sulit. Sedikit bersenang-senang denganmu sepertinya tidak buruk."
"Hih, kenapa jadi begini arahnya sih, Pak?"
Dosen semprul!