Terjebak!

1170 Kata
"Pak, jangan seenaknya! Walau Anda punya wajah tampan dan seksi, bukan berarti Anda bisa sembarang mencium bibir orang!" Sumpah, ini aku ngomong sambil ngos-ngosan, kejadian barusan benar-benar di luar perkiraan BMKG. Bukannya sadar, ia malah tersenyum geli, "Saya tampan dan seksi? Kamu sudah sadar rupanya." "Pak, bukan itu poin pentingnya!" Ia beringsut bangun lalu mengambil laptopnya, "Sudah, jangan berdebat terus, mending kamu tidur sana! Kegiatan kita besok akan padat. Jangan sampai kamu mengantuk saat menemani saya nanti." Hih, greget gue! "Pak, bahasan kita belum selesai, lho?" "Yang mana? Ah, yang ini?" Ia dengan menyebalkannya malah monyong seakan siap menciumku lagi. "Iya, apalagi, Anda jangan menghindar!" Tanpa diduga, Pak Adit menutup laptopnya lalu mendekat ke arahku yang masih duduk di atas kasur. "Ok, jadi kamu tidak puas hanya dengan menempel saja? Baik, mari kita perluas dan perdalam lagi tautan bibir kita." "Eh, kok jadi begitu? Gak mau!" Sontak aku menutup bibirku dengan telapak tangan. Enak saja! "Haha, sudah, jangan banyak berpikir, tidur sana! Jadilah gadis yang baik, oke?" Ia mengacak rambutku. Dih, apaan itu? Terus urusan tindakannya tadi bagaimana nasibnya? "Tapi, Pak..." "Sani, kalau kamu belum tidur juga, saya cium kamu lagi. Mau?" Aku menggeleng cepat, "Iya, iya, saya tidur sekarang!" Dasar dedemit m***m! Awas saja, suatu saat aku akan membalasnya. Eh, tapi membalas pakai apa? Kalau dicium lagi malah menang banyak dia! Huft, aku benar-benar belum tahu kelemahannya. Terpaksa aku berbaring miring membelakanginya yang sedang duduk di atas sofa. Sepertinya ia memang sedang mengerjakan sesuatu. Tenang dan damai tak ada yang menggangguku. Sialnya kantuk belum juga datang. Sesekali aku meliriknya. Ia masih nampak serius dengan layar laptopnya. Entah apa yang sedang ia kerjakan. Ngomong-ngomong, kamar ini hanya ada satu kasur. Jika aku tidur di sini, Pak Adit tidur di mana? Masa iya tidur di sofa? Mana mau kan? Orang wataknya juga begitu. Seenak udel dan tidak suka dengan hal yang tidak nyaman. Ya, yakin deh dia tidak akan mau tidur di sofa. Waduh, gawat, kalau begini ceritanya, bisa diprediksi jika ia akan tidur di kasur. Ini artinya aku tidak aman malam ini. Aku harus tidur di sofa. Tapi di sofa sana ada Pak Adit. Lagian ngapain juga sih ia kerja di sofa? Kan aku jadi gak bisa ke sana! Sebaiknya aku menyuruhnya kerja di atas kasur saja. Ya, ide yang bagus! "Mm, Pak." "Apa? Belum tidur juga?" jawabnya tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop. "Anu, sebaiknya Anda kerjanya di sini aja, di atas kasur. Lebih nyaman lho?" "Benarkah?" Lagi-lagi ia menjawab tanpa melihat ke arahku. "Iya, empuk dan hangat lho, Pak. Terus kalau ngantuk juga tinggal tidur kan?" Kali ini ia mengangkat wajahnya, menatapku dengan tatapan genit, "Wah, kamu minta ditemani? Tidak masalah! Kerja sambil memeluk kamu sepertinya menyenangkan!" "Eh, bukan begitu! Maksud saya, Anda ke sini dan saya yang di sofa." "Jangan pura-pura, kalau mau berduaan sama saya ya bilang dong! Dengan senang hati tentu saja!" Pak Adit hendak berdiri. "Eh, gak usah! Maksudnya, saya mau tidur di sofa, Pak!" Pusing lama-lama aku. "Jangan, San. Sofa tidak nyaman. Tidurlah, sekali lagi kamu protes, saya makan kamu sekarang juga!" Anjir, horor banget! "Baik, saya tidur sekarang." Hanya bisa berdoa semoga malam ini aku selamat dan utuh sampai pagi, amin. Kamar hotel ini sungguh sangat nyaman. Kasurnya empuk dan ruangannya juga wangi. Aku suka. Tidurku jadi lebih nyenyak. Entah jam berapa aku tidur semalam. Yang jelas, jam dua belas malam Pak Adit masih bertahan dengan laptop di depannya. Mataku terbuka perlahan. Menguceknya sebentar lalu menggeliat nikmat. Eh, tunggu! Aku harus memastikan sesuatu. Segera ku periksa bajuku. Huft, syukurlah masih aman. Celana juga masih terpasang rapi. Berarti tidak terjadi apa-apa. Tapi kalau ia tidak tidur di kasur, jadi dimana pria itu tidur ya? Dengan gerakan pelan, aku bangun dan mengendap-endap. Melipat selimut lalu memeriksa sekitar sofa. Ups, aku melihat seseorang mengeluh pelan di bawah sofa. "Pak, Anda sedang apa di sana?" tanyaku setelah yakin yang di bawah sofa ternyata Pak Adit. Ngapain ia tidur di lantai seperti itu? Ya walau lantai hotelnya pakai karpet tebal dan hangat, tapi kan gak nyangka banget kalau seorang Aditya Hermawan mau tidur seperti itu. Matanya memicing lalu perlahan terbuka dan segera bangun. Ia meringis sambil memegang bahunya, "Aduh, sepertinya saya jatuh dari sofa." "Jadi semalam Anda tidur di sofa?" tanyaku dengan tatapan tak percaya. "Tentu saja. Kamu pikir dimana lagi?" Tetiba hatiku plong. Ternyata ia gak berani tidur sekasur denganku. Baguslah, ia masih menghormatiku. "Maaf, lho, Pak. Semalam kan saya udah nawarin Anda buat tidur di kasur biar saya yang di sofa. Anda sendiri yang gak mau." "Ck, kamu yang salah." "Lho, kenapa jadi saya yang salah? Kan Anda yang sengaja memesan kamar satu, coba kalau dua, mungkin Anda tidak akan terjatuh seperti ini, haha, duh, maaf, Pak. Saya jadi tertawa kan?" "Memang sengaja kok, bahkan semalam saya sudah mencoba beberapa kali untuk tidur di samping kamu. Tapi suara dengkuran kamu sangat mengganggu." "Saya ngorok? Masa sih?" Lah, si Soni pernah bilang kalau aku gak ngorok saat tidur. Iya, dulu waktu aku nebeng ke kos-kosan anak itu. Malah si Soni yang ngorok parah. Pak Adit mengangguk, "Iya, kamu kenceng banget ngoroknya. Merinding saya, sampe kayak kesurupan harimau." Aku mengerutkan kening, "Ah, yang bener, Pak?" Ia mengibaskan tangannya, "Sudahlah, lupakan tentang suara dengkuran kamu. Sekarang kamu harus tanggung jawab!" "Tanggung jawab?" "Iya, pijit bahu saya sekarang, duh, sakit sekali." Melihatnya meringis sambil memegang baju seperti itu, kasihan juga. Aku memijitnya. "Aduh, pelan-pelan dong, San!" "Iya, ini juga pelan. Sakit ya?" "Jangan tanya, sakit sekali rasanya." Aku jadi merasa bersalah, "Pak, maaf lho, walaupun saya masih gak percaya kalau saya ngorok, tapi saya minta maaf ya?" "Maaf kamu diterima. Tapi dengan syarat." "Ada syaratnya ya, Pak?" "Tentu saja. Kamu pikir hanya dengan maaf saja, sakit bahu saya akan hilang?" Duh, dia marah beneran kayaknya. "Ya udah, syaratnya apa, Pak?" tanyaku dengan nada lesu. Awas aja kalau syaratnya yang aneh-aneh lagi. "Yakin kamu bisa memenuhi syarat saya?" "Ya gak tahu lah, Pak. Kan Anda belum nyebutin syaratnya." "Baiklah. Karena kamu sudah bikin saya sakit bahu, maka kamu harus mandiin saya sekarang," ucapnya sambil merajuk. Refleks aku memukul bahunya yang sedang aku pijit. "Heh, syarat macam apa itu? Tidak mau!" "Aduh, sakit, San! Kok malah dipukul? Dielus dong! Kan lebih enak!" "Gak mau! Biarin gak dimaafin juga, bodo amat!" "Lho, kok gitu? Nasib bahu saya bagaimana? Sakit..." Mukanya mirip anak kecil yang sedang merajuk minta jajan. Lebay! "Sana minta pijat sama Mbak Jessica aja!" Aku segera berdiri dan hendak pergi. Kesel banget rasanya! "Jessica jauh. Saya mau sama kamu." "Ogah! Enak saja! Mulai hari ini, saya mundur dari jabatan saya sebagai asisten pribadi Anda!" "Baik. Berarti kamu sudah siap menanggung akibatnya." "Akibat?" Ia mengangguk. Lalu ia mengambil ponselnya dan memperlihatkan file kontrak yang sudah kutanda tangani bersamanya. Mataku membelalak tak percaya saat membaca poin kontrak di sana. "Biar saya bacakan agar lebih jelas. Jika Sani membatalkan kontrak sebelum waktunya, maka Sani harus membayar lima kali lipat dari gaji yang sudah diterima." "Ba-bagaimana bisa ada pasal itu?" "Tentu saja ada. Kamu sih, tanda tangan tapi gak baca dulu." Sial! Aku terjebak!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN