Anggrek yang berdiri di samping Hana ikut tersentak kaget mendengar permintaan ibunya. Entah, dia tidak tahu berapa lama Hana dan pria tadi menjalin hubungan. Menurutnya tak lama, karena pernikahan Hana baru beberapa waktu batal. Lalu kenapa ibunya buru-buru minta kakaknya menikah?
"Apa itu tidak terlalu cepat, Bu?"
"Kamu belum dewasa, tahu apa kamu tentang pernikahan? Sudah bagus kamu bisa kembali. Setelah ini jangan pernah ketipu lagi," hujatnya tajam.
Anggrek pun tak lagi bicara daripada dimarahi habis-habisan oleh ibunya. Dia pun hanya diam dan duduk saja mendengarkan percakapan Hana dan ibunya.
"Bu, aku masih belum siap menikah lagi," respons Hana beralasan. Dia masih takut memulai hubungan terlebih langsung menikah. Yang sudah menjalin hubungan bertahun-tahun saja dia masih tertipu, bagaimana bisa dia menikah dengan Gavin yang baru dikenalnya?
Salah! Gavin hanya pria bayarannya saja, sementara sampai dia menemukan pria yang sesungguhnya untuk dijadikan suami.
"Kenapa belum siap? Usia kamu sudah matang dan saatnya menikah di usia 26 tahun ini."
"Tapi, Bu. Aku masih trauma dengan pernikahan sebelumnya yang gagal." Hana mulai terlihat gelisah.
"Bila menunggu siap sampai kapanpun kamu tak akan pernah siap, akan selalu ada sesuatu yang membuatmu tidak siap. Begini saja, Ibu akan memberimu waktu sampai satu bulan, dan kamu harus menikah setelahnya." Perkataan ibunya Hana terdengar santai namun tidak bagi Hana.
Permintaan itu terdengar seperti petir yang menyambar hatinya. Sampai dia syok dan membeku di tempat. Bisakah dia menolak meski sebenarnya tidak mau?
***
"Miss, apa yang kamu pikirkan? Sepertinya beban hidupmu berat sekali," cerocos Tedy melihat Hana duduk sendiri dengan tangan menopang dagu di sudut ruangan.
Saat ini jam istirahat. Para dosen sudah keluar duluan. Tinggal Tedy dan Hana yang masih ada di ruangan. Di hari biasa, mereka berdua sering ngobrol seperti ini. Mereka terlihat dekat sudah lama.
"Pak Tedy, aku harus menikah dalam waktu satu bulan ke depan. Bisakah kamu membantuku?" Tatapan Hana terlihat kosong.
Semalaman penuh dia berpikir keras. Dia sampai membuka situs kencan demi mencari seorang pria untuk dijadikan suami. Tapi, hati memang tidak bisa dibohongi. Mencari yang pas itu susah, apalagi dijadikan suami. Kalau bisa satu untuk selamanya.
"Jadi kamu serius, Miss?" pekik Tedy.
"Apakah aku terlihat sedang bercanda sekarang, Pak?"
Senyum Tedy yang baru terukir hilang sudah dan berganti resah. Dia berpikir Hana mengajak dirinya untuk menikah. Jujur saja, dia tak ada perasaan sama sekali pada Hana. Dia juga punya kriteria dan pilihannya sendiri dan pastinya itu bukan Hana.
"Kenapa buru-buru nikah, Miss?"
Hana menarik tangannya yang menopang dagu, kemudian menyandarkan dagunya ke meja dengan lemas. "Ibuku, Pak, memintaku menikah dalam waktu satu bulan. Siapa pria yang mau kunikahi? Sial sekali rasanya aku ditipu eks tunanganku juga."
Tedy hanya bisa diam merespons karena tak punya solusi.
***
"Akh! Sial! Kenapa tak ada pria yang cocok?" gerutu Hana keluar dari sebuah kafe.
Beberapa menit yang lalu dia bertemu dengan seorang pria yang dikenalnya dari sebuah situs kencan online. Dari foto yang terlampir itu merupakan sosok pria yang lumayan. Tapi saat bertemu berbeda sekali dengan foto yang dilampirkan. Tak ada yang menarik sama sekali dari pria berkepala licin dan mengkilap seorang bankir single berusia hampir 40-an tahun. Yang dibahas pun saat bertemu masalah hitung-hitungan.
Apa saja dihitung oleh bankir itu, membuat Hana berpikir seribu kali. Bisa-bisa dia gantung diri bila semua harus dihitung secara mendetail. Sedangkan hidup terlalu indah untuk cepat ditinggalkan.
Hana bingung sekarang. Kemana lagi dia harus mencari seorang pria yang serius dan bisa dijadikan suami?
Dengan sebal, Hana mengambil motor dari tempat parkir lalu melaju di jalanan dengan pikiran kosong. Entah, tak ada tempat tujuan baginya saat ini. Dia hanya melaju motor saja hingga tak sengaja melewati tempat kerja Gavin.
Terlihat Gavin turun dari motor, lalu menurunkan tas wadah paket. "Apa dia sudah selesai bekerja sekarang ini? Kebetulan sekali."
Hana pun melaju motornya ke tempat Gavin berada.
"Hai. Kamu senggang sekarang?" Hana membuka lebar kaca helmnya agar bisa bicara leluasa.
"Kamu? Kenapa kemari?"
"Aku lagi ada masalah. Maukah kamu menemani aku bicara sebentar?"
Gavin tak menjawab dan menyapu wajah Hana. Terlihat wajah itu memang kusut. Pertanda ada masalah. Apalagi masalahnya kini? Perasaan, Hana selalu datang mencarinya bila ada masalah. Menurutnya hidup Hana penuh dengan masalah.
Sebenarnya kerjaan Gavin tak ada habisnya di kantor ekspedisi ini. Tapi melihat wajah kacau Hana, dia pun tak sampai hati menolaknya.
"Bila mau bicara denganku berikan aku dua gelas americano dan roti bakar keju."
Hana mengangkat sepasang alisnya. "Apakah itu bayaran yang kamu minta dariku?"
"Lagipula kamu juga belum melunasi pembayaranmu padaku. Bila tak bisa tak apa, aku masuk sekarang." Gavin bergeser menuju ke pagar.
Hana menahan Gavin dengan menarik lengannya. "Eits, tunggu! Ya, aku mau."
"Oke, aku kembalikan ini dulu." Gavin tetap masuk ke kantor untuk mengembalikan tas wadah paket. Setelahnya dia kembali ke tempat Hana menunggu.
Hana dan Gavin kemudian menuju ke sebuah kafe yang berada dekat dengan kantor ekspedisi. Di sana Hana memesankan apa yang diinginkan Gavin.
"Ada apa denganmu? Apa kamu mau melunasi p********n di muka?" cicit Gavin.
Hana langsung mencebik. Itu saja yang dibahas Gavin sejak tadi. Apakah pria itu menagih hutangnya sekarang?
"Aku akan tetap bayar dan melunasinya, tapi tidak sekarang. Mungkin minggu depan, sesuai kesepakatan, tiga minggu sebelum perjanjian berakhir."
Sampai sekarang tak terasa sudah berjalan dua minggu sejak perjanjian itu dibuat.
"Aku belum menemukan pria pengganti sampai sekarang. Apa kamu punya solusi?" Hana mendengkus berat. Sedangkan ibunya sering menanyakan bagaimana kesiapannya?
Pria yang tadi ditemuinya bukan pria pertama, tapi pria kelima sampai detik ini. Sayangnya, kelima orang itu tak ada yang berkesan di hati Hana.
"Sayang, aku tak punya stok pria untuk dikenalkan padamu," balas Gavin lugas setelah membaca arah pembicaraan Hana.
Hana langsung menenggak segelas cola yang dipesannya sampai habis lalu kembali menghela napas berat. Dia benar-benar buntu. Sesulit inikah mencari suami? Kenapa dia harus punya ibu yang suka menekan seperti ini? Kenapa harus dia yang ditekan?
"Kamu sendiri, bagaimana setelah diputus pacarmu beberapa waktu yang lalu? Sepertinya kamu sibuk dengan kerjaan." Hana ingin tahu saja bagaimana kondisi Gavin. Apakah lebih baik dari dirinya ataukah lebih buruk malah?
"Entah, dia menghilang tanpa jejak. Nomornya tak aktif. Dia juga tak bisa ditemui. Kisah kami sudah berakhir tak mungkin disambung lagi. Dan ya benar, aku sibuk dengan pekerjaanku tak ada waktu untuk memikirkan hal lain." Wajah Gavin terlihat tegang.
"Hei, jangan tegang begitu kamu membuatku takut. Jangan terlalu serius mengejar posisi. Aku sarankan kamu mempunyai ide yang lebih terbuka mulai dari sekarang. Mungkin bila pengalamanmu sudah banyak kamu bisa memulai bisnis sendiri," cerocos Hana panjang lebar.
Gavin hanya diam merespons. Seandainya saja dia bisa santai seperti diucapkan oleh Hana. Sayangnya banyak target yang harus dipenuhi, jadi mana bisa dia santai-santai? Tapi Hana tidak tahu itu dan tidak perlu tahu menurutnya.
Terlihat dua orang itu larut dalam masalahnya sendiri-sendiri. Setelah Hana menghabiskan segelas cola besar, Gavin menghabiskan gelas kedua Americano.
Mereka berdua kemudian mengobrol ringan setelah mengganti topik pembicaraan. Suasana tegang di antara mereka mulai mencair.
Di tengah pembicaraan, terdengar suara dering ponsel Hana.
"Sebentar, aku terima telepon dulu." Hana mengeluarkan ponsel dari dalam tas yang ditaruh di meja.
Mimik mukanya yang tenang kini berubah tegang setelah mengetahui siapa yang telepon, ibunya. Dengan gundah, dia menerima panggilan.
"Hana, Ibu ada di rumahmu sekarang. Kamu dimana? Ibu perlu bicara denganmu. Bila bisa ajak si Gavin itu kemari sekalian."
"Kenapa aku harus mengajaknya bertemu dan bicara dengan Ibu?"
"Ini penting sekali. Ibu tunggu kalian berdua sekarang." Panggilan pun berakhir tanpa Hana sempat memberikan balasan.