Ciuman Panas Seojun

1519 Kata
Dan Seojun mendekat. Pelan-pelan, dia merapatkan jarak di antara mereka. Tubuhnya hampir menyentuh tubuh Jia, tatapannya turun ke bibir Jia, lalu kembali menatap matanya. Ada keraguan tipis di sana, sesuatu yang belum pernah Jia lihat sebelumnya dari Yoon Seojun. Tapi ada juga keinginan yang jelas, kuat, tapi terkendali dengan elegan. Napas Jia tertahan. Dia menunggu. Tapi Seojun hanya berhenti, tepat beberapa sentimeter di depan bibirnya, seakan masih memberi kesempatan Jia mundur. Namun Jia sudah tidak ingin mundur. 'Udah tanggung’ batinnya. ‘Sekalian aja.’ Tanpa pikir panjang, Jia maju. Meniadakan jarak yang masih tersisa, dan dengan tekad sekaligus rasa penasaran yang meledak-ledak dalam dadanya, dia mencium Seojun. Bibirnya lembut bertemu bibir Seojun, canggung, tapi dipenuhi rasa penasaran yang tiba-tiba meletup. Seojun membeku selama satu detik lalu sedetik berikutnya, dia merespon pelan, lembut, hampir hati-hati, tapi cukup intens untuk membuat dunia Jia tiba-tiba berhenti berputar. Tangan Seojun naik perlahan, menyentuh pipi Jia dengan ujung jemarinya yang hampir ragu, tapi juga seperti seseorang yang akhirnya mendapatkan sesuatu yang sudah lama dia inginkan. Ketika akhirnya mereka berpisah, napas Jia tersengal ringan, wajahnya panas. Mata Seojun kini menatapnya, penuh rasa penasaran yang baru saja terbuka. “Kamu tahu nggak?” bisik Seojun pelan, sedikit menggoda tapi juga penuh makna. Jia menelan ludah, masih belum stabil. “Apa?” “Sekarang aku ngerti kenapa Lucien suka digigit.” Wajah Jia langsung memerah sempurna. Napasnya masih belum kembali normal. Darahnya masih berdesir di bawah kulit, dan jantungnya berdetak seperti orkestra kecil yang baru saja bangun dari tidur panjang. Dan ketika Seojun kembali maju dengan satu gerakan halus, kepala sedikit miring, tatapannya kini turun ke bibir Jia dengan intensitas yang tidak lagi samar ... Langkah kaki terdengar. Seojun langsung berhenti. Kepalanya berpaling sedikit. Wajahnya kembali datar seolah tak terjadi apa-apa. Seorang dosen pria muncul di ujung koridor. Rambutnya sudah memutih sebagian, kacamata bulat di hidungnya, dan ekspresi yang biasanya galak seperti polisi kampus siap membubarkan “kerumunan mencurigakan.” Tapi saat matanya bertemu dengan pandangan Seojun dan bros emas yang menyala terang di kerah hitam itu, tatapannya menunduk sedikit dan mulutnya tertutup rapat. Tanpa berkata sepatah kata pun, sang dosen lewat seolah tak melihat apapun. Begitu suara langkah itu menghilang di ujung tangga, Seojun menghela napas pelan. “Poin plus punya bros ini,” katanya datar. Seojun melirik jam tangannya. Lalu, dengan nada santai yang bertentangan dengan apa yang barusan terjadi, dia berkata, “Aku antar kamu pulang.” Jia menoleh cepat. “Eh?” Seojun hanya mengangkat bahu ringan. “Sekalian.” Jia mengangguk pelan dan tanpa banyak kata lagi, mereka melangkah bersama, menuruni tangga gedung administrasi lama. *** Mobil Sportscar Eropa edisi terbatas itu berdiri seperti kilau logam mahal di tengah senja Jakarta. Hitam mengkilap, lampunya menyipit tajam seperti mata predator yang baru bangun tidur. Plat nomor khusus, jendela gelap, dan suara mesin tadi baru saja berhenti tapi masih terasa gemuruhnya di udara, menyisakan tatapan dari warga sekitar yang masih berdiri di teras rumah masing-masing. Jia turun dari kursi penumpang, langkahnya sedikit kaku. Dia menatap ke arah rumahnya, rumah kecil dua lantai dengan pagar besi hitam. Laundry tetangga masih dijemur di sisi pagar. Motor ojek online terparkir di depan warung sebelah. Dan di ujung tikungan …tukang gorengan langganan Jason. Yang kini menatap ke arah mobil Seojun seperti sedang melihat makhluk luar angkasa. Jia menghela napas lalu dia menoleh pelan ke arah Seojun yang baru saja turun dari mobil. Lelaki itu, tentu saja, tidak kelihatan salah tingkah sama sekali. Dia menutup pintu mobil dengan tenang, lalu berdiri bersandar santai di samping mobil seperti ini hal yang normal. “Harus banget parkir persis di depan rumah aku?” Nada Jia datar. Tapi matanya menyipit sedikit, lebih ke panik sosial daripada marah. Seojun melirik ke arah tukang gorengan. Lalu kembali ke Jia. “Kenapa? Kamu takut gorengannya naik harga?” Jia menatapnya. “Tetangga aku bisa mikir aku dianterin sugar daddy.” Seojun mengangkat alis. “Emangnya aku keliatan segitu tuanya?” Jia menahan tawa tapi wajahnya masih tegang. “Seojun, lingkungan rumah aku kayak gini dan kamu pakai mobil yang harganya bisa beli semua rumah di RT sini, terus parkir PERSIS depan pagar rumah aku.” Seojun melipat tangan di d**a. Masih bersandar santai. Masih tidak merasa bersalah sedikit pun. “Tapi ini parkiran rumah kamu. Aku gak mungkin parkir di depan rumah tetangga kamu kan?” Dia menoleh pelan. “Where’s the crime?” Jia membuka mulut. Lalu menutupnya lagi. Dan saat itu, tukang gorengan tiba-tiba menyapa. “Non! Pacarnya cakep amat, Non! Artis ya?” Seojun melirik dan mengangguk kecil, memberi salam. Tukang gorengan langsung senyum dan mengangguk balik. Jia menutup wajah dengan satu tangan. Seojun tersenyum pelan dan mendekat satu langkah. “Aku antar sampe depan pagar?” Jia mendelik. “Nope thanks.” Lalu pintu rumah tiba-tiba terbuka. Jason. Memakai kaos oblong, sandal jepit, rambut sedikit berantakan. Masih dengan wajah kalem seperti habis nge-raid boss jam dua pagi. Dia melangkah keluar sambil mengantongi uang kecil. Misinya? Mau beli gorengan. Tapi langkahnya terhenti. Matanya jatuh ke arah Jia. Ke arah mobil mahal di belakangnya. Lalu ke cowok tinggi berkemeja hitam dengan ekspresi datar tapi tatapan tajam yang berdiri terlalu santai untuk orang biasa. Jason mengerutkan kening. “Eh?” Dan saat itu mata Seojun membelalak satu detik. Keningnya sedikit terangkat. Pandangannya naik-turun untuk menilai dan menyambung titik-titik kemungkinan. Wajah polos. Gaya santai. Dan aura yang SANGAT familiar. “Sh4dow?” gumam Seojun terdengar pelan, seperti tak percaya. Jason mengedip sekali. Lalu mengangguk pelan. “Yoonsei99?” Keheningan turun selama dua detik. Kemudian Jason menoleh ke Jia sebentar, sebelum kembali menatap Seojun tanpa ekspresi. “Mau masuk? Aku lagi nyari partner buat push rank.” *** Entah bagaimana ceritanya …Yoon Seojun, si pewaris mafia Korea, yang biasanya dikelilingi kursi kulit dan langit-langit kristal kini duduk bersila di atas karpet ruang tamu rumah sempit milik keluarga Lee. Di sebelahnya, Jason duduk tenang sambil fokus ke layar monitor, headset menggantung di leher. Dua-duanya sedang main game. Dan Jia? Jia hanya bisa berdiri di ambang dapur, memandangi pemandangan absurd di depannya. Seojun, cowok yang baru saja mencium dia tadi siang, sekarang lagi rebutan kill sama adik kandungnya. “Aku heal, jangan maju dulu,” kata Seojun, suaranya datar, nyaris tanpa emosi. “Terlambat. Aku udah flank kiri,” Jason menjawab, ekspresinya tetap santai. Jia ingin pingsan dan saat itulah pintu depan terbuka. Ibu mereka baru pulang kerja. Rambutnya sedikit berantakan, masih mengenakan blazer lusuh dan tas kerja. Langkahnya terhenti di ambang pintu, matanya langsung menangkap mobil sport hitam yang parkir di depan pagar rumah. Alisnya naik. “Itu mobil siapa?” Lalu matanya masuk ke dalam rumah dan melihat seorang lelaki tinggi, ganteng, rapi, terlalu tampan untuk lingkungan sini, duduk di ruang tamu seperti anak kos yang kelaparan. Mereka bertatapan sebentar. Seojun, yang biasanya lebih menyeramkan dari senyuman direktur Yakuza, malah mengangguk sopan dan berdiri. “Selamat malam, tante.” Ibu Jia mematung satu detik. Lalu tersenyum hangat. “Oh. Selamat malam, Nak. Kamu … temannya Jason, ya?” Jason mengangguk. “Iya, Bu. Ini Yoonsei99.” Dia jelas tidak paham. Tapi tetap tertawa kecil. “Ya ampun. Namanya unik sekali. Sudah makan? Kalau belum, ayo makan bareng. Ibu masak sup ayam semalam, masih enak kok dipanasin.” Seojun hanya menatap sebentar, lalu entah kenapa, dia mengangguk. “Boleh. Terima kasih.” *** Meja makan kecil itu sederhana. Empat kursi kayu yang mulai aus, taplak bermotif bunga yang warnanya sudah sedikit pudar, dan piring-piring yang tidak seragam. Tapi tidak ada yang memedulikan itu karena ruangan ini terasa penuh. Penuh tawa kecil Jason. Penuh suara sendok beradu dengan mangkuk. Penuh aroma hangat dari sup ayam buatan rumah. Yoon Seojun duduk diam, punggungnya tegak, bahunya kaku. Dia seperti benda asing yang ditaruh terlalu hati-hati di tengah suasana yang terlalu … manusiawi. Dia menatap mangkuk di hadapannya. Uap naik perlahan. Sup ayam. Hangat. Biasa saja, tapi … Tangan ibunya Jia, Rosalina, baru saja menyendokkan satu porsi ke mangkuknya. “Makan yang banyak, ya. Kamu kurus banget, Nak. Sama kayak Jason dulu.” Seojun tidak tahu harus menjawab apa. Dia hanya mengangguk, sedikit terlambat, dan mengambil sumpit. Jason sudah asyik makan sambil berbicara tanpa henti tentang turnamen game mendatang. Jia sibuk menghindari kontak mata dengannya sambil mencicipi telur dadar. Dan Seojun? Dia masih mencoba memahami kenapa jantungnya terasa lebih pelan, lebih tenang, dan lebih lambat dari biasanya. Tidak ada tekanan di meja ini. Tidak ada tuntutan. Tidak ada sorot mata yang menilainya dari balik ekspektasi keluarga. Hanya ibu pekerja keras yang memasak sup dengan sepenuh hati. Hanya adik laki-laki kalem yang menganggapnya teman main game. Dan seorang gadis yang … Yang entah kenapa, bisa membuat rumah sekecil ini terasa lebih luas dari semua ruang tamu marmer yang pernah dia lewati. “Kalau kamu suka, nanti tante buatin lagi, ya?” kata Rosalina tiba-tiba, sambil tersenyum. Seojun mengangkat pandangan dan menatapnya. Untuk sesaat, dia tak bisa berkata apa-apa. “Boleh, tante,” akhirnya dia menjawab. Suaranya lebih lembut dari biasanya. Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Seojun merasa … hangat. Bukan karena sup. Tapi karena dia diizinkan masuk ke meja makan yang tidak menuntutnya untuk sempurna. Hanya untuk jadi diri sendiri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN