Coffee Date

1463 Kata
Elysian Garden seperti biasanya sepi, lembut, dan sedikit lebih hidup saat matahari pagi menyusup dari sela daun. Jia duduk di bangku batu paling ujung, jari-jarinya menyentuh layar ponsel, walau sebenarnya dia lebih sibuk mengatur napas. Kemeja putihnya melambai pelan tertiup angin. Rambutnya digerai setengah, dengan anting kecil yang nyaris tak terlihat. Bukan dandanan berlebihan. Tapi cukup untuk membuatnya berpikir ... ‘Semoga dia notice.’ Langkah kaki terdengar dari belakang. Saat Jia menoleh, dia melihatnya. Yoon Seojun. Kemeja hitam tipis. Kerahnya terbuka seperlunya, lengan digulung rapi hingga lengan bawah. Jam tangan gelap terpasang di pergelangan, dan celana abu potongan tajam menyempurnakan siluetnya. Sepatunya mengkilap. Setiap langkahnya terlalu tenang. Dia berhenti dua meter dari bangku. "Maaf," katanya singkat. "Telat dua menit. Tapi aku booking ruangan seharian, jadi masih aman." Jia mengerjap. “Booking?” Seojun mengangguk, lalu menoleh pelan ke arah jalur setapak kecil di sisi taman. "Ikut aku.” Mereka berjalan menyusuri jalur kampus yang lebih jarang dilalui. Melewati taman-taman tersembunyi dan koridor tua dengan pilar-pilar batu. Langkah mereka bergema pelan saat memasuki bagian belakang Gedung Administrasi. Gedung tua dengan sentuhan arsitektur kolonial, langit-langit tinggi, dan pintu kayu berat dengan ukiran antik. Di depan satu pintu gelap yang nyaris tak mencolok, Seojun berhenti. Mengetik sesuatu di panel kecil di dinding. Pintu terbuka otomatis dengan klik pelan yang lebih mirip desahan rahasia. Amber Room. Interiornya seperti potongan dari film noir. Dindingnya dari kayu jati tua yang mengkilap, kursi kulit hitam berpotongan klasik, dan satu lampu gantung kristal tua yang menggantung langsung di atas meja bundar di tengah ruangan. Dan aroma kopi bercampur kayu tua memenuhi udara, mewah tapi menenangkan. Jia berhenti satu langkah dari ambang pintu. “Ini ... coffee shop?” bisiknya. Seojun masuk duluan, lalu berbalik menatapnya. “Technically, dulunya ruang meeting rektor.” “Sekarang? Coffee room khusus Trident dan tamu yang ditandai ‘VVIP’.” Jia melangkah masuk perlahan, matanya menyapu ruangan. “Kamu sering ke sini?” Seojun menarik kursi untuknya. Hanya memberi isyarat dengan tangan secara halus dan tenang. "Nggak.” “This is the first time.” Seojun duduk di seberang Jia. Meja bundar kecil di antara mereka seperti semacam batas tak kasatmata. Kopi belum datang. Musik tidak diputar. Hanya ada mereka berdua, dan cahaya lampu gantung yang menyorot pelan dari atas. Jia merapikan letak gelas air mineral yang belum disentuh. Seojun menatap permukaan meja. Tangannya terlipat santai, tapi ada ketegangan kecil di ujung jemarinya, tersembunyi tapi nyata. Mereka diam selama delapan detik. Delapan detik yang terasa seperti delapan abad. Lalu, hampir bersamaan ... “Jadi—” “Tadi pagi—” Mereka berhenti. Kaget. Jia menoleh cepat. “Eh sorry, kamu dulu aja.” Tapi Seojun mengangguk di saat yang sama. “Gak, kamu aja.” Lalu ... Diam lagi. Dan detik berikutnya ... mereka tertawa. Bukan tawa besar. Tapi tawa ringan yang datang dari absurditas situasi. Dua orang yang biasanya kalem, tenang, dan nggak pernah kehabisan kata-kata, sekarang saling tatap, diem, dan bingung. Jia menutup mulutnya sebentar, menunduk, masih tersenyum. Seojun menyandarkan diri ke sandaran kursi, satu tangan mengusap tengkuknya sendiri. “Aku gak nyangka ini bakal canggung.” Suaranya rendah, pelan tapi ada senyum samar di balik kata-katanya. Jia mengangguk, masih tertawa pelan. “Sama. Aku kira kamu bakal mulai dengan kalimat kayak ... ‘Menurut kebijakan luar negeri Korea Selatan.’” Seojun mengangkat alis. “Dan ku kira kamu bakal nyodorin draft puisi.” Jia tertawa lagi. Tapi kali ini, tawanya lebih lepas. Lebih jujur. Dan untuk pertama kalinya sejak mereka duduk, jarak di antara mereka terasa menyusut. Kopi mereka datang beberapa menit kemudian. Pelayan meninggalkan dua cangkir, yang hitam pekat untuk Seojun, dan cappuccino untuk Jia, dengan latte art berbentuk daun yang nyaris terlalu rapi untuk diminum. Beberapa menit berlalu dalam percakapan ringan tentang kampus, kelas, dan kadang hal random seperti “kenapa semua lift di gedung H selalu rusak.” Sampai akhirnya, Jia menyender ringan ke sandaran kursinya. “Ngomong-ngomong,” katanya sambil mengaduk kopinya. “Jason kemarin shock berat.” Seojun melirik. “Karena?” “Karena tiba-tiba dapet legendary item dari partner misteriusnya.” Jia tertawa kecil. “Dan terus aku suruh kasih emot love sebanyak mungkin. Dia panik banget.” Seojun menahan senyum. Tangannya menggenggam cangkir. Lalu Jia menoleh ke arahnya, senyum masih tersisa di wajah. “Orang-orang gak akan nyangka, loh.” Seojun mengangkat alis. “Nyangka apa?” “Bahwa Yoon Seojun ... pernah nembak lewat game online.” Seojun tertawa datar, tapi ada kilatan geli di matanya. “Aku juga gak nyangka. Turns out ... itu jebakan.” Jia meletakkan sendoknya dan menatapnya dengan senyum geli. “Pantes Jason bilang partnernya kadang flirting tapi terlalu strategis. Kayak ngajak PDKT tapi formatnya kayak presentasi negara G7.” Seojun mengerjap. Lalu mengangkat dagunya sedikit, ekspresinya berubah sedikit penasaran. “Emangnya ... menurut kamu, orang-orang ngeliat aku kayak gimana?” Jia langsung terkekeh tapi dia melihat dari ekspresi Seojun kalau pertanyaan itu sebenarnya bukan hanya candaan. Jadi dia menjawab. “Dingin.” Seojun: “Figures.” “Nyeremin.” Jia mengangkat alis. “Secara kamu tuh kan pewaris resmi bos mafia. Mukanya kayak karakter final boss di manhwa. Tapi sexy. Annoyingly sexy.” Seojun memutar bola mata. “Thanks. I guess.” “Tapi juga kelihatan nggak peduli sama apapun.” Jia melanjutkan, suaranya kini lebih pelan. “Terlalu tenang. Terlalu... nggak butuh siapa-siapa.” Seojun menunduk sedikit. Tangannya memutar perlahan cangkir di meja. “Dan kamu?” Suaranya rendah. Lurus. “Kamu ngelihatnya kayak gimana?” Jia tidak langsung menjawab. Tapi di dalam pikirannya, yang muncul bukan Seojun si pewaris mafia, bukan yang duduk dingin di Claret Room. Yang muncul adalah ... Suara ‘Berisik.’ saat dia menyelamatkan Jia di depan ruang musik. Senyum kecil saat dia sadar Jason adalah sh4dow. Suara pelan saat dia bilang, ‘Partnernya nunggu.’ Tapi Jia hanya tersenyum kecil dan berkata. “Rahasia.” *** Jia menyandarkan tubuhnya sedikit ke belakang. Mengambil napas dan membiarkan aroma kayu dan kopi mengisi paru-parunya. Tanpa sadar, matanya melirik sedikit ke arah bros emas di kerah kemeja Seojun. Bros kecil itu tampak kontras di atas kain hitam. Berbentuk sederhana, hanya simbol abstrak dengan lekukan tajam. Tapi semua orang di kampus tahu bahwa itu adalah tanda. Tanda bahwa dia bukan sekadar mahasiswa. Dia Trident. Dan lebih dari itu, dia adalah pewaris. Jia tahu dia harus cepat mengalihkan pandangannya. Tapi sebelum sempat menoleh kembali ke cangkirnya … Seojun bicara. “Mau tanya?” Nada suaranya tenang. Bukan tuduhan. Bukan godaan tapi pernyataan. Jia menoleh cepat. Dia jadi sedikit salah tingkah tapi berusaha tetap menjaga ekspresi datarnya. “Cuma ... penasaran.” “Keliatannya berat.” Seojun menatapnya. Pelan, dalam tapi tidak keras. “Lumayan. Tapi beratnya bukan di logamnya.” Jia diam. Seojun menunduk sedikit. Menyentuh bros itu sekilas dengan jari telunjuknya lalu menatapnya lagi. “Di maknanya dan di cara orang ngeliat.” Jia terdiam dan tidak menjawab tapi pandangannya tidak pergi dari mata Seojun. Dan untuk sejenak, bros emas itu tidak terlihat seperti simbol kekuasaan tapi lebih seperti beban. “Hmm …” gumam Jia pelan, seperti sedang menimbang sesuatu. Matanya mengarah ke cangkir, tapi sudut bibirnya terangkat perlahan seperti senyum kecil yang nyaris terlihat licik. Seojun menoleh. “Kenapa?” Jia menatapnya, wajahnya datar tapi matanya bicara. “Jadi itu alasannya, ya?” Alis Seojun terangkat ringan. “Apa?” Jia menyilangkan tangan, nada suaranya masih seolah santai, tapi jelas sedang menahan sesuatu. “Kamu nembak cewek ... di game online.” Satu detik jeda. "Karena mereka gak tau siapa kamu. Gak ngeliat bros emas kamu. Gak denger nama belakang kamu.” Lalu Jia bersandar ke meja, suaranya lebih pelan. “Dan kalau mereka suka ... berarti karena kepribadian kamu?” Suara itu menggantung. Hangat dan menusuk sekaligus. Seojun tidak langsung menjawab. Dia hanya diam, menatapnya, ekspresinya nyaris datar. Beberapa detik berlalu sampai akhirnya Seojun bicara. “Dan sekarang kamu lagi bilang aku punya kepribadian?” Jia tidak dapat menahan tawanya lagi. Tawa kecil lolos dari bibirnya, tubuhnya sedikit condong ke depan. Tangannya menutup mulut, tapi matanya menyipit geli. “Aku gak bilang gitu.” Dia menatapnya penuh kepuasan. “Kamu lho yang nyimpulin.” Seojun menyandarkan diri ke kursinya, menyesap kopi dengan tenang. “Noted. Jia Lee thinks I have a personality.” Jia mendengus. “Penting banget, ya?” “Mengingat reputasi aku?” Seojun menoleh dan menatap langsung ke matanya. “Lumayan.” Jia balik menatap mata Seojun. Bukan karena canggung tapi karena sesuatu di antara mereka mulai berubah arah. Seperti benang yang awalnya longgar ... mulai ditarik perlahan. Dan untuk sesaat, Jia melihat Seojun bukan sebagai pewaris. Bukan sebagai legenda kampus. Tapi sebagai pria muda yang sedang mencoba bicara dengan caranya sendiri. Dan Jia sadar, dia suka yang ini. Yang bukan bros emas. Yang bukan rumor kampus. Yang cuma ... Seojun.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN