Ketar ketir sih. Tapi selain itu juga ada rasa penasaran yang menggunung. Iya, aku tahu bermalam pertama sebelum menikah itu bukan hal yang baik apalagi dengan pria yang tidak ada hubungan apapun dengan kita. Bangkenya rasa penasaran ini terlalu besar, mungkin karena aku belum tahu bagaimana rasanya.
Salahkan ucapan Tuan Brewok itu yang asal jeplak, sehingga mau tak mau mataku terus melirik pada d**a bidangnya yang hanya berbalut kaos oblong polos yang ketat di tubuh atletisnya.
"Kenapa bengong?" Tuan Brewok membuyarkan khayalan gilaku.
"Eh kenapa, Pak?"
"Sana tidur!"
Aku bingung dong. "Maksudnya?"
"Kamu tadi mau tahu kan, tugas kamu berikutnya apa? Ya tidur."
Glek. Keringat dingin mulai menetes, ah bukan ding! Sepertinya bukan keringat dingin, tapi keringat panas! Yes, aku deg-degan tidak karuan.
"Di-dimana tidurnya, Pak?"
Ia nampak mengerutkan keningnya, "Tidur ya di kamar. Kenapa kamu tetiba gugup begitu?"
"Ti-tidak, Pak. Saya ha-hanya merasa belum siap. Sumpah lho, Pak. Walau saya bu-bukan gadis baik-baik. Tapi kalau u-urusan begituan, saya ma-masih bisa menjaga diri. Jadi sa-saya ...."
"Tunggu," Ia menyela lalu menatapku curiga, "Apa yang kamu pikirkan, Sani?"
Aku cengo. Apa aku salah ngomong?
"Tugas dari Anda kan tidur. Itu, anu ...."
Dia diam.
Satu detik....
Dua detik....
Tiba-tiba....
"Hahaha!" Tawanya meledak memenuhi seisi ruangan. Bahkan ia sampai memegang perutnya. Si Brewok kenapa lagi? Apa dia kesurupan?
"Ke-kenapa Anda tertawa?" Antara takut dan heran.
"Hahaha, aduh, Sani! Sini coba saya pastikan dulu!" Tetiba dia bangkit lalu tanpa permisi langsung memegang kedua pipiku.
Sial! Pipiku makin panas kalau seperti ini. "Sa-saya...."
"Haha, tuh pipimu sampai panas begini. Aduh, Sani, Sani. Dengar ya, kamu pikir saya nyuruh kamu tidur apaan? Ditiduri gitu? Saya masih waras hanya untuk memuaskan nafsu saya sama mahasiswi sepertimu. Kamu pikir saya sebodoh itu? Jangankan merasa puas, berdiri saja enggak tuh lihat kamu. Yang ada saya bisa dapat masalah."
Ha? Apa katanya? Mahasiswi seperti aku? Berdiri? Tunggu ... jadi aku gak bikin dia tertarik gitu? Dasar brewok gila!
"Maksud Anda?" Sumpah, rasanya kesalku sudah ke ubun-ubun.
Telunjuk si Brewok mendarat di jidatku, "Bersihkan pikiran kotor kamu! Saya memang nyuruh kamu tidur beneran."
Sialan! Aku dikerjain pria ini. Malu anjir! Rasanya mukaku hilang saat ini. Aku meringis. Lalu mundur perlahan menjauh dari pria jangkung yang sukses membuatku malu.
"Kalau begitu, saya pa-pamit." Aku berbalik badan hendak pergi dari ruangan ini.
"Tunggu! Tapi kalau dipikir, ini sudah malam." Ucapannya menghentikan langkahku.
Aku berbalik kembali ke arahnya, "Tak apa, Pak. Saya bisa pulang sendiri."
"No, no. Saya tidak mau dianggap sebagai seorang pria jahat yang membiarkan gadis pulang malam seorang diri."
"Jadi? Anda mau mengantar saya?"
"Tidak. Lagipula saya tidak tahu rumah kamu."
"Lalu?"
"Tidur di rumah saya. Menginaplah!"
"Ha?"
Melihatku terkejut lagi, ia mendekat, badannya condong hingga wajahnya tepat berada di telingaku, "Jangan takut, saya tidak akan menggigit!"
Glek. Sumpah ya ini laki senang amat membuatku ketakutan. Bisikannya benar-benar membuat sekujur tubuhku bergelenyar seperti terkena aliran listrik.
"Ta-tapi, Pak...."
Grep. Ia mengambil lenganku lalu mengajakku mengikuti langkahnya. "Sudahlah, ayo ikut saya!"
Walau takut setengah mati, akhirnya aku mengikutinya. Ia membawaku ke lantai dua rumah ini. Ada tiga kamar dan satu ruangan televisi di bagian lantai dua.
Ia melepaskan pegangan tangannya sedikit kasar hingga aku bersandar di salah satu pintu kamar. Aku terjebak di antara kedua tangannya yang mengurungku.
Sumpah, aku makin gugup. Matanya menatap mataku. Bibirnya menyunggingkan senyuman. Sebenarnya dia sedikit er... seksi. Aish, apa yang kupikirkan?! Aku menggeleng. Jangan sampai aku terpesona padanya. Ingat, Sani! Dia bilang tidak tertarik padamu! Tapi wangi nafasnya ini membuatku sedikit... err... h***y. Sial! Godaan terberat.
Trek. Terdengar bunyi kunci pintu di belakangku. Lalu wajahnya kembali mendekat ke telingaku.
"Masuklah dan tidur dengan nyenyak," bisiknya. Ia lalu pergi meninggalkanku.
Gila, jantung rasanya seperti mau copot. Tapi aku lega. Ternyata ia benar-benar hanya menyuruhku untuk tidur dan menginap di rumahnya. Segera aku masuk ke kamar yang ia tunjukkan. Kamarnya lumayan luas dan rapi. Sepertinya jarang dipakai. Terlihat dari sprainya yang masih rapi tanpa ada kusut sedikitpun.
Aku merebahkan tubuh di atas kasur. Kasur orang kaya sangat empuk. Entah karena lelah, ataukah karena kasurnya terlalu nyaman, aku cepat tidur dengan pulas malam ini. Gilanya lagi, ucapan si Tuan Brewok terbawa mimpi. Ya, aku bermimpi pria itu datang ke kamarku dan menatapku lama. Ia mendekat dan meraba wajahku dengan telunjuknya. Lalu ia pergi begitu saja.
***
Secercah cahaya masuk ke ruangan ini, aku baru bangun. Ah, bukan bangun, hanya terjaga. Mataku masih terasa lengket untuk dibuka. Tidurku sepertinya malam ini sangat berkualitas. Iya, sebelum ini banyak nyamuk yang mengganggu. Kontrakan kecil yang kutempati memang sangat akrab dengan nyamuk. Tapi tunggu, aku tidak membeli obat nyamuk atau semacamnya. Lalu, kemana perginya semua nyamuk itu ya?
Perlahan aku membuka kelopak mataku. Eh, busyet! Aku terperanjat kaget. Iya, dasar Oneng! Pantas aku tidur nyenyak. ini bukan kamarku. Kasur empuk ini milik si Tuan Brewok itu. Ck, argh, ternyata aku kembali pada kehidupan nyataku lagi. Semalam aku dibuat malu dengan bonus rasa takut. Dan sekarang aku harus kembali menghadapi makhluk Tuhan yang indah itu.
Walau dengan rasa malas dan sedikit menguap, aku bangun dan hendak masuk ke kamar mandi. Tapi urung, mataku memicing melihat ponselku yang bergetar di atas meja.
"Ya, apa?"
"Segera bangun dan lakukan tugasmu!"
Aku menjauhkan telingaku dari benda pipih itu. Ternyata si Brewok yang menelpon.
"Tugas lagi?"
"Ya."
"Baik, saya mandi dulu, Pak."
"Lima menit."
"Apa? Mana bisa, Pak? Perut saya melilit, mules, Pak. Tiga puluh menit ya?"
"Kelamaan! Sepuluh menit sudah turun!"
"Apa? Cepat amat, Pak?"
"Turun atau saya yang mandikan kamu!"
Eh, busyet! Pelan-pelan, Pak Sopir!
"Iya, Pak, iya!"
Klik. Hih, Brewok Gila! Dengan bersungut-sungut akhirnya aku terpaksa hanya bisa mengeluarkan isi perut dengan suasana penuh tekanan. Tidak sesantai biasanya. Sisa waktu hanya tinggal dua menit. Ck, mana bisa mandi?
Dan ternyata benar. Saat aku turun, manusia tengik itu sudah duduk tegak di tempat kemarin ia makan malam.
"Lama sekali."
"Lho, saya tepat waktu, Pak."
"Kamu terlambat satu menit dua puluh detik."
"Iya, maaf. Sekarang tugas saya apa, Pak?"
"Temani saya olahraga."
"Ha? Jam segini?"
Ia mengangguk. "Ayo!"
"Tapi, Pak. Ini masih pagi."
"Kamu ini anak gadis tapi kelakuannya melebihi malasnya anak bujang. Ini sudah siang. Jam enam pagi harusnya gadis seumuran kamu sudah biasa bangun pagi lalu membereskan rumah dan menyiapkan sarapan. Bukannya malah masih ngorok. Mana baju kamu acak-acakan begitu."
Aku melongo. "Pak, sebenarnya saya ini mau dipekerjakan jadi asisten Anda atau dilatih menjadi ibu rumah tangga?"
"Kalau yang keduanya, bagaimana?"
"Apa? Jangan bercanda, Pak!"