Gak Gitu Konsepnya!

1512 Kata
Walau dengan sedikit ngedumel, akhirnya aku manut di belakang Pak Adit. Pria brewok itu terlihat santai berlari kecil di sekitar komplek ini. Tapi sungguh, entah karena salah kakinya yang panjang ataukah lariku yang lambat, aku kerepotan mengejarnya di belakang. Set dah, apa aku tinggal aja ya? Lagian juga minta ditemani tapi dia sendiri malah asyik lari tanpa memedulikan aku yang ngos-ngosan ini. Ah, baguslah, menjauh sepertinya bukan ide buruk. Kalau dia protes, ku bilang saja kalau larinya terlalu cepat. Pandanganku menyapu sekeliling. Ada Sebuah pohon cukup rindang di tepi jalan. Aku duduk di bawahnya sambil sesekali mengipasi wajah dengan kedua telapak tangan. Angin sepoi-sepoi membuatku nyaman bersandar pada pohon. Mataku merem sebentar. Melanjutkan tidur sepertinya enak di sini. Asal tidak terlalu pulas mungkin tak apa. Aman lah. Ini kan komplek elit. Yakin keamanan di sini pasti terjamin. "Hei, siapa suruh kamu berhenti?" Kaget dong! Tetiba suara Si Brewok ada di depan. "Istirahat sebentar, Pak." "Ayo, lanjut lagi! Tugas kamu yang sebenarnya sudah menanti." "Tugas sebenarnya? Maksud Anda?" "Kalau mau tahu, bangunlah dan ikuti saya!" Tanpa bicara lagi, aku bangun dan mengikutinya. Kali ini dia tidak lari. Mungkin sadar kalau aku sangat payah dalam urusan lari pagi. "Kita kemana, Pak?" "Kita bertemu dengan ibu saya." "Ha? Mau ngapain, Pak?" "Sudah saya bilang, kalau kamu penasaran, ikuti saya dan jangan membantah. Mengerti?" Aku mengangguk patuh. Apa tadi katanya? Bertemu ibunya? Jangan-jangan aku mau dijadikan kekasih bayaran seperti di novel-novel? Ah, atau Tuan Brewok ini dipaksa menikah cepat lalu memanfaatkanku agar selamat dari tuntutan orang tuanya? Langkah kami berhenti di depan sebuah kedai. Sepertinya ibunya sedang sarapan pagi. Ada seorang wanita yang tengah duduk sendirian di dalam sana. Walau nampak sudah berumur, tapi wanita itu masih kelihatan cantik dan modis. Ah jika dugaanku benar, aku akan dijadikan pacar kontraknya Pak Adit, aku gak mau. Melihat tipe ibu mertua yang modelan begini biasanya ribet dan banyak aturan. "Tunggu, sebelum kita masuk, saya ada satu pertanyaan." Pak Adit mengerutkan keningnya, "Apa?" "Apa tujuan Anda membawa saya kemari?" "Kamu gak dengar ya, saya bilang kalau kamu penasaran, kamu --" "Ikuti Anda dan tidak membantah? Tidak bisa, Pak. Saya mencurigai sesuatu yang tidak beres di sini." "Maksud kamu?" "Jujur, Pak. Anda sedang mencari calon istri?" "Kenapa kamu berpikir seperti itu?" "Ya bayangkan saja, Pak. Anda sudah tidak muda lagi. Sudah berumur. Bahkan sudah hampir tiga puluh lima tahun kan? Saya yakin, Anda pasti didesak menikah." "Terus apa hubungannya sama kamu? Segala bilang hal yang tidak beres?" "Iya. Anda mau jadikan saya tumbal agar mau jadi istri kontrak kan? Agar Anda gak didesak lagi sama ibu Anda? Saya tidak mau, Pak. Saya masih muda. Masa depan saya masih panjang. Mana mau saya habiskan dengan hal yang tidak jelas begini." Pak Adit terdiam sesaat, lalu tertawa renyah, "Haha, kamu percaya diri sekali? Bagaimana bisa kamu punya pikiran seperti itu?" "Y-ya kan kebanyakan begitu. Saya baca kok dari novel bahkan ada banyak di cerita film juga." "Ck, ngaco kamu. Saya bukan orang yang suka mempermainkan pernikahan. Enak saja! Kamu kebanyakan nonton drama!" Aku diam. Jadi dugaanku salah? Lalu untuk apa dia mengajakku kemari? "Terus ngapain saya harus ketemu sama orang tua Anda?" "Sudah, ayo masuk saja!" Penasaran sih, tapi aku tidak bisa protes. Mau tak mau aku mengikutinya. "Halo, Ma!" Sapa Pak Adit yang langsung disambut senyuman wanita itu. Pak Adit mencium punggung tangan ibunya. Entah karena terpesona dengan kharisma ibunya Pak Adit, aku malah bengong. Hingga kurasakan Pak Adit menyikut pelan lenganku. Buru-buru aku mengikuti gerakan Pak Adit yang mencium punggung tangan ibunya. "Duduklah!" ucap wanita itu. "Maaf, aku agak telat. Sani tadi sedikit lama bangunnya." Pak Adit melirikku. Aku meringis, lah kok jadi aku yang salah? "Baik. Jadi kamu Sani? Kenalkan, saya Rahma, ibu kandung Adit." Aku mengangguk sopan seraya menerima uluran tangan Bu Rahma. "Senang bertemu dengan Anda, Bu Rahma." "Hm, kemarin Adit bilang tentang kamu." "Saya?" Aku menunjuk pada diriku sendiri. Tidak percaya dengan apa yang aku dengar. Pak Adit sudah menceritakanku pada ibunya? Tuh kan, jangan-jangan dugaanku benar. Aish, aku mau dijadikan alat agar ia tidak dijodohkan! "Ya. Adit itu anak saya satu-satunya. Biasanya ada Mbok Muti yang mengurusnya. Sekarang Mbok Muti sudah tua. Jadi Adit harus ada yang mengurus." Aku manggut-manggut. "Mbok Muti sudah meninggal?" "Hush! Kamu ya kalau ngomong!" Pak Adit menepuk pelan lenganku. "Mbok Muti masih ada. Tapi sudah pulang kampung. Sebagai gantinya, Adit tidak mungkin mencari pengurus lain. Karena sifatnya yang tidak mudah percaya pada orang asing." "Lalu bagaimana mencari pengurus Pak Adit dengan orang yang tidak asing?" "Menikah." Bu Rahma menjawab dengan tegas. "Pernikahan membuat dua orang yang awalnya asing menjadi dekat." Tuh bener lagi kan? Yakin deh, aku yang akan dijadikan calon ini mah. Duh, pacaran aja belum, masa disuruh nikah sih? Walau Pak Adit ini terbilang sangat tampan, tapi kalau jadi suami sepertinya tidak mungkin. Bukannya disayang, yang ada aku kerja rodi tiap hari, mati aku! "Ekhm, maaf ya Bu sebelumnya, apa Pak Adit ini sudah ada calon?" tanyaku dengan sangat hati-hati. Ya, takut menyinggung lah. "Kamu meragukan saya?" Kali ini Pak Adit yang menjawab dengan santai. "Bu-bukan begitu. Ya kan katanya harus menikah secepatnya biar ada yang ngurus berarti harus secepatnya ada calon istrinya juga." "Asal kamu tahu, yang mengajak saya untuk besanan sudah banyak. Dari mulai anak pengusaha sampai anak pejabat sekalipun." "Oh, hehe. Iya, saya percaya kok, Bu. Pak Adit kan dosen yang baik." Dalam hati rasanya ingin muntah saat bilang 'dosen baik'. Bohong besar sih. "Adit pengusaha juga. Dia juga sebentar lagi harus mengurus usaha saya. Saya sudah mulai tua. Jadi nanti biar Adit yang urus semuanya." "Ah, iya." Entah aku harus jawab apa. Ini sebenarnya dalam rangka apa sih? Nyombongin Mister Brewok itu apa gimana? "Yang jelas kamu jangan khawatir, anak saya sudah bertunangan." "Ha?" "Kenapa kaget?" Bu Rahma bertanya dengan nada tidak suka. "Bukan kaget sih, Bu. Hanya itu, hehe, anu, saya belum lihat tunangannya, pasti cantik." Bego, kenapa aku malah kelepasan pasang wajah kaget sih? Pak Adit sendiri malah sangat tenang. Dia nampak menikmati makanan yang ia pesan. Sial, hampir saja aku mempermalukan diri sendiri. Kukira aku yang akan jadi calonnya. "Jelas. Jessica. Calon istri anak saya. Dia sedang di luar negeri. Jadi kamu di sini untuk membantu Adit dalam kesehariannya sebelum Jessica datang." Bu Rahma menjawab lagi-lagi dengan nada tegas. Seolah menuduhku ingin dekat dengan anaknya yang brewokan itu. "Oh, begitu rupanya. Baik, Bu. Tapi bukannya saya termasuk orang asing?" "Ck, kamu mahasiswi saya. Bukan orang asing!" Pak Adit nimbrung lagi. "Sudah, yang jelas saya titip Adit sama kamu. Urus dia dengan baik sampai Jessica pulang ke Indonesia." Nada tegas Bu Rahma membuat aku dan Pak Adit kembali diam. "Ngomong-ngomong, Mama lama di sini?" Bu Rahma menyudahi sarapannya. Ia melap bibir bergincunya dengan tissue. "Tidak, hanya dua hari. Mama masih banyak pekerjaan di Jakarta. Baik, karena Mama sudah melihatnya, sepertinya tidak buruk. Mama harus pergi." "Mau ku antar?" "Tidak perlu. Mama bawa supir. Kalian sarapanlah! Ingat, jangan pernah meninggalkan sarapan pagi sesibuk apapun." Setelah selesai memberikan wejangan, Bu Rahma meninggalkan kami. "Pak, jadi tugas saya ini gantiin tunangan Anda gitu?" "Ck, hanya mengurus keperluan pribadi saya. Kamu jangan khawatir, untuk hal ini saya profesional. Kamu dapat bayaran." Apa katanya? Bayaran? "Yang bener, Pak?" Seketika otakku berkilauan mendengar kata 'bayaran'. Wah, lumayan ini buat uang tambahan. "Iya, nilai kan? Saya akan beri kamu nilai untuk mata kuliah saya." Mataku yang semula berbinar kembali redup, "Oh begitu. Iya, makasih." Ekor mataku melirik wajah Pak Adit. Sudut bibirnya nampak berkedut lalu lima detik kemudian dia tertawa. "Haha, kenapa jadi lemes? Bukannya kamu mengharapkan nilai dari saya?" "Iya sih, Pak." Pak Adit berdiri. Aku mengikutinya. Sepertinya pesanan kami sudah dibayar Bu Rahma. Buktinya Pak Adit tidak ke kasir. Kami keluar dari kedai itu. "Saya serius kok. Saya bayar kamu. Tapi dengan syarat kamu harus siap dua puluh empat jam saat saya butuh." "Ha? Dua puluh empat jam? Tapi bayarannya apa, Pak?" "Masa tidak tahu. Ya uang lah. Kirim nomor rekening kamu. Nanti saya transfer tiap bulan." Pak Adit menyebutkan nominal bayaran yang akan aku terima. Wow, buatku sih itu besar sekali. Ketimbang jadi kuli cuci piring di restoran, ini lebih besar. Sepertinya cukup untuk menyelesaikan kuliahku. Setahun lagi aku selesai kuliah. "Eh, tapi Pak, tunangan Anda masih lama di luar negerinya?" "Saya tidak tahu pasti." "Lho, kok begitu sih, Pak? Saya butuh kepastian lho, Pak." "Pasti lah, kamu pasti dibayar." "Bukan begitu, ini kerjanya full time lho, Pak. Jadi harus jelas." "Yang jelas saya bayar kamu." "Iya, iya, Pak. Tapi bagaimana kalau Jesica itu pulangnya masih lama?" "Tidak masalah." "Lah, terus nasib saya bagaimana?" "Kamu dapat pekerjaan. Gak rugi kan?" "Kalau Jessica tidak pulang? Masa saya seumur hidup kerja 24 jam dengan Anda?" Pak Adit terdiam. Ia merogoh sakunya lalu memberikan sebuah permen padaku. Karena tidak mau berdebat, aku langsung menerimanya. "Kalau Jessica tidak pulang? Tidak masalah." "Lho, terus bagaimana dengan pernikahan Anda?" "Saya masih ada kamu." "Ha? Saya gak mungkin selamanya mau jadi asisten atau apalah namanya, lulus kuliah saya ingin cari kerja yang lebih baik." "Ya sudah, kita menikah, kamu gak jadi asisten lagi kan? Masalah beres." "Ha? Gak gitu konsepnya, Pak!" Dosen sableng!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN