Rumah yang Selalu Hangat

1550 Kata
Suara pintu terbuka pelan disambut oleh aroma hangat nasi yang sedang dipanaskan dan sayur sop di dapur. Lampu ruang tengah redup, hanya menyisakan cahaya lampu gantung yang lembut menyapu permukaan kayu meja makan. Jia menutup pintu rumahnya perlahan. Ranselnya tergantung lelah di satu bahu, rambutnya sedikit berantakan, dan mata hitamnya tampak lebih redup daripada biasanya. Langkahnya baru sampai di ambang ruang tamu ketika suara lembut terdengar dari arah dapur. “Kamu pulangnya malam banget, sayang.” Ibunya berdiri di sana, masih mengenakan blouse kerja dengan lengan digulung, celemek lusuh tergantung di pinggang. Rambutnya sedikit berantakan, dan ada noda sambal di bagian lengan kemejanya tapi bagi Jia, tak ada yang lebih cantik dari sosok itu. Sang Wonder Woman-nya. Jia tersenyum kecil. Lelah tapi penuh kasih. “Maaf, tadi ngerjain tugas di kampus, Ma ... agak kelamaan.” Ibunya tidak banyak bertanya hanya mengangguk, lalu berjalan pelan ke arah Jia dan merapikan sedikit kerah bajunya yang kusut. Sentuhan tangannya selalu hangat, selalu penuh rasa kasih. “Sudah makan?” Jia menggeleng. “Langsung mandi dulu sana, mama lagi panasin lauknya.” Jia hampir ingin menangis. Bukan karena sedih. Tapi karena rasa yang tak bisa didefinisikan, tentang betapa wanita ini tidak pernah meminta banyak, tapi selalu memberi segalanya. Sudah tujuh tahun sejak ayahnya, seorang pria Korea yang memperkenalkannya pada ramyeon dan lagu-lagu lembut saat hujan, meninggal karena komplikasi ginjal. Sejak itu, ibunya bekerja tanpa jeda. Membiayai rumah, membesarkan adik laki-lakinya yang kini sudah 16 tahun, Jason, dan menjaga semuanya tetap utuh. Jia? Dia tahu tak ada gaji, gelar, atau penghargaan apa pun yang bisa membayar ketegaran yang tak pernah diumbar itu. Kadang Jia membantu dengan freelance menulis, menyusun data, atau apapun yang bisa sedikit meringankan beban ibunya. Tapi dia tahu, ibunya tak pernah mengandalkan itu. Hanya menerimanya dengan senyuman. Saat dia masuk ke kamarnya malam itu, setelah mengganti pakaian dan wajahnya yang akhirnya bersih dari riasan tipis hari ini, Jia menatap langit-langit dan untuk pertama kalinya sejak masuk ke St. Heliora ... Dia merasa aman. Bukan karena bros emas. Bukan karena perpustakaan elit atau ruang musik mewah. Tapi karena di rumah ini, cinta tidak pernah jadi permainan kasta. *** Jia duduk di meja makan dengan rambut setengah basah, baju piyama longgar, dan sisa rasa lelah di bahunya. Tapi ketika ibunya meletakkan mangkuk sop di depannya, hangatnya langsung meresap sampai ke d**a. “Ayo, makan. Mama nggak masak banyak, tapi cukup lah buat bikin kamu lupa dunia luar.” Nada ibunya ringan, tapi di baliknya ada kekuatan yang tidak terlihat seperti fondasi rumah yang tidak pernah bergeser meski badai sekeras apapun. Jia tersenyum kecil dan mulai menyendok nasi. “Gimana kampus?” tanya ibunya sambil ikut duduk. Jia berpikir sejenak. “Masih seperti biasa. Agak ... kacau. Tapi menarik.” “Hmm?” Ibunya menatapnya dengan rasa ingin tahu seorang ibu, tapi tidak mendesak. Sebelum Jia bisa menjawab, suara dari arah lorong terdengar: “Kak Jia?” Jason muncul dari balik dinding dengan hoodie abu-abu dan rambut sedikit berantakan. Dia memegang botol minum dan headset masih tergantung di lehernya. Pembawaannya tenang dan kalem. Matanya jernih dan dia pintar seperti kakaknya. “Baru pulang?” tanyanya sambil berjalan ke arah meja. “Iya. Udah selesai main?” tanya Jia balik, senyum sedikit lebih lepas. Jason mengangguk. Duduk di kursi samping dan ikut menyendok dari mangkuk nasi. “Ada update baru tadi malam. Tapi party ku kalah terus. Tank-nya noob.” Ibunya hanya geleng-geleng kecil. “Main boleh, asal tugas nggak lupa ya.” “Iya, Ma, tenang aja,” jawab Jason cepat, sopan, tapi matanya tetap fokus ke mangkuk sup. Jia memperhatikan adiknya sejenak. Jason tiga tahun lebih muda darinya. Tapi seringkali ... lebih bijak dari anak seumurannya. Pembawaannya tenang, jarang emosi, dan selalu memperhatikan. “Besok kamu ada les?” tanya Jia sambil mengambil tahu goreng. “Pagi. Jam delapan. Kakak mau aku beliin es kopi sekalian?” Jia mengedip. “Duh ... manis banget sih kamu.” Jason hanya tersenyum tipis dan mengangkat bahu. “Balas jasa. Kakak yang biasanya nganter aku dulu waktu kelas sembilan.” Ibunya menatap keduanya dengan diam-diam bahagia. Ekspresinya lembut dan matanya sedikit basah. Tapi dia hanya menunduk lagi. Malam itu sunyi tapi hangat. Hanya keluarga kecil yang belajar bertahan dengan kasih sayang yang sederhana … tapi tidak tergantikan. Suara sendok bertemu mangkuk, menciptakan denting lembut yang menyatu dengan obrolan ringan. Jason sedang menjelaskan map baru dari game online yang dia sedang mainkan, tangannya bergerak lincah dan secara absurd, kini dia menggunakan potongan tahu goreng sebagai ilustrasi dungeon. Jia hanya mengangguk-angguk sambil tersenyum. Ibunya terkekeh pelan. Tapi kemudian, ponsel Jia bergetar. Dua kali. Lalu tiga. Lalu notifikasi berbunyi seperti dentingan kecil neraka yang dikirim langsung dari MIRÁGES. Fei. “JIA. OPEN MIRÁGES. NOW.” “LIKE. Right Now.” “OMG WHO DID THAT.” “WHO BITES A TRIDENT.” “IS THIS A NEW POWER MOVE??” Mata Jia membelalak. Dia buru-buru membuka ponsel dan memencet ikon MIRÁGES. Begitu aplikasi itu terbuka, dia langsung disambut postingan Damien. Sebuah postingan dengan selfie Lucien dan Damien. Terlihat bibir Lucien berdarah. Captionnya menyala. “Our Golden Boy just got bitten … and liked it.” Jason melirik. “Apa tuh?” Jia menahan napas. “Gak, tugas kampus.” Dengan cepat dia balas teks Fei. Jia: “Gue.” Fei: “WHAT.” Jia: “Tapi jangan bilang siapa-siapa. Serius. Males ribet.” Fei: “OH MY GOD. OH MY GOD.” “JIA. I’M CALLING.” Dan sebelum Jia bisa menghentikannya ... Telepon masuk. Jia menatap ponselnya. Jason berhenti menjelaskan dungeon tahu gorengnya. Ibunya melirik dari ujung meja. “Siapa itu?” tanyanya lembut. Jia menghela napas, lalu berdiri sambil membawa ponsel ke arah kamarnya. “Fei. Panic mode. Nanti aku cerita dikit ... atau enggak sama sekali.” *** Jia menutup pintu kamarnya pelan, lalu duduk di kasur dan mengangkat telepon dari Fei yang menyala. “Halo ... ” “JIA!” Volume suara Fei langsung menusuk gendang telinga, membuat Jia menjauhkan ponsel satu detik. “JIA LEE. DON’T YOU DARE TO ACT NORMAL. WHO. BIT. LUCIEN. CLAIRMONT.” Jia menghembuskan napas panjang, menempelkan ponsel kembali ke telinga. “Gue udah bilang.” “GUE TAU. Tapi kayaknya gue harus denger dari suara lo langsung biar otak gue percaya.” Jia menyandarkan kepala ke dinding. “Gue. Yang. Gigit. Lucien.” Fei terdiam tiga detik. “AAAAAAAAAAAAAA!!!” “Fei, plis. Gue di rumah. Mama gue bisa denger.” “Maaf, maaf. Tapi ... YA AMPUN! LUCIEN. THE LUCIEN. DAN DIA SELFIE. DAN DAMIEN POST. DAN #TridentScandalWatch??? JIA INI BUKAN GIGITAN. INI REVOLUSI.” “Fei …” “DIA KELIATAN MAU CIUM LAGI DI FOTO ITU! JIA, LO BIKIN DIA KETAGIHAN?” “Fei, serius. Gue ... capek. Bisa nggak ini jangan dibesarin?” Fei hening sejenak. Lalu suaranya keluar lagi—sedikit lebih pelan, tapi tetap penuh tekanan yang menunggu untuk meledak. “Terus … gimana?” Jia diam sebentar. Tatapannya jatuh ke lantai kamar. Kakinya menyentuh ujung karpet dan untuk pertama kalinya malam itu, dia merasa otaknya kosong. Bukan karena dia tidak punya jawaban tapi karena semua jawabannya terasa nggak penting dibandingkan rasa sesak yang masih tertinggal di d**a. Akhirnya, dia mengangkat bahu pelan walau Fei tidak bisa melihatnya. “Ya ... nggak gimana-gimana.” Fei diam. Lalu, dengan suara datar yang sangat tidak cocok dengan isi kepalanya sendiri, dia menjawab. “JIA.” Jia mengerutkan alis. “Apa.” “Lo. Gigit. Trident.” “Lo viral.” “Lo masuk forum kampus di halaman pertama.” “Dan Lucien. Clairmont. Literally diem aja. Kayak dia … ya ampun... kayak dia bangga gitu.” Jia mengusap wajahnya dengan satu tangan. “Fei ...” “Gak bisa. Gak bisa lo bilang ‘gak gimana-gimana’. Itu kayak bilang lo nemu unicorn di dapur trus bilang ‘ya dia cuma numpang isi air putih’. NO. Gue gak nerima jawaban itu.” Jia terdiam lagi. Ponselnya menempel di telinga. Matanya menatap langit-langit putih polos di atas kasurnya. “Gue juga gak ngerti, Fei. Yang gue tau … Pas dia nyium gue tiba-tiba, gue panik. Gue kesel. Jadi gue gigit. Dan dia malah senyum.” Fei kembali terdiam. Kali ini lebih lama. Seolah mencoba memahami, tapi terlalu banyak variabel dalam satu ruang emosi yang bahkan Jia sendiri belum pecahkan. Jia menarik napas. “Fei …” “Hmm?” “Gue serius. Jangan bilang siapa-siapa, ya. Gue cuma ... pengen damai di kampus. Pengen bisa masuk kelas tanpa diliatin. Tanpa bisik-bisik. Tanpa cewek-cewek ngeliatin gue kayak gue rebut pacar mereka.” Fei menghela napas dari seberang. “Padahal emang lo rebut, sih.” “FEI.” “Sorry, sorry! Gue diem. Beneran.” Lalu ada jeda dan suara yang lebih tenang, lebih tulus. “Gue ngerti kok. Gue ngerti lo capek. Gue bakal jaga rahasia ini. Sumpah.” Jia memejamkan mata. “Thanks.” Fei diam sebentar. Lalu pelan-pelan, seperti tak bisa menahan diri sepenuhnya, dia masih bertanya. “Tapi Jia?” “Apa lagi.” “Gigitannya tuh kayak ... keras? Atau soft d0minan?” “Fei.” “OKE. GUE OFF.” Klik Telepon ditutup. Dan untuk pertama kalinya malam itu, Jia bisa menarik napas sedikit lebih dalam. Walau dunia kampusnya mungkin sudah terbakar setengah ... setidaknya malam ini dia masih bisa tidur.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN