Gigitan yang Bikin Chaos

1442 Kata
Lucien freeze. Selama tiga detik penuh. Mata biru keabuannya menatap Jia, mencoba membaca apakah ini bentuk penolakan ... atau sesuatu yang lebih berbahaya. Tapi Jia terlihat tetap tenang, ekspresinya nyaris tidak berubah. Dengan perlahan, Lucien tersenyum tipis. “Interesting,” bisiknya. Dia melepas ban pinggangnya. Gerakannya lambat. Logam gespernya berbunyi pelan saat terlepas. Dan ketika ban pinggang itu ada di tangan Jia ... dia sadar. Kalau dia bukan predatornya malam ini. Jia tidak terburu-buru. Dengan satu tangan, dia menarik pergelangan tangan Lucien ke depan dengan sensual. Dan sebelum Lucien sempat bertanya, Jia mengikatnya. Pelan tapi kuat. Lucien tidak melawan. Matanya tetap menatap Jia, penasaran … dan mungkin, sedikit tergoda. “Aku nggak nyangka kamu suka yang model begini,” gumamnya, setengah bercanda. Jia menahan senyum tapi sorot matanya tajam dan penuh kendali. Dan setelah ikatan di tangan Lucien terkunci sempurna, Jia menatap hasil karyanya sejenak lalu berkata, dengan datar dan santai, “Oke. Aman.” Lucien mengerjap. “Aman ... ?” Jia berdiri, mundur setengah langkah. Mata hitamnya bersinar samar di bawah cahaya merah darurat. “Supaya kamu nggak bisa pegang-pegang lagi.” Lucien menggigit bibir bawahnya. Ekspresinya seperti di antara offended … dan amused as hell. Kepalanya sedikit miring. Tatapannya tidak lagi menekan tapi menilai. Memperhatikan Jia seolah baru pertama kali melihatnya sebagai ancaman nyata. Dia menarik pergelangan tangannya sedikit. Lalu tertawa pelan saat menyadari kalau ikatan itu rapat. Sangat rapat. “Strategi yang ... menarik.” Dia menatap Jia dari balik poni tipis yang jatuh ke keningnya. Mata biru keabuan itu sekarang bersinar lembut, bukan karena kekaguman tapi karena tantangan. “Banyak yang mau ‘ngerantai’ aku, Jia.” Suaranya turun satu oktaf. “Baru kali ini... ada yang beneran berhasil.” Jia menyilangkan tangan di d**a. Matanya tidak goyah. Tapi ada sesuatu di sudut bibirnya, senyum tipis yang terlalu puas untuk ukuran 'profesional partner.' “Anggap aja aku efisien,” katanya pelan. “Satu-satunya cara supaya kamu gak ganggu kerja.” Lucien menghela napas. Kepalanya bersandar ke belakang sofa, tangan masih terikat rapi di depannya, seolah ini bukan taktik pengendalian diri Jia, tapi sebuah permainan kecil yang menghibur. Matanya menatap Jia dari bawah bulu mata panjangnya. Tatapannya setenang malam. Seperti bahaya yang dibungkus anggun. “Kalau aku bilang tangan aku mulai kesemutan ... kamu bakal ngelepasin?” Nadanya ringan, tapi ada bisikan manis yang dibawa napasnya. Jia hanya menaikkan alis. “Nggak.” Lucien tersenyum perlahan. “Kalau aku bilang ... aku mulai kehilangan kontrol atas pikiranku karena kamu kelihatan terlalu cantik waktu ngiket orang?” Jia tidak menjawab tapi matanya menusuk. Tajam seperti pisau dengan ukiran sastra Latin di pinggirnya. Lucien menyandarkan tubuh ke depan sedikit. Pergerakannya terbatas, tapi itu justru membuat setiap inci tubuhnya terasa lebih menantang. “Jia,” bisiknya, suara itu menggulung seperti sutra yang diseret perlahan. “Kalau aku cium kamu sekarang, itu dihitung sebagai pelanggaran etika tugas ... atau cuma benefit partner?” Tangannya masih terikat tapi senyumannya? Bebas. Tidak bisa dikendalikan. Tidak ingin dikendalikan. Jia akhirnya menoleh. Tatapannya sekarang siap menusuk Lucien balik. Penuh racun akademik yang bisa meluluhlantakkan ego paling kokoh. Mulutnya terbuka, siap melontarkan komentar sarkastis level disertasi. Tapi sebelum satu kata pun keluar ... Ceklik. Suara gesper terbuka. Dalam waktu tiga detik, ban pinggang yang Jia ikat rapi tadi … jatuh ke lantai. Jia langsung membeku melihat adegan itu. Lucien mengangkat tangannya yang sekarang bebas, memutar pergelangan dengan tenang. Senyumnya muncul pelan-pelan. “Latihan keluarga Clairmont,” ucapnya pelan, nyaris bersenandung. “Dari umur sebelas tahun.” Dan sebelum Jia bisa mundur, Lucien bergerak. Cepat tapi tetap tenang. Tangannya menyentuh sisi wajah Jia, dan dalam satu gerakan mulus lalu ... Lucien menekan bibirnya ke bibir Jia. Hangat. Penuh tekanan. Penuh makna yang tak seharusnya ada di tengah tugas puisi. Tidak ada tanya. Tidak ada keraguan. Hanya ciuman dari seorang lelaki yang terbiasa memimpin, tapi baru kali ini jatuh karena seseorang yang tak pernah berusaha menaklukkannya. Ciuman Lucien bukan tipu daya. Bukan juga permainan. It was a storm. Satu tangan di pipi Jia, satu lagi menyentuh tengkuknya. Gerakannya dalam, menghanyutkan, seolah dia ingin menulis ulang semua batas antara mereka dalam satu kontak kulit. Jia kaget bukan karena ciumannya … Tapi karena tubuhnya tidak segera melawan. Beberapa detik. Hanya itu yang dibutuhkan untuk membuat dunia hening penuh napas terhenti dan panas yang menjalar dari tulang belakang. Lalu Jia mengangkat tangannya dan mendorong d**a Lucien dengan keras. Tapi pria itu terlalu kuat atau mungkin … terlalu terbiasa menahan. “Lucien!!” suaranya nyaris pecah. Tapi Lucien hanya menatapnya. Matanya terlihat liar dalam diam, napasnya berat, namun senyumnya tetap ada. Dan saat itulah Jia menggigitnya. Tepat di bibir bawah. Tajam. Cepat. Bukan kecupan yang manis. Lucien tersentak pelan. Matanya melebar sedikit karena terkejut lalu menyipit, seperti seseorang yang baru saja menemukan pecahan kaca di tempat tidur sutra. Darahnya samar di bibir dan dia menyeringai. “Jadi kamu beneran suka main keras?” Bibir Lucien sedikit berdarah. Matanya sekarang terasa lebih gelap, terbakar oleh ego dan nafsu. Dia bergerak lagi. Tangannya kembali terulur dan kepalanya menunduk. Dia mau menciumnya lagi. Tapi kali ini karena tertantang. Dan tepat saat jarak di antara mereka hanya tinggal satu detik ... TING! Lampu perpustakaan menyala. Semua cahaya LED di langit-langit hidup bersamaan. Menerangi rak buku, meja, dan wajah Jia yang terlihat memerah karena emosi. Lucien yang berdarah, intens, dan jelas-jelas terlalu dekat kemudian … “BRO!” Suara berat, setengah panik, setengah heran terdengar lantang dari arah pintu perpustakaan yang tiba-tiba terbuka. Damien Ford. Sweater abu-abunya digulung sampai siku, satu earphone masih menggantung di telinganya, dan ponsel di tangan kanan menyala terang dengan tulisan 'lights dead. stuck in the library. save me.’ Damien menatap lagi pesan itu. Pesan dari Lucien tiga puluh menit yang lalu. Lalu dia menatap Jia dan Lucien. Jarak yang terlalu dekat. Ban pinggang Lucien di lantai. Lucien berdarah. Jia kelihatan seperti baru lepas dari medan perang. Damien berkedip lalu pelan-pelan mengangkat alisnya. “Bro, what the actual ... ” Lucien akhirnya menarik napas panjang. Membalikkan wajahnya perlahan. Bibirnya masih merah. Matanya masih menyala. Tapi suaranya? Datar dan pelan. “You’re late.” Jia menatap Damien sebentar, hanya sekilas, cukup untuk memastikan siapa yang masuk. Lalu dia melirik Lucien yang masih terlalu dekat. Masih terlalu panas. Dan tanpa berkata sepatah pun pada pria dengan bibir berdarah itu, Jia berdiri. Dia meraih tasnya, membenarkan kerah seragamnya, lalu berjalan menuju pintu. Sebelum keluar, dia hanya berkata satu kalimat ke Damien, datar, dingin, tanpa beban. “Thanks for the save.” Dengan itu, langkahnya hilang di koridor. Damien masih berdiri di tempat, mulutnya sedikit terbuka. Matanya menyapu Lucien dari atas ke bawah. Bros emas masih terpasang. Bibir berdarah. Ban pinggang di lantai. “Gue gak paham antara lo lagi diinterogasi atau audisi Fifty Shades versi kampus.” Lucien tidak menjawab. Masih bersandar di sofa, matanya menatap pintu yang tadi ditutup Jia. Damien menyipit. “Lo … minta tolong lewat teks, bro.” Lucien melirik pelan. “I was stuck.” Damien mendengus. “Stuck in what, perasaan? Ikatan? Karma?” Lucien tidak menanggapi. Damien mengangkat ban pinggang dari lantai, menjentikkan gespernya pelan sambil bersiul. “Next time gue stuck di lift, please God, gue juga dapet treatment begini. Tapi minus gigitan, obviously.” Lucien menghela napas dalam. Damien? Sudah beraksi. Dia mengeluarkan ponselnya dari saku. “Say cheese, golden boy,” gumamnya sambil menarik Lucien lebih dekat dengan satu lengan. Lucien melirik sekilas, tidak berusaha menolak, tidak pula berpose. Klik. Flash mati. Angle sempurna. Satu jepretan. Satu momen. Dan satu skandal baru sedang dirajut. Damien membuka aplikasi MIRÁGES, jejaring sosial eksklusif St. Heliora. Aplikasi yang hanya bisa diakses oleh siswa aktif yang terverifikasi melalui sistem internal kampus. Di sinilah para elite kampus seperti Trident, Flameborns, bahkan profesor tertentu berbagi kehidupan seperti pesta privat, gosip underground, dan drama terselubung. Damien mengetik caption dengan senyum setengah bangga, setengah haus kekacauan. “Our Golden Boy just got bitten ... and liked it.” Tidak ada tag. Tidak ada penjelasan. Hanya selfie mereka berdua. Lucien dengan ekspresi malas, bibir merah menyala. Damien menyeringai lebar seperti penjahat manhwa favorit yang tahu persis dia baru menyalakan api kecil … yang akan membesar dalam hitungan menit. Post uploaded. Sepuluh detik kemudian tertera 27 notifikasi komentar. 164 views. Trending under “Trident Scandal Watch.” Lucien menghela napas lagi. “Lo bener-bener, ya ...” Damien menepuk pundaknya, ekspresi tak bersalah menyatu sempurna dengan kegilaan di matanya. “Gue sedang menyelamatkan reputasi lo, man.” Dia mengedip. “Sekarang semua orang mikir lo abis, yah … main liar sama siapa pun yang cukup berani.” Lucien hanya menatap ke depan. Diam. Tapi di kepalanya? Ada satu nama. Dan senyum kecil di ujung bibirnya kembali muncul.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN