Hana menaruh malas ponsel kembali ke dalam tas. Kini tatapannya menyapu muka Gavin yang terlihat tenang di antara banyaknya masalah yang menghimpit.
"Ibu minta aku pulang sekarang. Dia juga bilang kamu harus ikut denganku."
"Aku? Ikut denganmu? Ada apa?" Sorot mata Gavin menampilkan keresahan di sana. Bila ibunya Hana memanggil, artinya ada masalah. Lalu apa masalahnya?
Hana hanya mengangkat kedua bahunya. Dia sendiri tidak tahu ada masalah apa? Yang jelas itu masalahnya, bukan masalah yang lain.
Dengan terpaksa, Gavin pun mengikuti Hana pulang ke rumah untuk bertemu dengan ibunya.
***
"Ibu, aku pulang," ucap Hana di depan kontrakan.
Terdengar suara pintu diayun dengan cepat hingga terbuka lebar.
"Kamu datang sendiri, mana Gavin?" sambut Daisy, ibunya Hana kala hanya melihat sosok putrinya saja.
Hana mencelos, bukan dirinya yang ditanya tapi malah Gavin yang merupakan orang lain. Menurutnya pria itu berhasil mengambil hati Daisy. Buktinya dia tidak terlihat saja ditanyakan.
"Itu di sana." Hana menunjuk dengan dagu ke arah lain dimana Gavin sedang parkir motor.
Gavin datang dan berdiri di samping Hana. Daisy langsung membawa mereka berdua masuk dan duduk berhadapan. Suasana di sana terlihat tegang. Melihat Daisy saja mereka berdua benar-benar tegang.
"Ibu mau tanya bagaimana kesiapan pernikahan kalian berdua?" Suara yang meluncur dari bibir Daisy terdengar syahdu.
Tapi tidak bagi Hana dan Gavin. Bagi mereka setiap suara yang menerobos keluar dari bibir tipis Daisy adalah maut.
"Persiapan pernikahan, Tante?" Gavin menatap Hana syok.
Sedangkan Hana sampai tersedak roti kukus yang baru diambilnya dari meja. Baru satu gigitan dan pertanyaan dari Daisy sampai membuat gigitan roti itu tersangkut di leher.
Hana menatap Gavin tanpa suara, karena memang susah suaranya keluar saat ini. Dia harus mengatasi tersedaknya dulu. Dia membuka mulut dengan mengedipkan mata.
'Apa yang dia minta? Apa dia mau air?'
Gavin kemudian mengambil segelas kecil air mineral yang ada di meja. Di ruang tamu Hana sendiri selalu tersedia air mineral di meja dan di sudut ruangan tersedia air mineral kemasan dalam kardus.
Gavin menyobek ujung kemasan kemudian menuangkan air ke bibir Hana.
Hah! Hana merasa lega sekali gigitan roti yang tersangkut di tengah leher berhasil diatasi dengan air barusan.
Namun masalah belum selesai sampai di sini. Daisy tiba-tiba mengeluarkan sebuah album foto yang dibuka di meja. Album itu berisikan dekor pernikahan yang membuat mata Hana terbelalak.
"Ini dekor pernikahan yang Ibu dapat dari teman. Kurasa kalian berdua sibuk tak ada waktu untuk mencari. Tak perlu berterima kasih padaku atas ini. Pilih saja mana yang kalian suka." Senyum lebar menghiasi wajah Daisy.
Namun senyum itu terasa horor bagi Gavin. Tubuhnya merinding setelah beberapa saat menatap foto di album. Apakah dia takut menikah? Bukan! Dia hanya takut bila pada akhirnya harus mendadak menikah dengan seseorang yang tidak masuk dalam hitungannya. Akan seperti apa hidupnya nanti? Namun, dia mencoba untuk tetap tenang meski lututnya di bawah sana beradu.
"Hana, Gavin kalian lihat dulu fotonya sampai halaman belakang. Baru kalian putuskan mana yang kalian pilih."
Gavin dan Hana saling tatap dalam diam. Kenapa ibunya membawa mereka ke situasi rumit ini? Sekarang album foto itu disodorkan padanya. Bisakah dia menolak itu?
Hana dengan malas membuka perlahan lembar demi lembar halaman foto. Menurutnya semua foto yang ada di sana terlihat sama meskipun berbeda. Hanya ada perbedaan tipis di antara setiap foto itu, tidak banyak. Semua foto dominan bernuansa putih.
Sampai pada halaman akhir, Hana belum menemukan satu pun foto yang menarik baginya meski semua foto itu terlihat cantik dengan kelebihan dan keunikan desain sendiri.
"Desain dekor mana menurut kalian yang bagus dan cocok untuk pernikahan kalian?" desak Daisy tidak sabaran.
"Aku tidak tahu, Bu," balas Hana menutup album foto.
Daisy sendiri tak mau kecolongan lagi seperti sebelumnya. Di pernikahan Hana yang batal, Daisy tidak turut andil dalam memilih berbagai hal. Semua dia serahkan pada Hana. Dan tak tahunya berujung pada gagalnya pernikahan. Maka kali ini dalam setiap momen dia harus terlibat agar kejadian sebelumnya tak terulang lagi.
Daisy beralih menatap Gavin. Bila Hana bingung memilih, mungkin Gavin ada pandangan. "Coba kamu lihat lebih teliti dan pilih salah satu." Daisy kembali menyodorkan album foto.
Dengan ragu Gavin mengambil album foto. "Baik, Tante." Gavin terpaksa membalik lembaran halaman album.
Entah, meski tidak berminat menikah tapi melihat dekorasi pernikahan membuatnya tertarik untuk membuka sampai pada halaman berikutnya. Tatapannya kemudian terkunci pada sebuah dekorasi apik nan simple.
Daisy meski diam sejak tadi, namun terus memerhatikan Gavin. "Apa kamu suka yang itu?"
"Entah, Tante. Yang ini terlihat manis dibandingkan yang lain."
"Yang mana? Yang ini?" Daisy menunjuk sebuah foto yang dibalas dengan anggukan oleh Gavin.
Daisy membalik album foto menghadap dirinya agar bisa melihat dengan jelas. "Pilihanmu bagus juga, Gavin."
Meski awalnya Daisy ragu pada Gavin yang notabene hanya seorang kurir biasa. Namun setelah melihat problem solving yang ditunjukkan saat Anggrek mendapat masalah, membuatnya yakin bila setelah menikah nanti Gavin juga akan bisa mengatasi setiap masalah rumit yang datang.
Gavin tersenyum tulus dengan pujian itu. Namun senyum itu pudar seketika setelah melihat Daisy mengambil foto sembari memegang album foto dalam pangkuan lalu menghubungi seseorang.
"Halo, Kurasa aku sudah menemukan pilihan untuk dekorasi pernikahan putriku nanti. Kapan kamu ada waktu luang dan kita bisa bertemu? Aku harap kamu ada waktu luang hari ini."
Hana yang mendengar itu terperangah menatap Gavin. "Apa yang kamu lakukan? Kamu memilih satu desain?" Wajah Hana nampak frustasi.
"Aku tidak memilih. Aku hanya suka melihat satu dekorasi menarik saja."
"Lihat yang kamu lakukan." Hana menunjuk dengan dagu.
Sekarang Gavin menyesali apa yang telah dia lakukan. Dia hanya menunjuk dekorasi bagus saja, tak tahunya Daisy langsung pesan dekor itu." Wajahnya panik sekarang menatap Hana.
"Besok datang lagi kemari bila Ibu panggil, ya, masih ada hal lain yang harus kita urus setelah ini. Ibu mau pergi menemui teman dulu." Daisy selesai bertelepon lalu berpamitan pada mereka berdua untuk pergi lebih dulu.
***
"Kenapa jadinya seperti ini? Kenapa aku terseret masalah semakin dalam dengan Hana? Semoga saja Tante hanya bercanda," pekik Gavin di kamar rumahnya.
Gavin menghempas tubuhnya kasar ke kasur. Kedua tangannya menjadi alas kepala meski ada bantal di sana. Napasnya berat sekarang teringat pada apa yang dilakukan oleh Daisy tadi sore. Jantungnya berdegup kencang hanya dengan membayangkan pernikahan di depan mata saja.
Dia juga takut menikah untuk sekarang, takut pada tanggung jawab yang harus dipikulnya sebagai kepala keluarga. Semoga saja, Hana bisa cepat mencarikan solusi untuknya. Jangan sampai dia diseret dalam masalahnya lagi.
Gavin tiba-tiba saja merasa tidak tenang dengan banyaknya bayangan yang terlintas dan berputar, menari-nari dalam pikirannya. Masalah pekerjaan saja baginya sudah cukup berat. Dia harus bekerja ekstra untuk setiap harinya. Bagaimana bila dia menikah nanti? Bahkan janjinya itu tak bisa dia berikan pada kekasihnya dulu.
Gavin menatap kosong langit-langit di kubikal tempatnya berada saat ini. Suasananya hening. Dia tinggal sendiri di rumahnya ini. Tak ada suara musik bertalu atau suara bisikan orang dalam rumah ini. Sepi.
Tiba-tiba terdengar suara notifikasi pesan masuk yang memecah kesunyian malam ini. Siapa yang mengirim pesan pada malam hari begini? Apakah itu pesan dari kantor ekspedisi?
Dengan penasaran Gavin mengambil ponsel yang tergeletak di atas nakas untuk melihat pesan yang masuk. Tak tercantum nama pengirim pesan, hanya nomor asing yang tertera di sana, entah nomor siapa itu. Mungkin bila dibaca pesannya, akan tahu siapa pengirimnya.
[Gavin, aku sudah memesankan dekor yang kamu pilih tadi. Besok ganti pilih baju pengantin, ya?
Tante Daisy]
Tangan Gavin gemetar langsung membaca pesan teks tersebut. Bagaimana dia membalas pesan itu?