Skandal Miss Evelyn

1233 Kata
Matahari siang menyusup pelan lewat jendela tinggi koridor lantai dua Gedung Administrasi. Langkah kaki mereka bergema ringan di lantai marmer. Pintu Amber Room menutup otomatis di belakang mereka. Jia masih bisa mencium samar aroma kayu tua dan kopi. Sementara Seojun dengan tangan di saku dan ekspresi netralnya yang kembali aktif, berjalan setengah langkah di depan. Mereka baru saja mulai menuruni tangga kecil saat terdengar suara itu. “Pokoknya kamu harus tanggung jawab, Lucien!” Langkah Jia terhenti. Seojun juga membeku. Tubuhnya menegang nyaris tak terlihat. Itu suara Miss Evelyn. Dosen sastra klasik. Sering pakai heels merah. Suaranya lembut, senyum menawan, dan … wanita yang dulu terdengar berkata Lucien… pelan-pelan, dari balik taman mawar.' Kini isak tangisnya pecah. “Kamu gak bisa terus kabur kayak gini. Aku gak minta yang mustahil, Lucien. Aku cuma minta … kamu ngakuin!” Langkah Jia makin pelan. Dia menoleh ke Seojun tapi Seojun sudah lebih dulu menoleh ke arah sumber suara di salah satu ruang meeting lama yang pintunya sedikit terbuka. Dari celah itu bayangan dua orang terlihat. Lucien. Berdiri membelakangi pintu. Tegap. Dingin. Tidak bicara. Dan Miss Evelyn, berdiri di hadapannya. Tangan menutupi wajah, bahu terguncang kecil. Sepatunya nyaris terdengar goyah di lantai kayu tua. Hening sesaat. Sampai Lucien akhirnya bicara. Suara yang tenang. Tapi sangat … final. “Kamu mau aku tanggung jawab?” Suara itu tenang tapi tajam. “Kita berdua tau, Evelyn ... selama ini, aku gak pernah keluar di dalam.” Jia menahan napas. Seojun, di sampingnya, menatap lurus ke depan. Rahangnya mengeras. Lucien melanjutkan. Masih dengan nada yang tak terguncang sedikit pun. “Dan kalau kamu yakin itu anakku ... Buktiin.” Dia melangkah maju satu langkah. “Tes DNA. Hari ini juga. Aku bisa panggil pengacara dalam lima menit.” Miss Evelyn membeku. Mulutnya sedikit terbuka, tapi tak ada kata yang keluar. Wajahnya yang biasanya tersusun rapi di depan kelas kini kehilangan fondasinya. Tangannya yang tadi menutup wajah perlahan turun. Dan saat itulah Jia, yang sejak tadi menyimak dari balik bayangan lorong, langsung meraih lengan Seojun. “Ayo,” bisiknya pelan. “Kita gak seharusnya denger ini.” Tanpa menunggu respons, Jia menarik Seojun menyusuri lorong kecil di sisi kanan, lorong yang jarang dilalui orang karena menuju ke ruang arsip. Sepatu mereka nyaris tak bersuara. Langkah mereka cepat tapi tak terburu-buru. Begitu sampai di balik tembok, Jia berhenti. Punggungnya bersandar ke dinding dingin. Napasnya sedikit tidak stabil. Seojun berdiri di sebelahnya, satu tangan masih di saku, tapi sorot matanya tak lagi tenang. “Lucien ... ” Jia pelan-pelan bicara. “Dia serius banget soal itu, ya?” Seojun tak langsung menjawab. Matanya menatap lurus ke dinding seakan bisa menembus dan melihat kembali apa yang baru saja terjadi. “Lucien gak pernah main-main soal tanggung jawab.” Lalu dia menoleh ke Jia. “Tapi dia juga gak pernah segampang itu percaya siapa pun. Termasuk yang pernah tidur sama dia.” Jia diam. Dan untuk pertama kalinya … Jia merasa bahwa drama kampus ini lebih besar dari sekadar bros emas dan gosip di MIRÁGES. Apa yang terjadi barusan tidak hanya mengejutkan Jia tapi mereka ulang semua bayangannya tentang pria-pria dengan bros emas itu. Jia masih bersandar ke dinding. Matanya memandang kosong ke ujung lorong. Lucien dengan nada sedingin es, menyuruh seseorang tes DNA. Miss Evelyn yang tadinya dosen dengan heels merah dan suara lembut, kini berdiri seperti wanita yang kehilangan arah hidup. “Aku pikir mereka cuma bros emas dan ego,” bisik Jia akhirnya. Seojun menghela napas. Satu sudut bibirnya terangkat, tidak sinis tapi ada senyum pahit di situ. “Selamat datang di realita, Jia.” Nada suaranya ringan, tapi mengandung beban yang tidak terlihat. “Ini bukan pertama kali,” lanjutnya. “Lucien dari umur delapan belas udah pernah digerebek cewek yang ngaku hamil delapan minggu padahal mereka baru ketemu tiga kali. Damien? Ada yang datang ke penthouse dia bawa bayi lengkap sama akta kelahiran palsu dan bilang, ‘mirip banget sama kamu waktu kecil.’” Jia membelalak. Seojun meneruskan, masih dengan ekspresi setenang langit mendung. “Pernah juga ada yang ngajak dinner sekali, terus seminggu kemudian kirim undangan tunangan ke keluarganya sendiri. Damien sampai disangka kabur nikah.” Jia tertawa kecil. Sedikit gugup. Sedikit tak percaya. “Dan keluarga kalian gak ngecek?” “Selalu dicek. Tapi kadang ...” Seojun mengangkat bahu. “Lebih banyak yang haus gengsi daripada logika.” Mereka diam sejenak. Sampai akhirnya Jia menoleh. Menatap Seojun dari samping. “Kalau kamu?” Suara Jia keluar lebih pelan dari yang dia maksudkan. Tapi dia tidak menariknya kembali. Ada sesuatu dari pembicaraan ini, antara campuran jujur dan absurd, yang membuatnya ingin tahu lebih jauh. Seojun menoleh. Matanya bertemu dengan milik Jia. Beberapa detik hanya diisi oleh diam. Lalu dia bicara seperti setengah bercanda, setengah menggoda. “Aku gak pernah keluar di dalam.” Jia berkedip. “O-oke?” Tapi Seojun masih lanjut. “Secara teknis. Praktis. Biologis. I'm still a virgin.” Jia diam. Satu ... dua ... tiga detik ... Lalu dia menunduk, dan gagal menahan tawanya. Dia menutup mulut dengan tangan, tubuhnya sedikit berguncang. “Seojun... astaga.” Tawa kecilnya terdengar seperti seseorang yang baru saja disodori laporan hasil lab saat cuma minta cerita cinta pertama. “Serius jawabnya begitu?” Seojun mengangkat bahu, ekspresinya datar. “Kamu yang tanya.” Jia masih tertawa, meski sekarang mulai terdengar lebih seperti napas yang berusaha stabil. “Kamu bisa jawab ‘nggak punya drama’ atau ‘aku aman’, tapi kamu malah … literally kasih info detail.” Seojun menyandarkan diri ke dinding lorong. Satu tangan masuk saku. Matanya melirik ke arah jendela. “Lebih aman kasih jawaban yang nggak bisa ditwist.” “Kalau nanti ada yang bawa bayi terus bilang ‘Anak ini anak kamu’ aku tinggal bilang, Impossible.” Tawa Jia makin tak tertahan. Dia bahkan menepuk bahu Seojun pelan, seperti refleks seseorang yang sudah terlalu lelah tertawa tapi masih terhibur. “Aku ... aku harus bilang, itu mungkin kalimat anti-paternity terbaik yang pernah aku denger.” Seojun menoleh ke arahnya dan akhirnya, untuk pertama kalinya sejak mereka keluar dari Amber Room dia tersenyum. Bukan senyuman ejekan atau sarkasme. Tapi … senyum yang muncul karena seseorang berhasil membuatnya tertawa. Jia terdiam. Tawanya menguap pelan dan mendadak, suhu tubuhnya terasa naik. Wajahnya menghangat dari pipi ke leher. Sampai telinganya ikut memerah. Dia memalingkan wajah cepat. Tapi itu percuma. Warna merahnya terlalu jelas. Dan Seojun? Dia lihat semuanya. Tatapan matanya tajam, tapi tak memojokkan. Hanya mengamati dan menikmati. Dia melangkah mendekat dan tubuhnya kini hanya beberapa inci dari Jia. Suaranya rendah. Nyaris seperti bisikan. Tapi setiap katanya menghantam langsung ke tulang rusuk. “Meskipun aku virgin …” Kepalanya sedikit miring. Senyum itu masih ada di sudut bibirnya. “Bukan berarti aku nggak penasaran buat ... coba.” Jia membeku. Napasnya tertahan. Matanya membulat sedikit.. Dan untuk pertama kalinya ... Jia kehabisan kata-kata. Jantungnya berdetak terlalu kencang. Darahnya mengalir terlalu cepat. Jia tahu dia seharusnya mundur. Seharusnya bilang sesuatu untuk memecah ketegangan ini entah bercanda atau apa saja yang bisa mengurangi panas yang makin naik dari dadanya ke wajah. Tapi tubuhnya malah diam di tempat. Matanya kini jatuh pada bibir Seojun yang penuh, sempurna, dan tiba-tiba terasa seperti jebakan yang paling menggiurkan di dunia. “Lebih baik kita ... ” Jia baru mulai bicara, mencoba menyelamatkan dirinya sendiri. Tapi suara Seojun yang pelan, rendah, dan tanpa kompromi memotong kalimatnya dengan lembut. “Too late.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN