Wolves in Claret Room

1647 Kata
Pagi itu, Claret Room ramai. Tirai beludru marun bergantung anggun seperti jubah keluarga bangsawan. Dan ruang ini lebih mirip istana kecil daripada lounge kampus, tidak menerima siapa pun kecuali mereka yang memiliki nama. Hanya ada dua jenis manusia yang masuk ke Claret Room. Mereka yang duduk. Dan mereka yang berusaha duduk. Di sudut utama, tiga sofa kulit hitam tersusun dalam formasi segitiga. Di atasnya, duduk Lucien Clairmont, Yoon Seojun, dan Damien Ford, The Trident. Mereka tidak berbicara. Tidak perlu bahkan. Karena kehadiran mereka saja sudah cukup untuk mengatur atmosfer ruangan. Lucien Clairmont duduk di tengah. Rambut honey blond-nya jatuh ringan ke dahinya, matanya menatap layar ponsel. Tapi tidak seperti biasanya. Biasanya, dia membiarkan para Flameborns menyentuhnya, pura-pura tertarik pada tawa palsu, bahkan seringkali memegang, mencium, menatap balik hanya untuk membuat mereka deg-degan. Hari ini? Dia hanya diam. Tidak tersenyum. Tidak menyentuh. Tidak bicara. Lucien hanya menatap layar ponselnya. Profil Jia Lee. File hasil pencarian pribadi. Disusun oleh salah satu sumbernya di bidang hukum kampus. Akademik: luar biasa. Rekam keuangan: beasiswa penuh. Alamat rumah: Jakarta Selatan, dekat pasar lokal. Status sosial: bukan siapa-siapa. Di sisi kiri, Yoon Seojun duduk bersandar malas dengan hoodie hitam setengah terbuka dan jam tangan dari salah satu brand luxury yang dijuluki The Holy Trinity. Perempuan Flameborns mencoba bicara padanya. Satu bahkan berani menyentuh lengan bajunya. Seojun? Dia menepis pelan. Tidak kasar tapi dingin. Tangannya sibuk memegang ponsel, headset wireless menyangkut di telinganya. Di layar: match PVP game online, rank global. “Please. Don’t block my Wi-Fi signal,” katanya datar ke salah satu perempuan yang terlalu dekat tanpa melihat ke arahnya. Dan di kanan ... Damien Ford. Duduk dengan gaya kontras dan tak kalah mengancam. Kaos putih ketat, rambut semi-acak. Parfum terlalu mahal untuk dipakai pagi hari. Wajahnya seperti aktor yang belum cuci muka dari pesta semalam tapi tetap terlalu tampan untuk dilarang masuk ruangan mana pun. Dia bersandar ke belakang, menyapu kerumunan dengan pandangan santai. “Oke. Kalau kalian berdua hari ini mau puasa ... biar gue yang panen.” Gelak tawa pecah. Flameborns mengangguk, menyentuh bahunya, berebut ruang di udara yang dia hirup. “Anyway …” Satu suara perempuan terdengar menembus udara Claret Room. Suaranya manis dan lembut. “Kalian semua udah liat postingan Damien, kan?” Tiba-tiba ruangan jadi sedikit lebih sunyi. Damien mengangkat alis. Tidak menjawab, tapi senyumnya mengembang seperti seseorang yang baru melihat kereta api akan menabrak seseorang yang terlalu pede berdiri di rel. Perempuan Flameborn itu, Nadira, pewaris sebuah rumah mode ternama dan sering menganggap dirinya Trident-consort queen, melangkah sedikit lebih dekat ke arah Lucien. “Scandal kemarin ... gigitannya ...” Dia menoleh pelan, matanya menyapu Lucien yang masih diam dengan ponsel di tangan. “Itu beneran?” Beberapa orang terkikik pelan. Beberapa yang lain menahan napas. Seojun tidak mengangkat wajah dari layar gamenya. Tapi satu alisnya terangkat. Damien hanya tersenyum tipis sambil lebih bersandar. Lucien? Dia masih tidak bergerak. Tapi ponselnya kini dimatikan. Diletakkan pelan di meja. Kepalanya menoleh sedikit ke arah Nadira. Tatapannya dingin. Tidak marah tapi mematikan. Seperti seorang bangsawan yang terganggu oleh suara pelayannya. “Kenapa?” suaranya tenang, nyaris malas. “Kalau iya ... kamu mau coba digigit juga?” Ruangan itu menjadi sunyi dalam sekejap. Damien terkekeh. “Aduh.” Nadira mematung. Wajahnya masih tersenyum, tapi tubuhnya kaku. Para Flameborn lain langsung sibuk memainkan ponsel masing-masing, pura-pura tidak dengar. Ketegangan belum sepenuhnya reda ketika suara beep-beep-beep dari headset Seojun terdengar jelas, timnya kalah. Dia menghela napas pelan. “Trash team,” gumamnya pelan, hampir tanpa emosi. Tangannya menekan tombol quit, lalu menaruh ponsel ke dalam kantong hoodie-nya. Lalu, tanpa menatap siapa pun, Seojun berdiri. Flameborn di sekitarnya langsung melirik. Dia tidak bicara. Tidak menatap. Tidak menjelaskan. Tapi langkahnya mantap dan tenang. Hoodie hitamnya berkibar pelan saat dia melewati ruang lounge, melewati Nadira yang masih kaku karena shutdown dari Lucien, melewati Damien yang sedang membuka dua macaroon. “Berisik banget,” katanya pelan, hanya itu. “Can’t focus.” Klik Pintu otomatis Claret Room terbuka. Yoon Seojun pun menghilang dibaliknya. *** Elysian Garden, taman tersembunyi di antara gedung perpustakaan tua dan danau buatan kecil masih seperti biasanya. Sunyi dan sejuk. Dipenuhi bayangan pohon besar dan aroma tanah basah dari semalam yang sempat diguyur hujan ringan. Jia duduk di bangku batu paling ujung. Tablet di pangkuannya menyala lembut, jari-jarinya mengetik perlahan. Tugas sastra, puisi klasik. Tapi pikirannya belum bisa sepenuhnya fokus. Satu baris ditulis. Dihapus. Ditulis lagi. Tempat ini seharusnya sepi. Tapi suara langkah yang mendekat, pelan, berat, dan konsisten, mengganggu ritmenya. Jia menoleh dan di antara bayangan pepohonan ... Yoon Seojun muncul dengan tangan di saku dan ekspresinya datar. Dia melihat Jia dan mata mereka bertemu sebentar. Pelan-pelan, Jia menggeser sedikit ke ujung bangku batu itu, memberi ruang untuk Seojun. Seojun duduk. Dia membuka ponselnya dan menyambungkan headset. Jia kembali ke layar tablet-nya. Mereka duduk berdampingan dalam jarak yang cukup untuk tidak bersentuhan tapi cukup dekat untuk merasakan kehadiran seseorang di samping mereka. Lima menit berlalu. Lalu Sepuluh menit pun berlalu. Hanya ada suara angin yang menyusup di antara pepohonan, suara burung sesekali, dan suara click click pelan dari layar Seojun. Jia kembali menulis atau setidaknya berusaha untuk menulis. Tapi setiap kali dia mengetik satu baris puisi, suara di sebelahnya seakan menariknya kembali ke dunia nyata. Sebenarnya, sunyi mereka bukan sunyi yang awkward. Tapi sunyi yang terasa nyaman. Sampai akhirnya, Seojun bersuara pelan. Nadanya datar, tapi sedikit terdengar nada frustasi. “Benar-benar tim sampah hari ini …” Jia tidak langsung menoleh. Tapi lalu, Seojun melanjutkan. Masih pelan, bergumam lebih kepada dirinya sendiri. “Sh4dow gak online juga hari ini.” Mendengar nama itu, seketika … Jia mengerjap dan tangannya berhenti di atas layar. Sh4dow. Satu nama pengguna, terdengar seperti username game online. Sebenarnya harusnya biasa saja. Tapi Jia sangat familiar dengan username itu. Terlalu familiar. Itu username yang selalu dipakai adiknya, Jason. Adik laki-lakinya yang berumur enam belas tahun. Kalem, pintar, dan seorang pecinta game berat. Dan kalau Jia tidak salah ingat … Jason pernah bilang game favoritnya adalah game dengan PVP global, dan dia selalu main di slot support. Selalu pairing sama rank S Korean top player. Jia melirik pelan ke arah Seojun. Seojun tidak sadar. Matanya masih ke layar dengan tatapan fokus dan tajam. Mulutnya sedikit mengerucut karena kalah lagi. Tapi di balik hoodie hitam itu … Ada detail yang sekarang membuat otak Jia terhubung dengan satu kemungkinan yang tidak masuk akal. "Seojun … " Jia akhirnya memberanikan diri untuk bertanya. Seojun meliriknya sedikit. “Hmm?” Jia menatapnya. Matanya menyempit sedikit. “Rank kamu ... ?” Seojun akhirnya menatapnya balik lalu mengangkat alisnya. “Global 5.” Setelah itu, Seojun kembali lagi ke layarnya. “Dulu 3, tapi turun karena dua minggu ini partner-ku hilang.” Jia menahan napas. Seolah dia sedang memproses sesuatu yang hampir tidak mungkin terjadi secara kebetulan. Dan Seojun? Dia gamer sejati. Dia membaca ekspresi Jia seperti membaca map dungeon di game yang dimainkannya. Matanya menyipit sedikit. Lalu dia bertanya. “Kenapa kamu nanya?” Nada suaranya tidak curiga tapi tajam. Seperti gamer yang baru sadar boss terakhirnya sudah berubah pola serangan. Jia menoleh cepat. “Gak. Cuma nanya aja.” Tapi terlambat. Seojun menatap penuh analisa. “Kamu main juga?” Jia buru-buru menggeleng. “Bukan. Maksudnya, bukan aku yang main.” “Tapi kamu tahu ... ‘Sh4dow’?” Jia terdiam dan itulah jawaban. Seojun duduk lebih tegak sekarang. Headset-nya dilepas satu sisi. Matanya menyala bukan karena marah, tapi karena fokus. Bukan ancaman. Lebih seperti ... ‘Apakah lo punya informasi tentang partner gue?’ Jia menggigit bibir bawahnya sebentar. Pikirannya berputar cepat. Tapi bukan karena takut. Lebih karena ... dia nggak yakin harus jujur seberapa dalam. Tapi akhirnya dia angkat suara. “Ada kemungkinan ... sh4dow itu adik aku.” Seojun menatap. Dia diam tapi kini semua perhatiannya terkunci pada Jia. Jia melanjutkan. “Dia selalu pakai username itu. Di semua game. Dari dulu.” Suara Jia lirih, tapi jujur. Seojun tetap diam tapi jantungnya terasa berdetak lebih cepat. Wajahnya datar, tapi rahangnya sedikit mengencang. “Nama lengkap dia?” Jia sedikit ragu. “Jason Lee.” Seojun mengerjap. Matanya langsung membulat karena sedikit terkejut. Napasnya tertahan setengah detik karena semua potongan puzzle yang barusan ini dia pikir tidak penting ... tiba-tiba jadi pas. Jason. J. Lee. Sering off sore karena “disuruh kakaknya belajar.” Kadang cerita tentang kakak cewek cerewet di rumah yang suka baca puisi. “Tinggi ... seratus tujuh puluhan? Dan Jason, dari namanya, adikmu cowok?” Jia mengangguk. Seojun menghembuskan napas pelan dan meletakkan ponselnya. Lalu bersandar ke belakang bangku batu itu, menatap langit lewat celah pepohonan. “Damn.” Nadanya antara campuran antara lega, takjub, dan sesuatu yang lebih kompleks. Seojun menoleh pelan. Tatapannya tenang tapi sekarang … ada sesuatu yang berbeda. “Aku kira dia cewek.” Jia berkedip. “Hah?” Seojun mengangkat bahu. “Soalnya dia pake emot love tiap menang.” Jia nyaris tertawa tapi menahannya. “Kamu kira dia cewek?!” Seojun mengangguk kecil. “Typing-nya lembut. Kadang bilang ‘nice save bestie’. Terus ... emoticon love. Banyak banget.” Jia akhirnya tidak bisa menahan senyum. “Dia ngetik gitu ke semua orang yang dia anggap bagus. Kamu masuk list elite, berarti.” Seojun menatap ke depan, ekspresinya nyaris seperti biasa … Tapi ada satu gerakan kecil di sudut bibirnya yang nyaris seperti senyum. “Aku sebenernya udah mulai curiga minggu lalu pas dia bilang ‘kakakku galak tapi cantik.’” Tatapannya bergeser perlahan ke Jia. “Sekarang makes sense.” Jia membeku satu detik. Lalu cepat-cepat menatap ke arah danau. Wajahnya merah samar tapi dia tetap menjaga ekspresi netral. “Dia suka ngomong sembarangan.” Seojun tidak menjawab tapi ekspresinya sekarang lebih tenang. Lebih santai. Dan ... jauh lebih hidup. Lalu, dengan suara yang lebih lembut dari sebelumnya. “Kamu bilangin ke dia ya ...” “Partnernya nunggu.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN