Bukan Aku...

2624 Kata
"Aku ingin mencintainya dengan cara sederhana, seperti kata yang tak terucap lisan pada sang pena. Aku ingin mencintainya dengan cara sederhana, seperti isyarat awan pada hujan yang membuatnya tiada. Aku ingin mencintainya dengan cara paling sederhana, seperti isyarat api pada kayu yang membuatnya terbakar dan menjadi abu. Dan iya, aku ingin mencintaimu dengan cara yang paling sederhana, dengan cara yang paling rahasia, hingga manisnya tidak akan merusak tulus cintamu untuknya, dan lukaku tidak akan mengganggu detak jantungmu untuknya." Rengganis. Sore itu , setelah aku kembali dari tempat Dewi, aku tentu saja langsung bergegas untuk segera sampai di kamarku sebelum akhirnya Rosalina justru menghentikan langkah kakiku yang hendak menaiki anak tangga rumah itu. "Nis... Malam ini Mas Arga tidur di kamarku ya, soalnya aku baru beli baju dinas malam baru tadi, dan aku ingin menunjukkannya pada Mas Arga. Boleh ya?!" sapa Rosalina, dia izin agar malam ini Arga tidur di kamarnya. Aku tidak tau harus menanggapi dan bersikap apa untuk permintaan Rosalina ini. Pasalnya enam bulan ini Arga selalu tidur di kamarnya dan tidak sekalipun tidur di kamarku, tapi pernyataan Rosalina kali ini seolah ingin menamparku untuk satu fakta bahwasanya Arga hanya miliknya. Hanya miliknya. Aku tidak menjawab, bahkan aku tidak menoleh sedikitpun ke arah Rosalina ketika dia berbicara, tapi aku pilih mengabaikannya, melanjutkan langkahku menaiki anak tangga untuk segera sampai di kamar dan tidak lagi keluar dari sana. Aku yakin malam nanti akan ada desahan menjijikkan lagi yang akan tertangkap indera pendengaranku , desahan dari aktifitas bercinta mereka. Sebenarnya aku tidak peduli jika punya mereka ingin berteriak untuk menikmati pergumulan mereka selama aku tidak mendengarnya, dan kemarin aku juga sudah mengirim pesan pada Arga agar memasang alat peredam suara di kamarnya, agar suara percintaan mereka tidak keluar dari kamar itu, akan tetapi Arga tidak membalas pesanku. Bahkan pesan itu masih menunjukkan centang dua abu-abu, yang artinya pesanku belum dibaca, atau mungkin Arga mengaktifkan mode matikan notifikasi agar aku tidak mengetahui apakah pesan aku sudah dibaca atau tidak. Namun sebenarnya aku juga yakin bahwasanya kamar yang ditempati Arga dan Rosalina memiliki fasilitas peredam suara, karena di kamarku saja dipasangi alat peredam suara, masa iya di kamar mereka tidak! Aku tidak tahu apa yang terjadi hingga suara desahan penuh kenikmatan itu bisa lepas dari kamar itu dan ikut diterima Indra pendengaranku, dan aku juga sempat berpikir , mungkin Arga atau Rosalina sengaja mematikan alat peredam suara itu hanya untuk membuatku merasa sakit hati dengan keintiman mereka, sementara aku harus menyingkirkan pikiran liar itu , untuk sesuatu yang sangat tidak mungkin terjadi antara aku dan Arga, karena aku memang tidak pernah sekalipun mendapatkan sebuah kesempatan untuk menjalankan kewajibanku sebagai seorang istri atau Arga yang menuntut aku untuk menjalankan kewajibanku atau mungkin Arga yang ingin menunaikan kewajibannya terhadapku. Ingin rasanya aku tidak berpikir negatif, hanya saja itu terlalu sulit. Bagaimana tidak, sikap mereka menggiring opiniku untuk sesuatu yang negatif, terlebih lagi ini memang bukan kali pertama Rosalina meminta izin padaku agar Arga tidur di kamarnya, padahal Rosalina sendiri tau jika Arga memang tidak pernah mendatangi kamar ku. Sampai malam pun, aku tidak jua keluar dari dalam kamar, duduk di kursi meja kerjaku, memutar satu lagu kesukaanku, dengan alat sambung headset di kedua telingaku. Layar laptop menyala tepat di depanku dan jari jemariku sedang aktif mengetik barisan pesan di salah satu ruang chat pribadiku dengan seorang teman chat yang dua tahun ini aktif di salah satu situs jejaring sosial. "Aku sudah mengerjakannya, tapi aku akan revisi dulu, sebelum mengirimnya ke email mu, baru nanti kau minta sekretaris pribadimu untuk mengecek atau mengoreksi bagian yang salah atau kurang tepat untuk diperbaiki, karena bagaimanapun kita punya otak dan pemikiran yang berbeda." Send to Mr CEO. "Baiklah. Aku serahkan semua ini padamu. Aku percaya pekerjaanmu tidak pernah membuatku kecewa. Semua proposal yang kau buat selalu sukses menarik klienku untuk setuju bergabung dengan perusahaanku!" Satu pesan masuk sebagai balasan dari pesan aku sebelumnya, dalam diam aku tersenyum membaca balasan pesan itu karena setelah balasan pesan itu ada stiker mawar merah yang ikut terkirim di bawahnya. "Terima kasih!" Send to Mr CEO. "It's oke. Harusnya aku yang berterima kasih padamu. Kamu selalu memecahkan segala masalah di perusahaan ku. Aku semakin mengagumimu!" From Mr CEO. Aku kembali membaca balasan pesan itu dan senyumku kembali terbit. "Anda terlalu berlebihan, Mr. Aku tidak sehebat itu!" Send to Mr CEO . "Jadi katakan. Kapan kita bisa bertemu. Aku benar-benar tidak sabar menunggu hari itu. Aku ingin menjadi partner kerja Anda!" From Mr CEO. "Next time. Untuk saat ini aku benar-benar sedang tidak bisa. Aku sedang memperjuangkan rumah tanggaku yang tidak bisa di katakan biasa. Suamiku tidak mencintai ku, tapi juga tidak ingin menceraikan ku, dan aku benar-benar merasa tercekik." Send to Mr CEO. Aku sudah melakukan chatting dengan akun pemilik nama Mr CEO hampir dua tahun. Dia juga sudah tahu jika aku adalah wanita bersuami, laki-laki itu juga mengatakan jika dia juga sudah memiliki istri. Kehidupannya sedang sangat bahagia bahagianya bersama sang istri, karena dia terlalu beruntung menikahi orang yang sangat mencintainya juga sangat dia cintai, dan tentu hal itu justru berbanding terbalik dengan kehidupan aku yang justru tidak beruntung itu, karena meski menikah dengan orang yang aku cintai, nyatanya aku tidak bisa mendapatkan cinta yang sama dari orang itu sendiri. Kami sudah membahas masalah keluarga kami satu sama lain cukup lama, dan dia sudah cukup mengerti kondisi aku selama ini. Dia memberikan aku support untuk tetap sabar, percayalah karena support dari dia lah aku bisa sedikit lebih kuat. "Aku akan berdoa untukmu agar kau diberikan ke lapangan hati seluas samudra. Juga akan berdoa untuk laki-laki yang tidak pernah merasa beruntung sudah memiliki mu itu, agar yang kuasa membukakan mata hatinya untuk bisa melihat ketulusanmu." From Mr CEO. Aku kembali membaca dengan tersenyum barisan pesan yang baru saja Mr CEO kirim untukku dan untuk saat perasaan lega itu mendera hatiku, dan setelah aku benar-benar menyelesaikan proposal yang dia minta, aku kembali mengirim proposal itu pada email dia sebelum akhirnya menutup layar laptopku karena ternyata jam sudah menunjukkan angka sembilan malam, dan kami sudah bertukar kabar lebih dari dua jam. Aku menarik nafas dalam diam kemudian menghembuskannya dengan sangat pelan, menautkan kedua telapak tanganku sembari menariknya ke atas kepala setinggi-tingginya untuk membuat peregangan di pinggangku agar terasa lebih enteng karena ternyata aku sudah duduk lebih dari tiga jam tanpa bergerak , dan tetap fokus pada proposal yang aku kerjakan dua bulan ini. Proposal untuk perusahaan di luar tempat aku bekerja. Aku melakukan semua itu bukan tanpa imbalan. Mr CEO membayar itu sangat mahal untuk setiap proposal, dan setelah proposal itu dia setujui maka dia akan mentransfer dana ke salah satu rekening yang aku berikan. Bukan rekening atas namaku pribadi, tapi rekening sebuah yayasan yang Mama aku bangun empat tahun yang lalu, dan sekarang yayasan itu juga yang aku kelola selain bekerja di perusahaan STAR, meskipun sebenarnya aku juga memiliki saham yang sama di perusahaan tempat Arga menjadi CEO. Jika ditanya kenapa aku memutuskan untuk bekerja di perusahaan lain, bukan di perusahaan milik kami bersama, jawabannya iya tentu saja karena aku tidak ingin jika kami masih harus bekerja di tempat yang sama, karena tinggal di rumah yang sama saja Arga pernah mengatakan jika dirinya merasa tercekik ketika berdekatan dengan diriku, dan sepertinya keputusan Om Senopati, ayah mertuaku untuk menyembunyikan identitas pemegang saham selain Arga, adalah pilihan yang tepat karena ternyata aku sendiri pun tidak mau Arga tahu jika aku lah pemilik 50% saham di perusahaan itu, karena tidak menutup kemungkinan kebencian Arga akan semakin memuncak jika tahu Om Senopati menyerahkan 50% saham itu atas nama diriku, setelah beralih kepemilikan dari yang sebelumnya atas ibuku, ini menjadi atas namaku dan sampai detik ini Arga tidak tahu itu. Aku baru saja melepaskan headset di telinga ku, kemudian beranjak dari dudukku untuk keluar dari kamar itu. Menuruni anak tangga rumah dua lantai itu untuk segera sampai di dapur. Tentu saja tujuanku untuk makan malam, karena sejak aku pulang sore tadi, aku belum sama sekali mengisi perutku dan sekarang rasa lapar itu kian mendera. Namun sayang, bersamaan dengan aku yang hendak menuruni anak tangga rumah itu, Arga juga terlihat keluar dari dalam kamarnya dan untuk sesaat pandangan kami bertemu di udara. Aku menatapnya sejenak, tapi Arga langsung membuang muka. Lebih dulu menuruni anak tangga untuk segera sampai di dapur karena ternyata tujuan kami sama pergi ke dapur, hanya saja jika aku ke dapur untuk makan malam, Arga justru ke dapur untuk mengambil beberapa buah-buahan untuk dia bawa ke dalam kamar atas permintaan Rosalina. Aku pilih mengabaikannya. Pura-pura tidak melihat apa yang dia ingin lakukan di dapur. Mengambil piring di rak piring lalu menyendok nasi di rice cooker di sisi meja dapur untuk di angin-anginkan sebelum aku benar-benar menikmatinya. Aku mengeluarkan beberapa lauk di dalam lemari pendingin, kemudian memasukkannya ke dalam oven untuk menghangatkannya, karena asisten rumah tangga hanya akan datang di pagi hari, dan biasanya dia akan memasak menu makan malam untuk kami , menu makan malam yang tentu saja sudah aku minta untuk kami bertiga, dan setelah itu dia akan menyimpannya di lemari pendingin, agar saat kami menikmatinya, kami cukup menghangatkannya di oven saja karena asisten rumah tangga itu tidak ikut tinggal di rumah ini, dan lagi-lagi itu tentu saja atas keinginan Arga. "Aku melihatmu di fashion show sore tadi, jika kau ingin menghadiri acara itu, kenapa tidak menerima tawaran Rosalina ketika mengajakmu pagi tadi?!" Kalimat tanya itu lepas dari bibir Arga, hanya saja aku tidak yakin jika pertanyaan itu ditujukan padaku, jadi aku pilih diam saja, dan lagi , detik berikutnya Arga kembali melanjutkan kalimatnya. "Aku sedang berbicara denganmu Rengganis, apa sesulit itu menjawab pertanyaanku atau berdamai dengan Rosalina?!" ujar Arga lagi dan aku diam sejenak menyimak pertanyaannya, akan tetapi tidak sampai menoleh ke arahnya. Berdamai dengan Rosalina! Memang sejak kapan aku dan Rosalina bertengkar atau berselisih? Aku tidak pernah merasa demikian. Tidak sama sekali. "Aku hanya tidak nyaman jalan dengan kalian berdua. Aku tidak ingin momen terbaik kalian terganggu oleh keberadaan ku. Aku lebih senang kalian menikmati hari-hari kalian dengan penuh cinta, jadi jangan berlagak manis dengan menawariku ajakan yang sebenarnya tidak serius kalian inginkan!" Aku menjawab berdasarkan fakta, karena bukan tidak pernah aku mengabulkan keinginan Rosalina ketika mengajakku keluar bertiga dengan mereka, Arga dan Rosalina, tapi pada akhirnya aku akan dipermalukan. Entah itu karena kecerobohanku atau ketidakberuntunganku karena tidak bisa mendapatkan perhatian lebih dari Arga, dan iya, aku menolak ajakan Rosalina hanya karena ingin menjaga kewarasanku saja. "Jangan terlalu berlebih-lebihan, Rengganis. Niat Rosalina itu baik saat mengajak mu, tapi memang susah ngomong sama orang yang hatinya di penuhi kebencian dan kecemburuan! Lebih baik ngomong sama kerbau, setidaknya dia akan....!" Arga tidak melanjutkan kalimatnya karena suara oven dan aku buru-buru membuka oven itu , lalu memasang sarung tangan khusus untuk mengeluarkan lauk yang aku hangatkan tadi, kemudian berbalik untuk mengambil nasi yang sebelumnya sudah aku angin-anginkan, dan berlalu dari dapur itu. Masih tanpa menoleh ke arah Arga, karena aku tau , jika aku melihatnya, aku akan kembali tidak berdaya, dan sebisa mungkin aku memang menghindari bertemu pandang dengannya. "Ini lah alasan kenapa aku tidak punya perasaan lebih padamu Rengganis, karena kau wanita yang tidak tau cara menghormati orang lain yang sedang bersikap baik padamu!" ujar Arga seolah ingin memintaku untuk mengoreksi diriku sendiri dari yang namanya iri atau dengki. Aku mendongak , menarik nafas panjang sebelum akhirnya melepasnya dengan sangat lembut, karena ternyata aku memang sesakit itu. Harusnya Arga bercermin lebih dulu sebelum mengkritik sikap tidak bersahabat ku ini, tapi sepertinya Arga lupa dengan perjanjian yang dia buat sendiri saat kami baru resmi menikah, perjanjian jika kami hanya akan hidup dan tinggal bersama akan tetapi dia tegas memintaku tidak mengharapkan apalagi melibatkan perasaan lebih padanya, lalu apa yang terjadi saat ini? Apa Arga berubah pikiran? Atau ini hanya untuk mempertegas statusku bahwasanya aku bukan siapa-siapa untuknya, dan tidak akan pernah menjadi apa-apa. Aku pilih tidak lagi menyaut, karena bisa jadi jika aku kembali menyaut perdebatan kami akan bertambah panjang, atau mungkin akan merembet ke sana kemarin. Aku pilih kembali ke kamarku, dan menikmati makan malamku di kamar saja. Namun saat aku sampai di anak tangga teratas rumah itu, Rosalina justru keluar dari kamar itu dengan gaun senonoh yang bahkan nyaris tidak berguna untuk tubuhnya, karena meskipun dia menggunakan pakaian, aku masih bisa melihat setiap lekuk dan pahatan tubuhnya, bahkan aku bisa melihat kedua ujung dadanya dibalik gaun itu. Entah untuk apa Rosalina keluar dari kamarnya dengan pakaian seperti itu. "Nis. Kamu liat Mas Arga? Aku menyuruhnya mengambil buah-buahan di dapur tapi kenapa dia lama sekali?!" sapanya , tapi pandanganku tidak bisa beralih dari pakaian yang saat ini Rosalina gunakan dan mungkin Rosalina menyadari tatapanku itu. "Di dapur!" jawabku singkat. "Oh ya Anis. Bagaimana dengan gaun malamku? Apakah ini terlihat cantik?" Rosalina berputar untuk memamerkan gaun itu akan tetapi aku justru berpikir bahwasanya wanita itu sedang memamerkan tubuhnya di hadapanku, dan entah kenapa aku justru merasa jijik ketika membayangkan diriku yang berpakaian seperti itu. "Cantik!" Singkat, padat dan jelas. Setelah menjawab aku langsung bergegas masuk ke kamar. Saat aku masuk ke dalam kamar, aku melihat ponselku menyala diikuti dering lembut. Aku melepas nampan yang sebelumnya aku bawa tepat di atas tempat tidurnya, kemudian meraih ponselku untuk segera menggeser layarnya untuk menerima panggilan yang baru saja masuk di ponselku. Panggilan dari ibuku. "Anis. Jika besok kau tidak terlalu sibuk, ajak Arga mampir di rumah. Mama mau buat syukur untuk Papa mu. Tolong datang ya Sayang!" Sapa ibuku di seberang telpon dan aku hanya asal mengangguk, meskipun aku sebenarnya tidak tahu bagaimana cara meminta Arga untuk ikut menemaniku ke rumah ibuku besok, akan tetapi aku tetap mengiyakan permintaan ibuku. Setelah menyelesaikan panggilan ibu, aku kembali meletakkan ponsel kemudian mengambil alih nampan yang sebelumnya aku bawa yang isinya makan malamku, kemudian bersiap untuk menikmati, dan baru dua kali aku menyendok nasi itu, aku ingat jika aku melupakan minuman yang sudah aku buat tadi di dapur. Aku kembali bangkit dari dudukku kemudian buru-buru keluar dari kamarku untuk segera sampai di dapur, akan tetapi langkahku baru sampai di pertengahan anak tangga rumah itu saat tiba-tiba aku justru mendengar desahan penuh kenikmatan dari arah tangga itu. Aku terdiam untuk memahami suara itu, dan detik berikutnya pandanganku justru tertuju ke arah ruang tengah di mana di sana ada Arga dan Rosalina yang sedang memadu kasih di atas sofa. Terlihat Arga sedang duduk bersandar, dan Rosalina duduk seraya mengangkangi pangkal paha Arga dengan bibir yang saling bertautan satu sama lain. Jantungku kembali berdebar kencang. Meski ini bukan kali pertama aku melihat dan mendengar aksi bercinta mereka, tapi ternyata tetap saja ada rasa sakit yang tidak bisa aku hindari setiap kali melihat langsung apa yang mereka lakukan. Aku terdiam dari langkahku, akan tetapi pandanganku masih tertuju ke arah mereka dan untuk sesaat entah mengapa aku justru merasa Rosalina melirik ke arahku sejenak, sebelum akhirnya dia semakin memperdalam aksi ciumannya , dan detik berikutnya dia justru menurunkan tali gaun di bahunya hingga membuat separuh tubuhnya benar-benar terekspos sempurna. Aku tidak tahu apakah Rosalina sengaja melakukan itu untuk membuatku sakit hati, dan jika iya, itu artinya dia benar-benar berhasil. "Oh... Aku benar-benar tidak tahan Sayang. Ayo ke kamar!" rancau Arga tapi Rosalina justru menggeleng. "Aku mau Mas melakukannya di sini. Di sofa ini, toh tidak ada yang akan melihat kita!" balas Rosalina yang semakin memeluk leher Arga. "Tapi...." Arga. "Huust. Aku sedang b*******h dan aku ingin kita di sini!" Potong Rosalina dan untuk sesaat aku benar-benar melihat Rosalina melirik dengan ekor matanya ke arah ku. Aku menahan degup jantung ku. Harusnya aku bisa bersikap biasa-biasa saja , seperti aku tidak terluka dengan semua itu, akan tetapi dalam satu situasi aku benar-benar tidak bisa menyembunyikan rasa sakit di hati ini . Rasa sakit karena merasa buruk yang teramat memenuhi pikiranku, karena lagi-lagi aku harus dihadapkan dengan kenyataan bahwa bukan aku orang yang Arga inginkan untuk berbagi kasih, seperti yang sudah Om Senopati tuturkan padaku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN