Bahaya Obrolan Dalam Gelap

1233 Kata
Jia menatapnya. Mata hitamnya tegak, jernih, tidak gemetar sama sekali. Tidak seperti kebanyakan orang yang mencoba menatap balik pria dengan bros emas di kerah, apalagi setelah melihat empat Flameborn lari seperti anak anjing. “Thanks…” katanya, datar. Tulus tapi Jia tetap menjaga jarak. Seojun tidak menjawab langsung. Dia hanya menatapnya sejenak. Dan dalam detik-detik itu, dia mengamati. Cara napasnya masih teratur, walau sorotan matanya menyimpan sisa kemarahan. Cara dia berdiri terlihat tidak defensif, tapi siap jika perlu. Dan cara dia mengucapkan ‘terima kasih’ itu… bukan sebagai bentuk kekaguman. Tapi sebagai pengakuan. Sesuatu dalam diri Seojun mengendur sedikit. Tidak cukup untuk disebut tertarik. Tapi cukup untuk... memperhatikan. Akhirnya, dia menjawab. “Lain kali, tampar balik aja.” Mata Jia menyipit sedikit tapi bukan karena marah. Lebih karena dia tidak menyangka jawabannya akan seperti itu. Lalu Seojun menyandarkan tubuh ke sisi pintu, menghela napas seperti hidup ini lelah banget, dan menatap langit-langit lorong. Hening. Satu detik. Dua detik. “Tadinya mau,” suara Jia akhirnya terdengar lagi, “Tapi kamu keburu muncul.” Seojun menoleh perlahan. Dia tidak tersenyum. Tapi untuk pertama kalinya sejak pagi itu, sudut bibirnya sedikit … terangkat. Tidak semua orang bisa meladeni kalimat dinginnya dengan ketenangan. Apalagi seorang gadis dengan bros hitam yang baru saja dikelilingi empat Flameborns dan masih sempat ngasih jawaban kayak tadi. Lucien mungkin tertarik karena penasaran. Tapi Seojun? Dia justru tertarik karena diam-diam gadis ini berani bicara bahasa yang sama dengannya. Sikap yang datar, kata yang minim, namun maknanya penuh. Seojun menatap Jia sekali lagi sebelum berkata, “Good.” Lalu tanpa menjelaskan, dia berbalik pelan, kembali masuk ke ruang musik, dan menutup pintu dengan suara klik yang pelan … tapi tegas. *** [Perpustakaan St. Heliora, Malam itu] Perpustakaan utama berdiri sunyi seperti katedral. Sunyi, berlapis kaca, dengan cahaya putih lembut dari langit-langit tinggi. Di salah satu sudut paling sunyi, Jia duduk sendiri. Tablet di tangannya menyala. Jari-jarinya mengetik pelan, memoles kalimat demi kalimat untuk presentasi puisi, bagian dia dan Lucien. Dia lebih memilih menyelesaikan bagiannya sendiri. Lebih aman. Lebih efisien. Jam digital di pojok layar sudah menunjukkan 22:41 saat tiba-tiba … semua lampu padam. Tablet di tangannya mati. Perpustakaan tenggelam dalam kegelapan. “Hah?” Jia berdiri. Pintu otomatis tak merespon. Panel keluar juga tak menyala. Hanya lampu darurat merah kecil yang berkedip pelan di dinding, seperti pengingat bahwa dia sekarang terjebak. Dia melangkah cepat ke lorong utama. Langkah kakinya terdengar keras di antara rak-rak buku yang seperti bayangan raksasa. Dia menyentuh panel keluar lagi. Tetap mati. “Oh, damn!” desisnya. Dan sebelum dia bisa memutuskan apakah harus panik atau pasrah, satu suara datar dan dalam terdengar dari kejauhan. Terlalu tenang untuk situasi begini. “Kamu juga kejebak?” Jia menoleh tajam ke arah suara. Langkah kaki pelan terdengar mendekat. Dari balik rak paling ujung … muncul sosok tinggi dengan rambut honey blond yang bersinar samar di bawah cahaya darurat. Lucien Clairmont. “Lho, kamu ngapain di sini?” Jia bertanya, sedikit waspada. Lucien memasukkan tangan ke saku. Posturnya santai, seperti biasanya. “Bikin tugas,” jawabnya. “Di ujung sana. Paling tenang.” Jia mengerjap. “Sendirian?” Lucien mengangguk pelan. “Kadang ... lebih enak begitu.” Jawabannya tidak terdengar aneh. Tapi juga tidak sepenuhnya biasa. Sunyi melingkupi mereka. Hanya suara napas dan detak jam kecil dari ruang penjaga yang masih hidup. Jia menelan ludah. “Pintu mati.” Lucien melihat panel. “Sistem otomatisnya ikut padam. Biasanya nyala lagi beberapa menit.” “Kalau nggak?” tanya Jia. Lucien mengangkat bahu. “Kita nginep bareng?” Jia mendelik. Tapi Lucien hanya tersenyum kecil, senyuman yang setengah nakal, setengah menguji. *** Setelah beberapa saat, akhirnya Jia dan Lucien duduk berseberangan di salah satu sofa kecil area baca, tablet mereka sudah mati. Satu-satunya yang hidup adalah percakapan pelan … dan detak jam yang terdengar seperti napas perpustakaan itu sendiri. “Puisi Catullus,” kata Jia, tangannya menyusuri sisi sofa. “I hate and I love. Gila ya, kalimat sesimpel itu bisa nyakitin banget.” Lucien duduk bersandar. Kakinya disilangkan, kepalanya sedikit mendongak, menatap langit-langit gelap. Suaranya lebih pelan dari biasanya. “Karena itu jujur. Nggak dibuat-buat.” “Menurutmu … dia benci karena dia cinta?” Lucien menoleh pelan. Mata biru keabuannya samar-samar memantulkan cahaya merah dari lampu darurat. “Benci karena dia nggak bisa berhenti.” Jia terdiam. “Puisi itu ... Orang pikir yang paling kuat itu kata ‘love’. Padahal, yang paling nyakitin … itu ‘why’.” Tapi sebelum Jia sempat bertanya, Lucien tiba-tiba terdiam. Kepalanya menunduk. Tatapannya tak lagi ke langit-langit tapi ke jarinya sendiri, yang kini mengepal ringan di atas lutut. Senyap. Bukan senyap dingin tapi senyap yang terasa berat. Seperti sesuatu yang muncul tiba-tiba dari dalam dirinya sendiri dan tidak bisa dia tahan. Jia memperhatikan. Lalu, pelan-pelan bertanya. “Kenapa kamu tiba-tiba diem?” Lucien tidak menjawab langsung. Butuh beberapa detik sebelum dia akhirnya berkata, dengan suara rendah, hampir seperti bisikan. “Karena itu ngingetin aku sama seseorang.” Jia tidak menyela. Dia hanya menunggu. Lucien menarik napas. “Mama aku.” “…Mama kamu?” Lucien mengangguk pelan, matanya tetap tidak menatap Jia. “Dia ... perempuan paling sabar yang pernah aku lihat. Paling lembut. Paling setia.” Jia bisa merasakan tensi halus mulai meresap ke udara. Bukan antara mereka tapi dari luka yang tak bisa dibendung. Lucien melanjutkan, “dan dia harus tidur di ranjang yang sama setiap malam … tau suaminya lagi ada di tempat lain. Sama istri lain.” “Dia nggak ninggalin?” Lucien tertawa kecil. Tapi kosong. “Dia cinta ... tapi dia juga benci. Sama kayak Catullus.” Jia menatapnya pelan, tanpa menilai. Lucien menoleh perlahan ke arahnya. “Aku belajar … cinta itu kelemahan. Nggak pernah adil. Nggak pernah cukup.” Matanya menyipit, seperti sedang menyaring pikirannya sendiri. Jia menatap Lucien. Sorot matanya tak berubah tajam, tapi ada sesuatu di dalamnya sekarang, sedikit lebih lembut. Sedikit … iba. Bukan karena dia menganggap Lucien lemah. Tapi karena untuk pertama kalinya, Jia melihat lelaki itu sebagai seseorang yang membiarkan dirinya rusak pelan-pelan. Lucien menangkap tatapan itu dan justru di situlah bahaya muncul. Kenapa dia merasa dilihat? Kenapa ... dia baru sadar dirinya sedang terbuka? Lucien menarik napas kecil. Dia benci rasa ini. Rasa yang terasa rapuh dan tidak familiar Jadi dia melakukan hal yang paling dia kuasai yaitu membalik keadaan. Perlahan, dia berpindah ke tempat Jia. Tubuhnya condong maju. Wajahnya hanya beberapa inci dari Jia, dan sorot mata biru keabuannya kini berubah lebih dalam, lebih gelap, seperti laut sebelum badai. Satu tangan bergerak dengan lembut dan sangat pelan. Hingga melingkar di sisi pinggang Jia. Tidak kasar tapi cukup erat untuk membuat jantung siapa pun berubah tempo. Jia tak bergerak. Mata mereka masih saling terkunci. Jia bisa merasakan hembusan napas Lucien di wajahnya sekarang. Hangat, menyesatkan, dan membingungkan. “Kalau kamu terus lihatin aku kayak gitu …” suara Lucien nyaris seperti ancaman yang dibungkus beludru, “aku mulai berpikir kamu bukan cuma partner tugas.” Jia menahan napas. Lucien makin dekat. Napasnya terasa hangat dan tatapannya menusuk. Tangannya melingkar di pinggang Jia dengan ketenangan yang terlalu terlatih, terlalu natural seolah tubuhnya memang selalu tahu cara mengendalikan wanita. Tatapannya Jia tetap terkunci ke mata Lucien. Lurus. Datar. Tapi ada percikan kecil … seperti senyuman tak kasatmata. Dan dengan nada yang nyaris terlalu tenang untuk situasi seintim ini, dia berkata. “Lucien... tunggu. Bisa buka ban pinggang kamu dulu?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN