Hari beranjak siang, jam sudah menunjukkan angka sebelas dan tadi Mala menghubungi ku , katanya dia sudah menungguku di tempat kami janjian, begitu juga dengan dua sahabatku yang lain.
Iya, selain untuk menghindari rasa sakit yang bisa saja ditimbulkan ketika melihat sikap Arga dan Rosalina yang terlalu mencolok di hadapanku, aku memang sudah terlanjur membuat janji dengan ketiga sahabatku itu, sahabat yang sudah lebih dari sepuluh tahun kami bina, dari sejak kami masih berseragam abu-abu hingga kami menyelesaikan kuliah masing-masing di universitas yang berbeda, kami masih aktif berkomunikasi meski hanya melalui jejaring sosial dan biasanya di akhir tahun kami memang akan mengusahakan untuk berkumpul.
Sebenarnya aku dan Rosalina itu teman satu sekolah. Hanya teman satu sekolah, akan tetapi aku tidak pernah sekelas sama dia, kami juga tidak pernah terlalu akrab, meskipun saat itu hubungan aku dan Arga masih terpantau baik-baik saja. Arga masih bersikap manis layaknya seorang kakak laki-laki terhadapku setiap kali kami bertemu, meski begitu hal itu juga tidak cukup membuat aku dan Rosalina akrab.
Bukan aku tidak pernah mencoba mengakrabkan diri dengan Rosalina , hanya saja Rosalina selalu terlihat menjaga jarak denganku, dan rasanya memang agak aneh saat tiba-tiba Rosalina bersikap ramah dan lembut terhadapku saat kami justru sedang terjebak dalam satu pernikahan yang menurutku sangat tidak masuk akal.
Poligami. Poligami yang bahkan tidak menguntungkan untuk diriku sendiri, karena jelas di sini akulah istri yang tidak diinginkan itu.
Ah..., apakah aku merasa iri atas keberuntungan Rosalina hanya karena dia yang dicintai dengan begitu hebat oleh seorang Arga Kelana? Iya, aku tidak ingin munafik. Aku memang iri, hanya saja aku tidak ingin memaksakan perasaan ini hanya agar Arga mau membalasnya. Tidak, aku tidak bisa, karena aku terikat perjanjian untuk tidak melibatkan hati dalam pernikahan kami.
Tidak melibatkan hati! Bagaimana dua orang yang sudah terikat dengan pernikahan terlebih lagi dua orang itu sudah cukup lama saling mengenal tiba-tiba tinggal di satu atap yang sama dan dipaksa untuk tidak melibatkan perasaannya? Aku rasa itu sangat mustahil, tapi mau bagaimana lagi, aku sudah terlanjur setuju, dan aku tidak ingin di tuding ingkar hanya karena perasaan cinta yang aku rasakan secara sepihak ini.
Saat aku keluar dari rumah, aku tidak melihat ada mobil Arga di garasi, dan aku yakin mereka sudah dari tadi meninggalkan rumah. Aku pilih mengabaikannya, lalu buru-buru masuk ke dalam mobilku sendiri untuk segara menuju lokasi yang sudah kami aku dan para sahabatku sepakati.
Hanya butuh lima belas menit, aku sampai di salah satu restoran bintang lima itu, dan lekas mencari ruangan yang sudah Mala pesan, dan iya, ketiga sahabatku itu sudah langsung histeris saat aku membuka pintu ruangan itu.
"Anisss....!"
Salam cupika cipiki tentu saja terjadi dan kehebohan pun benar-benar tidak bisa dihindari. Kami tidak selalu bisa bertemu setiap waktu, akan tetapi tahun ini pertemuan kami justru terkesan sangat aneh. Bagaimana tidak, Mala datang dengan perut besarnya, begitu juga dengan Dina. Kedua wanita itu tampak sangat cantik dengan perut besarnya dan sepertinya keduanya akan melahirkan di bulan yang sama, lalu Dewi, dia juga ternyata sedang hamil muda, setelah lebih dari dua tahun menikah.
Oh... Kabar yang benar-benar sangat membahagiakan, bukan. Kami sudah bersahabat sangat lama dan sekarang kami juga akan serempak memiliki anak di tahun yang sama. Bukan, bukan kami, tapi mereka. Ketiga sahabatku, sementara aku! Tentu saja aku tidak seberuntung mereka, meskipun aku menikah dengan laki-laki yang sangat aku cintai, hanya saja sangat disayangkan jika perasaan itu hanya sebatas cinta sendiri.
"Bagaimana dengan kamu, Anis. Bukankah kau dan kak Arga sudah menikah cukup lama? Apa tanda-tanda kehamilan belum terlihat?!" Tanya Mala setelah cukup lama mengobrol, tapi aku hanya membalas dengan senyum saja.
Sebenarnya ini bukan kali pertama pertanyaan sejenis itu terlontar dari kerabat terdekatku, dan jujur ini yang membuat aku malas berinteraksi atau bertemu dengan mereka karena mereka akan terus bertanya hal serupa dan aku mulai jenuh mendengar pertanyaan seperti itu, akan tetapi saat ini tentu saja aku tidak bisa menunjukkan ekspresi tidak nyaman dengan pertanyaan itu mengingat ketiga sahabatku itu memang tahu jika aku sudah lama menyukai Arga, laki-laki yang sempat menjadi kakak kelas kami di SMA dulu.
"Ah, aku belum seberuntung kalian!" Aku menjawab ringan seraya menyendok makanan di depanku.
"Bagiamana bisa. Apa kalian sudah berkonsultasi?!" seru Dina tidak percaya jika aku masih belum hamil, padahal aku lebih dulu menikah dari mereka.
"Bisa lah. Yang kuasa belum ngasih izin untuk kami memiliki keturunan, atau mungkin yang kuasa masih punya rencana lain untuk kami. Mungkin dia ingin aku lebih lama menikmati momen-momen berdua dengan Mas Arga, jadi ya gitu deh!" Aku berusaha terlihat ceria meskipun sebenarnya ada rasa sakit yang tiba-tiba mendera hatiku saat mengingat bagaimana kondisi hubungan aku dan Arga saat ini.
"Ah..., kau benar. Mungkin dia tau jika kau masih terlalu mendamba kak Arga, jadi ngasi waktu kalian pacaran dalam pernikahan dulu sebelum menghadirkan anak di antara kalian!" timpal Dewi. "Ingat , aku juga lebih dari dua tahun menikah, dan baru di beri kesempatan hamil menjelang tahun ketiga, sementara Anis, baru setahun setengah. Masih di fase manis-manisnya ini!"
"Benar. Tapi kau tetap akan menjadi Mommy untuk anakku nanti. Dia akan memanggilku Mommy, dan aku tidak akan mengizinkan dia memanggilmu Tante!" bales Dina setelah itu dan Mala ikut mengangguk.
"Kau benar Din. Dia tidak boleh jadi Tante, pokonya jika anak-anak kita lahir, mereka juga akan menganggap kita berempat ini adalah Mamanya. Karena kita adalah..."
"Calon mama-mama kece......!" Seru Dina, Mala dan Dewi, dan mau tidak mau aku, Rengganis hanya bisa tersenyum untuk menanggapi pernyataan para sahabatku.
Pertemuan itu berlangsung cukup lama, tidak hanya menikmati makanan yang ditawarkan oleh pihak restoran, kami juga menikmati sesi karaoke dan iya, untuk sejenak aku benar-benar melupakan dilema hati yang sedang mendera pikiranku, tanpa disadari ternyata jam sudah menunjukkan angka empat sore.
Mala lebih dulu mengatakan akan kembali , karena suaminya sudah datang menjemputnya, begitu juga dengan Dina.
Sahabat ku yang satu ini menikah dengan duda berumur dan sudah memiliki anak dua, tapi dia masih cukup tampan, dan nilai plusnya, dia laki-laki tajir, dan kini hanya aku dan Dewi di ruangan itu.
Aku masih terlihat enggan meninggalkan tempat itu, dan Dewi tentu saja masih ingin bersamaku mengingat jemputannya memang belum datang.
Dewi melirik jam di pergelangan lengan kanannya, dan tiba-tiba dia bangkit dari duduknya seraya menarik lenganku untuk ikut bangkit, dan aku buru-buru meraih tas ku untuk mengimbangi langkahnya.
"Kau lagi gak buru-buru pulang kan!" serunya dan aku hanya mengedikkan bahu.
"Why?"
"Ikut aku. Kita perlu bersenang-senang. Dulu. Aku tahu kau menikahi laki-laki yang sangat kaya, dan rasanya sayang jika kita tidak memanfaatkan uang suami kita untuk kesenangan pribadi kita!" Dewi berseru dengan sangat ceria tapi aku justru mengerutkan alisku tidak mengerti ke mana arah pembicaraan Dewi.
"Apa sih?"
"Ikut aja. Nanti juga kamu tahu, tapi yang pasti ini benar-benar sangat menyenangkan!" ujar Dewi. "Mana kunci mobilmu, biar aku yang mengemudi!" Dewi menengadahkan tangannya untuk meminta kunci mobilku dan aku buru-buru menyerahkannya, karena sebenarnya aku juga sedang malas untuk mengemudi.
Aku lekas masuk ke kursi penumpang sebelah kemudi dan iya Dewi benar-benar mengambil alih mobil itu menuju pusat perbelanjaan terbesar di kota.
Aku hanya asal mengikuti saja , dan setelahnya dia masuk ke aula khusus tempat itu, dimana di sana sedang di adakan peragaan busana secara tertutup, dan iya Dewi mendapatkan undangan dari desainernya langsung, dan dia baru ingat saat Mala dan Dina sudah beranjak pulang.
Kami duduk di kursi meja kedua di barisan paling depan , dan sialnya, aku justru melihat keberadaan Arga tidak jauh dari tempat aku duduk, dan iya, untuk sesaat pandangan kami bertemu di udara, akan tetapi Rosalina tidak melihat keberadaan aku di sana.