Bukan Balas Dendam

1914 Kata
"Ini apa lagi, Anis?!" suara Arga terdengar tajam, menusuk keheningan pagi yang biasanya hanya diisi dengan bunyi dentingan sendok dan garpu di meja makan. Aku yang baru berniat menyelesaikan makan ku seketika menikah ke arah sumber suara. Menatap apa yang ada di tanggan Arga. Kupandangi wajahnya yang penuh amarah sambil menggenggam sebuah potongan baju bernoda merah. Itu bajunya, kemeja putih favoritnya. Hatiku berdegup kencang, tapi aku tetap berusaha tenang. "Ada apa, Mas?!" tanyaku, meski aku sudah tahu jawabannya. "Jangan pura-pura tidak tahu!" suaranya semakin naik. "Kemeja ini baru saja keluar dari lemari, dan sekarang sudah penuh noda. Kamu sengaja, ya?!" Aku mengerutkan alis, bingung. "Mas, aku bahkan tidak menyentuh kemeja itu." "Jangan berdalih, Anis. Oh atau kamu mau mengatakan jika Rosalina yang mengotori pakaian aku ini! Atau kamu memang sengaja membuat masalah di hari sepagi ini agar aku kesal. Begitu kah?" Belum aku sempat menjawab, Rosalina bangkit dari duduknya, dan mengambil alih kemeja di tangan Arga, seperti biasa, dia siap untuk menjadi penyelamat dan mencoba menenangkan kemarahan Arga. Wajahnya terlihat polos, tapi senyumnya yang menyudutkan itu sudah menjadi tanda peringatan bagiku. "Mas Arga, sabar dulu," katanya sambil meraih kemeja yang saat ini sedang Arga komplit pada ku. "Mungkin Anis tidak sengaja. Dia kan sibuk sekali belakangan ini." Nada suaranya terdengar lembut, tapi aku tahu itu hanya kedok. Rosalina selalu punya cara untuk memancing kesalahpahaman di antara aku dan Arga tanpa harus mengotori tangannya sendiri. Aku menarik napas panjang, mencoba untuk tidak terpancing. "Mas, aku benar-benar tidak tahu apa-apa soal itu. Kalau Mas mau, aku bisa ke laundry untuk mencari tahu apa yang terjadi." Aku berusaha mengelak karena memang aku tidak melakukan tuduhan yang tadi Arga tuduhkan padaku. Aku memang orang yang bertanggung jawab untuk urusan pakaian juga dan kebersihan ruang kerja Arga, sementara Rosalina mengambil alih urusan makan. Hanya sebatas sarapan saja, karena untuk makan siang , kami memang sama melakukan itu di luar rumah, mengingat kami memang sama-sama bekerja, sementara untuk makan malam kami nyaris tidak pernah melewatinya di dalam rumah ini. Lebih tepatnya lagi aku yang tidak pernah ikut makan malam bersama mereka karena aku hanya ingin menjaga hati untuk tidak tersulut emosi dan kemarahan setiap kali harus melihat kemesraan mereka berdua. Arga menatapku tajam, lalu melemparkan kemeja itu ke atas meja. "Tidak perlu. Kalau memang kamu tidak sengaja, lain kali lebih hati-hati lagi. Aku tidak mau ada kejadian seperti ini lagi. Apalagi saat ini aku benar-benar terburu-buru untuk menghadiri meeting penting di perusahaan." Aku hanya mengangguk kecil, menahan rasa sakit yang mulai menggerogoti hati ini. Setelah Arga pergi bekerja, aku kembali ke kamar dengan napas yang berat. Rosalina tidak mengikutinya, seperti biasa. Itu artinya, dia akan tetap di rumah, mengawasi setiap gerak-gerikku. Ketika aku membuka pintu kamar, aku menemukan sesuatu yang membuatku semakin yakin bahwa semua ini bukan kebetulan. Laci tempat aku biasa menyimpan dokumen penting terbuka sedikit, dan beberapa dokumenku berserakan di atas meja. Di antara kertas-kertas itu, aku melihat surat perjanjian pernikahanku dengan Arga. Aku memungutnya dan menatapnya lama. Surat yang menjadi pengingat bahwa hubungan ini tidak pernah berdasarkan cinta, hanya sebuah kontrak untuk memenuhi ambisi dan keinginan keluarga. "Ah, kamu di sini," suara Rosalina mengejutkanku. Aku mendongak dan melihatnya bersandar di pintu dengan senyum miring di wajahnya. "Apa kamu butuh sesuatu?" tanyaku, mencoba menjaga nada suaraku tetap netral. Dia masuk ke dalam kamar tanpa diundang, berjalan mendekat ke arahku seperti seorang kucing yang sedang mengintai mangsa. "Aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja. Tadi pagi, Mas Arga terlihat sangat marah." "Aku baik-baik saja," jawabku singkat. Rosalina tertawa kecil, lalu duduk di kursi dekat meja rias. "Kamu tahu Anis, aku selalu kagum dengan kesabaranmu. Kalau aku ada di posisimu, aku pasti sudah menyerah sejak lama." Aku menatapnya tanpa berkata apa-apa. Kata-katanya selalu memiliki dua sisi—manis di permukaan, tapi penuh racun di baliknya. "Tapi aku hanya ingin mengingatkan kamu," lanjutnya sambil memeriksa kuku jarinya. "Mas Arga itu bukan tipe pria yang suka dengan wanita yang lemah. Kalau kamu terus diam seperti ini, jangan salahkan dia kalau akhirnya dia semakin jauh darimu. Oooh ya, aku lupa. Ini adalah poin pentingnya Anis. Mas Arga itu tipe laki-laki setia. Dia tidak akan mudah berpaling pada siapapun, termasuk kamu. Karena kalo iya, mungkin dia sudah dari dulu tertarik padamu, mengingat dulu kalian cukup dekat, bukan?!" ujar Rosalina lagi. Aku mengepalkan tangan di bawah meja, berusaha keras untuk tidak menunjukkan emosi. "Terima kasih atas nasihatmu," kataku akhirnya. "Tapi aku tahu bagaimana cara menjaga suamiku, juga suamimu, dan aku harap kau juga begitu!" Aku berucap dengan nada sarkasme. Sambil tersenyum miring. Rosalina tertawa lagi, kali ini lebih keras. "Oh, syukurlah kalo kamu sudah tahu itu. Karena itu artinya aku tidak perlu menjelaskan bagaimana seharusnya posisi kamu diantara kami!" katanya sebelum berdiri dan berjalan keluar dari kamar. "Tapi kamu harus ingat ini Anis, dalam setiap permainan, hanya akan ada satu pemenang. Sepenuhnya lozer!" ucapnya dengan segala keyakinan dan sisi angkuhnya, dan aku hanya menghela nafas. Aku menatap pintu yang kembali tertutup di belakangnya, kembali menghela napas panjang lalu melepasnya dengan sangat kasar dan penuh rasa sesak. Permainan apa yang sedang dia mainkan? Aku tidak tahu pasti, tapi satu hal yang jelas—aku harus lebih berhati-hati. Di tengah tekanan yang semakin berat, satu-satunya tempat di mana aku merasa bisa bernapas lega adalah melakukan percakapan dengan Mr. CEO. Dia adalah satu-satunya orang yang mendengarkan tanpa menghakimi, meskipun aku tidak tahu siapa dia sebenarnya. Setelah Rosalina keluar dari kamarku , aku lekas membuka laptop di atas meja kerjaku. Hari ini aku memang akan ke kantor agak siang. Aku sudah lebih dulu minta izin pada bos di tempatku bekerja, dan dia memakluminya. Lagipula selama ini aku tidak pernah tidak kompeten, jadi karena pagi ini dia tidak ada jadwal yang begitu berarti, dia akhirnya memberikan aku izin datang terlambat. "Hari ini terasa sangat berat. Rasanya aku benar-benar tidak punya tenaga untuk sekedar beranjak dari kamar!" Send to Mr CEO. Aku menatap layar laptopku, menunggu perubahan centang di barisan pesan terakhirku. Terlihat jika akun itu sedang online, akan tetapi tidak ada tanda-tanda jika pesanku akan mendapatkan balasan. Aku meninggalkannya sebentar, bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan wajah, sebelum aku mengaplikasikan beberapa krim kecantikan yang biasa aku pakai, dan saat aku kembali menatap layar laptop itu, ternyata pesanku sebelumnya sudah mendapatkan balasan. "Ada apa? Apa ada rasa gundah yang ingin kau bagi denganku. Katakan saja!" From Mr CEO. "Apa kau sibuk?" Send to Mr CEO. "No...!" From Mr CEO. "Ooh syukurlah. Aku mulai merasa seperti orang asing di rumahku sendiri. Ada seseorang yang terus mencoba membuatku pergi." Send to Mr CEO. "Seseorang? Maksudmu suamimu?" From Mr CEO . "Bukan dia... tapi seseorang yang lebih pintar dan lebih licik seorang antagonis sinetron. Aku rasa dia ingin aku menyerah!" From Mr CEO. Rengganis memang sudah terbiasa melakukan chat seperti itu dengan Mr CEO. Dan orang yang Rengganis pikir bergenre laki-laki itu pasti mengerti apa yang tengah dia rasakan saat ini, mengingat beberapa kali Rengganis memang sempat menceritakan kehidupan rumah tangganya yang tidak wajar, meskipun sampai detik ini orang itu masih belum tahu jika sebenarnya Rengganis adalah korban poligami tidak sehat. "Tapi aku yakin kamu tidak akan menyerah, kan?" From Mr CEO . "Entahlah. Aku tidak tahu. Kadang rasanya memang terlalu berat. Tapi jujur aku tidak ingin membuatnya merasa menang atas diriku!" Send to Mr CEO . "Dengarkan aku Bulan Putih . Apa pun yang terjadi, kamu harus ingat bahwa kamu lebih kuat dari yang kamu kira. Jangan biarkan siapa pun membuatmu merasa tidak berharga. Aku tidak akan menyarankan untukmu balas dendam, karena itu memang tidak dianjurkan, hanya saja alangkah lebih bijaknya jika kamu tidak perlu menunggu karma untuk membantunya memberinya pelajaran!" From Mr CEO . Aku membaca barisan pesan terakhir yang baru saja Mr CEO kirim untukku, dan entah kenapa aku merasa sedikit punya tenaga dan semangat hanya karena dukungan darinya. Andai Arga bisa sedikit saja mentolerir perasaanku, mungkin aku tidak akan merasa seburuk ini di hadapannya. Aku tersenyum kecil membaca pesannya. Entah bagaimana, kata-katanya selalu berhasil membuatku merasa sedikit lebih baik. Selalu seperti itu. "Terima kasih. Aku tidak tahu apa jadinya kalau aku tidak punya teman sebijak kamu untuk diajak bicara. Mungkin aku sudah stress dari kemarin-kemarin!" Send to Mr CEO. Aku juga menyematkan emoji tersenyum penuh cinta di barisan pesan terakhirku tadi. Bukan karena aku merasa hal demikian terhadap orang itu, melainkan aku merasa mendapat dukungan dari orang lain, yang mana seharusnya dukungan itu berasal dari orang-orang terdekatku, terutama Arga selaku suami sahku. "Aku juga merasa beruntung bisa mengenalmu, Bulan Putih. Jangan pernah ragu untuk berbagi apa pun denganku." From Mr CEO. Aku mengetik balasan, tapi sebelum sempat mengirimkannya, aku mendengar suara pintu terbuka. Cepat-cepat aku menutup laptopku dan menoleh ke arah pintu. Rosalina berdiri di sana, wajahnya terlihat penuh dengan tanya. "Belum berangkat juga kau Anis?" tanyanya. Aku menggeleng. "Aku sedang menyelesaikan beberapa pekerjaan. Kamu kalo mau berangkat, silahkan saja. Bukankah kita sama-sama pegang kunci rumah!" "Baiklah. Lagian tadi Mas Arga minta di bawain sarapannya sama aku. Kau tau Anis, itu adalah kelebihan terbaik sekantor dengan suami. Jadi...!" "Aku tau. Itu adalah bagian dari keberuntungan kamu, Rose. Sementara aku hanya kebagian untung , karena di akui sebagai menantu oleh Mama dan Papa nya Arga, sementara kamu...!" Aku tidak melanjutkan kalimat ku karena aku yakin jika Rosalina pasti tahu apa kalimat selanjutnya, dan dari arah dia berdiri aku bisa melihat ekspresi kesal hanya karena aku membahas bahwasanya pernikahan aku dan Arga di akui oleh keluarga Arga, kebenaran dia masih dalam status istri yang disembunyikan. Aku hanya melihat ekspresi kesalnya beberapa saat, dan menit berikutnya dia justru menunjukkan senyum meremehkan. "Apa gunanya diakui sebagai menantu oleh kedua orang tua Mas Arga, toh yang menjalani kehidupan rumah tangga itu Arga sendiri. Lagian...!" "Kalo begitu, kenapa kamu tidak bisa mendesak Mas Arga untuk mengungkap pernikahan kalian pada kedua orang tuanya. Bukankah kau berkali-kali mengatakan jika Mas Arga hanya bisa mencintaimu seorang, tapi sejauh yang aku lihat sampai saat ini Arga masih menolak untuk mengakui pernikahanmu di hadapan kedua orang tuanya, juga menolak untuk berpisah dengan ku!" sarkas ku yang mulai tersulut emosi. "Itu akan segera terjadi, dan aku harap saat itu kau tidak akan menangis, Anis!" ucapnya dengan kedua sudut bibir yang tertarik simetris ke kiri dan ke kanan membentuk sebuah senyuman, tapi sungguh sebenarnya aku tahu jika saat ini dia sedang merata sakit hati. "Oh, aku akan menantikannya!" jawabku cukup berani. Sebenarnya aku tidak ingin meladeni segala sikap egois Rosalina, tapi belakangan ini Mr CEO seolah mendorong ku untuk melakukannya. Dan jangan salah kan aku jika aku benar-benar mulai tidak sabar, karena di sini jelas Rosalina sengaja memancing kemarahan ku. Mungkin maksudnya agar aku memberontak dan protes pada Arga, lalu setelahnya Arga akan memarahiku dan berujung menceraikanku, tapi percayalah aku tidak akan melakukan seperti yang dia pikirkan. Tidak akan. Hari menjelang siang. Aku baru saja sampai di lobi perusahaan, saat menerima pesan dari bos ku, CEO perusahaan tempat aku bekerja, jika dia menungguku di ruang kerjanya. Lebih tepatnya menunggu dokumen yang kemarin aku kerjakan untuk di serahkan pada perusahaan yang merupakan kolega nya, karena percayalah, kami hanya gagal di tender kemarin, tapi bukan berarti gagal mendapatkan tender yang lain. "Anis. Aku sudah di ruang kerja. Bawa dokumennya ke sini!" From pak Boss. "Siap Pak. Aku baru masuk lift!" Send to Pak Boss. Aku bergegas keluar dari lift saat pintu baja itu terbuka lebar, dan bergegas ke ruang CEO. Namun baru saja aku akan membuka pintu ruangan itu saat tiba-tiba suara seseorang menghentikan pergerakan tanganku yang ingin membuka pintu kaca tersebut... "Anis...!" Aku menoleh, dan langsung melotot ketika melihat siapa orang itu, dia adalah....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN