Kekalahan

1220 Kata
"Iya, proyek itu diberikan pada perusahaan Arga.” Aku menatap layar di depanku dengan pandangan kosong. Kata-kata itu terasa seperti palu godam yang menghantam dadaku, menghancurkan sisa-sisa kepercayaan diri yang telah kubangun dengan susah payah. Proposal yang kubuat dengan sepenuh hati, dengan segala upaya, dikalahkan lagi. Dan oleh siapa? Oleh Arga. Tentu saja, oleh Arga. Aku sama sekali tidak mendengar jenis proyek apa yang harga tawarkan pada MR king, juga tidak melihat bagaimana mereka mempresentasikan proposal mereka hingga kami berakhir kalah. Keputusan dan finish yang sama sekali tidak ingin aku dengar, sama sekali tidak aku harapkan. "Selamat, Mas Arga. Kamu memang selalu unggul," kataku dengan suara datar. Aku tidak tahu dari mana keberanian itu muncul, tapi aku tidak bisa membiarkan diriku terlihat lemah di depan semua orang di ruang meeting ini, apalagi di depan Arga, selama ini hubungan aku dan Arga masih terpantau tidak baik-baik saja. Dia mengangkat wajahnya dari dokumen, menatapku sejenak dengan pandangan dingin. Mengabaikan uluran tanganku di depannya. "Aku tidak butuh selamat darimu, Rengganis." Tatapannya menusuk, tapi aku tidak bergeming. Aku hanya tersenyum tipis, senyuman yang kupaksakan meski dadaku terasa seperti sedang dibakar, ucapannya sangat menusuk seakan aku hanyalah sampah di matanya. "Oh, tentu. Aku hanya mencoba bersikap profesional," jawabku, lalu segera mengumpulkan dokumenku sebelum dia sempat merespons. Aku tidak ingin berada di ruangan itu lebih lama. Napasku terasa berat. Berada di dekat Arga selalu seperti ini. Seperti berdiri di atas pecahan kaca. Seperti berdiri si atas bara api panas yang membuat sekujur tubuhku terbakar habis. Entah ke mana perasaan hangat juga bersahaja yang dulu sempat terjalin diantara kami. Semua berubah begitu saja tanpa aku sempat pahami. Aku berjalan cepat menuju ruang kerjaku, mencoba mengabaikan tatapan kasihan dari beberapa rekan kerja yang berseliweran di koridor kantor. Gosip jika kami, perusahaan tempat aku bekerja gagal mendapatkan tender itu, dan orang yang memenangkan tender itu justru Arga, dan sialnya, di perusahaan tempat aku bekerja tahu jika Arga Kelana ada suamiku. Mereka mencemooh diriku, sekolah aku sengaja melakukan itu agar perusahaan Arga lah yang menang, tanpa mereka ketahui sebenarnya seperti apa hubungan aku dan Arga, dan yang paling parah, mereka juga tahu jika Arga memiliki istri lain selain diriku yang jauh lebih unggul dariku. Unggul dalam urusan hati , pastinya. Mereka mungkin berpikir aku pecundang, atau mungkin mereka hanya mengasihani nasibku, istri pertama yang kalah dari istri kedua. Tidak hanya kalah, tapi juga tidak dihargai dan tidak dianggap. Memandangku bagaikan aku ini sampah tidak berarti. Begitu sampai di ruang kerja, aku menghempaskan tubuhku ke kursi. Tanganku gemetar saat mencoba membuka laptop. Namun aku tidak bisa fokus. Kata-kata Arga tadi terus terngiang di kepalaku. "Aku tidak butuh selamat darimu." Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Aku tidak boleh lemah. Aku sudah terlalu sering merasakan ini, dan aku tahu air mata tidak akan mengubah apa pun. Akan tetapi tetap saja, sakitnya tidak pernah berkurang. Ponselku bergetar di atas meja. Nama yang muncul di layar membuat dadaku semakin sesak: Rosalina. Aku tahu apa yang akan dia katakan. Rosalina tidak pernah meneleponku tanpa alasan. Dia selalu punya tujuan, dan tujuan itu hampir selalu melibatkan dan menyakiti perasaanku. Dengan berat hati, aku mengangkat telepon itu. "Halo." "Halo, Anis," suaranya terdengar lembut, tapi aku tahu betul itu hanya kedok. "Aku dengar proposalmu kalah?" Aku menutup mata, mencoba menahan diri agar tidak meledak. "Apa yang kau inginkan?" tanyaku, berusaha menjaga nada suaraku tetap tenang. "Ah, aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja." Dia tertawa kecil, tawa yang terasa seperti belati. "Kau tahu, sebagai istri kedua Mas Arga, aku merasa sedikit bersalah karena suamiku mengalahkanmu." Rasanya seperti ada batu besar yang menghantam dadaku. Tapi aku menolak memberinya kepuasan untuk melihatku terluka. "Kalau kau tidak punya hal penting untuk dikatakan, aku sedang sibuk, Rosa," jawabku dingin. "Oh, tentu saja. Maaf mengganggumu, tapi kau tahu, aku hanya ingin mengingatkan... kau tidak akan pernah bisa menang melawan kami." Klik. Sambungan telepon terputus. Aku menatap layar ponselku, tangan gemetar karena menahan emosi. Rosalina benar-benar tahu bagaimana cara membuatku merasa kecil, tapi aku tidak akan membiarkannya menang. Tidak kali ini. Malam itu, aku pulang lebih awal dari biasanya. Aku tidak bisa lagi berada di kantor setelah semua ini. Rasanya setiap orang yang kutemui menatapku seolah-olah aku adalah pecundang. Saat aku masuk ke rumah, aku mendapati Arga sedang duduk di ruang tamu. Ia tampak tenggelam dalam layar laptopnya, wajahnya serius seperti biasa. Aku berusaha melewatinya tanpa berkata apa-apa, tapi Roslina menghentikan ku dengan suaranya yang terdengar bersahabat, karena ada Arga di samping nya. "Kau pulang cepat." Aku berhenti, tapi tidak berbalik. "Apa itu masalah?" tanyaku tanpa emosi. Arga mendongak, menatapku dengan alis terangkat. "Rosalina hanya bertanya. Ada masalah?" Aku menggelengkan kepala. "Tidak." Dia mendengus kecil, lalu kembali fokus pada pekerjaannya, tapi senyum Rosalina terlihat begitu puas saat Arga menegurku dengan intonasi suara yang sangat tegas dan selalu berpihak padanya. Aku tahu ia tidak benar-benar peduli. Pertanyaannya hanya bentuk basa-basi, bukan perhatian, akan tetapi hanya untuk mencari simpati Arga. Aku melangkah ke kamar tanpa berkata apa-apa lagi. Begitu pintu tertutup, aku membiarkan diriku jatuh ke lantai. Air mataku mengalir tanpa bisa ditahan lagi. Aku benci diriku sendiri karena masih mencintainya. Aku benci bahwa aku masih berharap dia akan berubah, meskipun aku tahu itu tidak akan pernah terjadi. Aku terbangun di tengah malam karena suara gaduh dari kamar sebelah. Suara Rosalina. "Aku tidak peduli, Arga! Aku tidak mau dia ada di sini lagi!" Aku menahan napas, telingaku menangkap setiap kata yang keluar dari mulutnya. "Kau tahu aku tidak bisa melakukan itu, Rosa," balas Arga dengan nada frustrasi. "Kenapa tidak? Kau selalu memihaknya!" Aku memejamkan mata, menahan rasa sakit yang kembali menyerangku. Aku sudah terbiasa dengan ini, tapi tetap saja, setiap kali aku mendengar mereka bertengkar karena aku, rasanya seperti luka lama yang kembali terbuka. Aku ingin sekali masuk ke kamar mereka dan mengatakan bahwa aku akan pergi. Bahwa mereka tidak perlu berdebat lagi karena aku tidak akan menjadi penghalang bagi mereka. Namun aku tahu, jika aku melakukannya, itu berarti aku menyerah, dan aku tidak akan pernah melakukan itu. Pagi harinya, aku menemukan Rosalina sedang menunggu di ruang makan. Dia menatapku dengan senyum yang terlalu manis untuk menjadi tulus. "Selamat pagi, Anis," sapanya ceria. Namun aku tahu itu hanya ekspresi mengejek Untu kekalahanku kemarin. Meski begitu aku tetap terlihat tenang. Aku hanya mengangguk, tidak ingin terlibat dalam percakapan apa pun dengannya. "Mas Arga bilang kau kalah dalam presentasi kemarin," lanjutnya, seolah-olah aku membutuhkan pengingat tentang kegagalanku. Aku menatapnya, mencoba menahan emosi. "Apa kau selalu bangun pagi hanya untuk mengingatkanku tentang hal-hal seperti itu?" tanyaku, nada suaraku lebih tajam dari biasanya. Rosalina tampak terkejut, tapi hanya sesaat. "Oh, aku hanya ingin memastikan kau tahu posisimu. Kau tahu, sebagai istri pertama, kau tidak seharusnya kalah dariku. Tapi, yah, aku rasa itu sudah takdir, bukan? Tapi tidak apa-apa, aku tetap tidak keberatan untuk melayani suami kita!" ujarnya yang nyaris membuatku ingin muntah. Aku mengepalkan tangan di bawah meja, berusaha menenangkan diriku. Aku tahu dia hanya ingin memancing emosiku, dan aku tidak akan memberinya kepuasan itu. "Terima kasih atas masukannya," jawabku datar. "Aku akan mengingatnya." Rosalina tersenyum puas, lalu beranjak pergi. Namun aku tahu ini belum selesai. Rosalina tidak pernah berhenti sampai dia mendapatkan apa yang dia inginkan, dan aku tahu, apa yang dia inginkan adalah membuatku pergi dari kehidupan Arga. Tapi aku tidak akan pergi. Aku tidak akan kalah darinya, setidaknya sampai Arga sendiri yang memintaku untuk pergi darinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN